Ta-Nehisi Coates adalah salah satu penulis dan intelektual berpengaruh di Amerika Serikat. Sejumlah buku dan esai yang ditulisnya, khususnya tentang keadilan, menjadi rujukan banyak orang. Lalu dia menyeberang ke wilayah yang banyak kritikus memandangnya aneh. Dia menulis novel grafis tentang pahlawan super dan selama 7 tahun terakhir dia hanya menulis karya fiksi.
Penantian lama berakhir. Buku nonfiksi terbarunya, The Message, baru saja terbit. Ini soal perjalanannya menyaksikan tiga tempat, termasuk ke Israel. The Message diterbitkan pada 1 Oktober 2024 oleh Random House di bawah naungan One World. Associated Press menggambarkannya sebagai “sebagian memoar, sebagian catatan perjalanan, dan sebagian penulisan primer”. Pekan lalu, dengan rasa keadilan yang terang, Coates bilang Israel adalah negeri apartheid dan pelaku genosida.
Apa yang kemudian terjadi mudah ditebak. Coates diserang banyak pihak pro-Israel di AS. Wawancaranya di CBS menunjukkan betapa biasnya pewawancara yang bilang bahwa buku Coates sepantasnya ada di ransel para ekstremis. Tapi Coates bergeming dengan pendiriannya, dan CBS kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa si pewawancara itu tidak mengikuti kaidah editorial yang dimiliki CBS.
Beberapa puluh menit kemudian, Mehdi Hasan mewawancarainya di Zeteo. Wawancaranya, lantaran perspektifnya adalah keadilan, jelas bakal dipandang sebagai pro-Palestina. Di sini Coates makin menegaskan pendiriannya, menyatakan siap terus “berperang”, dan berharap dunia makin mendengarkan para penutur dari Palestina.
Dalam The Message, penulis buku terlaris #1 New York Times Between the World and Me ini melakukan perjalanan ke tiga lokasi konflik yang beresonansi untuk mengeksplorasi bagaimana kisah yang kita ceritakan—dan kisah yang tidak kita ceritakan—membentuk realitas kita.
Semula Ta-Nehisi Coates bermaksud menulis buku tentang menulis, mengikuti tradisi buku klasik Orwell, Politics and the English Language, tetapi ia mendapati dirinya bergulat dengan pertanyaan mendalam tentang bagaimana cerita kita—laporan, narasi imajinatif, dan pembuatan mitos—mengungkap dan mendistorsi realitas kita.
Dalam esai pertama dari tiga esai yang saling terkait dalam The Message, Coates, dalam perjalanan pertamanya ke Afrika, menemukan dirinya berada di dua tempat sekaligus: di Dakar, kota modern di Senegal, dan di kerajaan mistis dalam benaknya. Kemudian, ia mengajak para pembacanya ke Columbia, South Carolina, tempat ia melaporkan pelarangan bukunya sendiri, tetapi juga mengeksplorasi reaksi yang lebih besar terhadap perhitungan terkini bangsa itu dengan sejarah dan mitologi Amerika yang mengakar kuat yang begitu terlihat di kota itu—ibu kota Konfederasi dengan patung-patung penganut segregasi yang menjulang tinggi di alun-alun publiknya.
Akhirnya, di bagian terpanjang buku ini, Coates melakukan perjalanan ke Palestina, tempat ia melihat dengan sangat jelas betapa mudahnya kita disesatkan oleh narasi nasionalis, dan tragedi yang terletak pada bentrokan antara cerita yang kita sampaikan dan kenyataan hidup di lapangan.
Ditulis pada momen dramatis dalam kehidupan Amerika dan global, karya dari salah satu penulis terpenting AS ini adalah tentang kebutuhan mendesak untuk melepaskan diri dari mitos-mitos merusak yang membentuk dunia kita—dan jiwa kita sendiri—dan merangkul kekuatan pembebasan bahkan dari kebenaran yang paling sulit sekalipun.
Pujian tentang The Message
“[Coates] tidak takut secara intelektual . . . tidak terkekang oleh ideologi politik atau ras, manusiawi dalam penilaiannya, menghargai fakta, sangat menyadari perbedaan antara apa yang dapat diketahui dan apa yang tidak.” — The New Yorker
Bacaan terkait
Jerusalem: Saksi Sejarah Segala Zaman
Lebanon antara Israel dan Iran
Peringati Ulang Tahun ke-13, Penerbit Rene Turos Group Bagikan Buku “Anak-Anak Ajaib Gaza”
Sempat Hancur Akibat Serangan Israel, Toko Buku Ikonik di Gaza Kembali Dibuka