Setiap mubtada’ (subyek) pasti memiliki khabar. Khabar adalah kata tunggal yang menggenapkan sebuah kata menjadi kalimat, dalam formasi jumlah ismiyah. Tanpa khabar maka sebuah kata tidak memiliki makna. Demikian pula dalam hidup ini, ketika seseorang telah memulai perjalanan menuju irfān, dia harus menyempurnakannya. Menurut Filosofi ilmu nahwu ala Nahwul Qulub, jika seorang hamba memulai ketaatan, maka dia harus menyempurnakannya sampai akhir karena nilai kebaikan itu didapat pada finalnya. Nabi Muḥammad saw bersabda: “Semua urusan itu tergantung pada akhirnya (hasilnya).” (HR. al-Bukhārī, at-Tirmidzī dan Aḥmad).
Kitab Nahwul Qulub karya Imam Qusyairi mengeksplorasi kaidah-kaidah tata bahasa Arab atau nahwu dengan menggali makna esoteris yang terkandung di dalamnya. Makna tersembunyi ini tak lain adalah sufisme dan nilai-nilai paling dalam. Membaca kitab ini seolah belajar dua ilmu langsung, tata bahasa dan tasawuf. Imam Qusyairi (986-1072) mengajak pembacanya membongkar kotak-kotak rahasia yang selama ini ada di dekat kita, namun hanya dipahami permukannya saja, sebagai aturan gramatikal.
Tokoh bernama asli Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad an-Nishaburi al-Qusyairi as-Syafi’i ini adalah seorang pakar tata bahasa yang juga ahli hadis, ilmu tafsir, dan ilmu kalam. Ia lahir di Ustu, sebuah desa kecil di dekat Nisabur, bagian dari negara Iran.
Imam Qusyairi dapat meneropong jauh ke dalam jantung gramatika Arab, yang sesungguhnya menyimpan mutiara penting yang tak dapat dijangkau kecuali dengan penjabaran yang mendalam.
Kembali ke Gramatika Tasawuf Nahwul Qulub, i’rab itu ada empat jenis, di mana semua kalimat tak mungkin lepas dari salah satu kondisinya. Adakalanya rafa’, nashab, jarr, atau jazm. Irab adalah perubahan pada akhir kata karena perbedaan amil yang bekerja padanya. Hal ini menjadi analogi keadaan hati yang tak lepas dari empat kondisi. Rafa’ artinya mengangkat atau naik. Ini mencerminkan kondisi hati yang bersemangat tinggi menempuh jalan tasawuf.
Nashab biasanya ditandai dengan fathah (terbuka), laksana kesiapan jiwa dan raga untuk taat kepada Allah. Sedangkan jarr atau khafdh secara harfiyah artinya menjaga, yang berarti kerendahan diri dan hati di hadapan Allah. Yang keempat adalah jazm, yaitu mati atau sukun. Ini mewakili kondisi hati yang terkuncinya dari segala sesuatu selain Allah.
Dalam sebuah kalimat jumlah fi’liyah, kata kerja atau predikat selalu diikuti langsung oleh fa’il (subyek) dan disusul maf’ul (obyek). Allah adalah hakikat pelaku (fa’il) dari terciptanya jagad raya ini. Selain-Nya tidak ada yang memiliki kuasa sesungguhnya. Maka dari itu di dalam fa’il tersemat kemuliaan dan keluhuran yang hakiki sehingga selalu dibaca rafa’ (naik). Sedangkan makhluk-makhluk adalah maf’ul atau obyek dan dalam susunan gramatika dibaca nashab.
Karena maf’ul (obyek) adalah makhluk yang bersifat lemah, maka pada diri mereka tidak bisa disematkan kemuliaan hakiki (rafa’). Mereka hanya dapat menduduki tingkat yang lebih rendah dari fa’il.
Bagaimana dengan kalimat pasif, di mana maf’ul menempati posisi fa’il? Dalam ilmu nahwu, fa’il yang semacam ini bukan subyek murni, tetapi subyek pengganti atau na’ibul fa’il. Pada kondisi itu, rafa’nya na’ibul fa’il itu bukanlah rafa’ yang hakiki. Terkadang Allah memberikan kemuliaan pada makhluknya, tetapi itu hanya pengganti sementara dan kemuliaan sesungguhnya adalah milik fa’il yang sejati alias Allah swt.
Tetapi hati-hatilah, karena Allah terkadang memberikan kelebihan hanya untuk mengecilkanmu. Ini tercermin pada hukum tasghir. Tasghir adalah pengecilan dari kata aslinya. Misalnya jabal menjadi jubail, hasan menjadi husain, abdun menjadi ubaid. Bila “jabal” artinya gunung, “jubel” berarti gunung kecil atau bukit.
Dengan tambahan satu huruf, yaitu ya’, segala sesuatu menjadi kecil. Begitu pun ketika Allah ingin merendahkan hamba yang sombong, terkadang Dia malah menambahkan nikmat kepada hamba tersebut sehingga hamba itu mengira sedang diberi kemuliaan.
Begitulah filosofi ilmu nahwu menurut kaca mata Imam Qusyairi. Semua format kalimat dan hukum bacaan dalam nahwu memiliki makna filosofis. Tentu saja ini subyektif, apakah memang itu kaitan yang korelatif atau hanya “utak atik mathuk”. Tetapi andaikan Anda menyebut kaitan itu hanya majazi, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa substansi keduanya benar, bahkan memiliki nilai yang tinggi.
Judul Asli: Nahwul Qulub
Pengarang: Imam al-Qusyairi
Penerbit: Wali Pustaka
Genre: Tasawuf Bahasa
Tebal: 224 Halaman
Edisi: Cet 1, Februari 2019
ISBN: 978-623-90042-2-4