Sabtu, 17 Mei 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Agama dalam Kajian Demokrasi Deliberatif Habermas

Habermas menilai kita menjadi ahistoris kalau memotong penalaran agama dari ruang publik. Bagaimana konteksnya di Indonesia?

Oleh Rinto Pangaribuan
14 Oktober 2024
di Resensi
A A

Bagaimanakah sebenarnya hubungan antara agama dengan negara dalam konteks demokrasi-sekuler? Apakah agama, seperti muruah sekularisme, harus mengisolasi diri dari negara? Atau, agama bisa berpartisipasi di ceruk-ceruk ruang publik dengan cara-cara tertentu?

Gusti A.B. Menoh meletakkan pertanyaan di atas sebagai pokok permasalahan dalam bukunya, Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler menurut Jurgen Habermas Dikembangkan dari tesisnya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Menoh ingin mengalibrasi ulang posisi agama. Latar belakangnya karena dia melihat gejala-gejala sektarianisme semakin menguat dalam masyarakat kita (hal. 9–10). Buku ini menyematkan sebuah pesan penting, yaitu sekularisme dan demokrasi liberal bukanlah penghalang bagi agama untuk berkontribusi bagi kemajuan masyarakat.

Demokrasi Deliberatif sebagai Pijakan Agama di Ruang Publik

Sekularisme dan demokrasi liberal memang selalu menganggap agama sebagai penghalang. Keduanya beranggapan agama tidak rasional sehingga sulit diterapkan dalam iklim demokratis. Dalam polemik inilah, buku ini hadir untuk menjernihkan signifikansi agama di hadapan negara hukum demokratis (hal. 11). Untuk mengatasi persoalan ini, Menoh merakit landasan teorinya terlebih dahulu dari pemikiran Jürgen Habermas, seorang pemikir politik dari Jerman. Dari Habermas, Menoh menarik konsep demokrasi deliberatif sebagai pijakan pertama. Formula Habermas mengenai demokrasi deliberatif inilah yang akan menata kembali pola relasi antara agama dan negara pada konteks masyarakat modern.

Konsep kunci untuk memahami gagasan Menoh memang terletak pada pengertian demokrasi deliberatif. Deliberatif berasal dari bahasa Latin, yakni deliberatio. Artinya, menimbang-nimbang secara rasional, berkonsultasi, atau bermusyawarah secara terbuka. Dari definisi etimologi ini, demokrasi deliberatif adalah “suatu teori yang menerima deliberasi (diskursus) rasional di antara para warga” (hal. 80–81). Sederhananya, kita mengenal demokrasi deliberatif dengan istilah demokrasi permusyawaratan.

Uraian Menoh tentang demokrasi deliberatif dari Habermas terbilang cukup mendalam. Dia melacak akar demokrasi deliberatif, yakni dari tindakan komunikatif (hal. 55) dan teori diskursus Habermas (hal. 79). Kemudian Menoh juga memaparkan pengandaian-pengandaian epistemologinya, yaitu kebebasan (hal. 55) dan kesetaraan (hal. 84). Artinya, demokrasi deliberatif merupakan aktivitas diskursif secara otonom dari setiap pesertanya.

Setelah menjabarkan akar dan ragam pengandaiannya, Menoh kemudian memperlihatkan karakteristik dari demokrasi deliberatif, yakni perihal legitimasi politik. Memang, hal yang paling menarik dari demokrasi deliberatif (dan yang membedakannya dari jenis demokrasi lainnya) adalah penentuan sumber legitimasi politiknya. Sumber legitimasi dalam demokrasi deliberatif terletak pada transaksi argumen antarindividu dalam masyarakat. Dengan demikian, otoritas politik tidak ada pada negara. Kursi otoritas berpindah pada perang opini di berbagai media komunikasi (hal. 80–82). Pendeknya, penghitungan suara bukanlah karakter dari demokrasi deliberatif, melainkan pada proses saling-silang aspirasi secara bebas dan rasional.

Kebebasan yang Rasional sebagai Syarat Partisipasi Agama di Ruang Publik

Tukar-menukar aspirasi dimungkinkan jika setiap orang punya kebebasan. Demokrasi deliberatif dengan pengandaian kebebasan inilah yang mempersilakan agama untuk menari di atas pentas politik dalam konteks dunia sekuler (hal. 58). Sedari awal sekularisme memang menginginkan agar agama ditempatkan pada ruang privat saja (hal. 31–34). Namun, bagi Habermas, pemisahan agama ini telah melanggar prinsip kebebasan (hal. 38). Demokrasi liberal, seperti yang diterapkan secara global dalam dunia modern, seharusnya membuka pintu bagi siapa saja tanpa kekangan (hal. 60)—termasuk pada agama.

Oleh karena prinsip kebebasan itu, dengan meminjam analisis Habermas, Menoh mendorong agama untuk memasuki kamar-kamar wacana di ruang publik. Dorongan ini bermula dari pengamatan Habermas terhadap dinamika sekularisme. Habermas melihat dunia sekarang sedang memasuki era pos-sekuler, yakni menguatnya kembali peran agama, khususnya di negara-negara Barat (hal. 37–38, 105). Artinya, peran agama sudah sulit dibendung dalam dinamika kehidupan sosial kita (hal. 139).

Dalam konteks pos-sekuler inilah relevansi gagasan Habermas muncul. Dia melihat agama layak mendapat tempat dalam diskursus politik karena pengaruh dan isi gagasannya. Agama adalah kekuatan pembentuk kebudayaan (hal. 18), bahkan pionir demokrasi di Amerika (hal. 118). Selain karena legasinya, agama juga bisa memainkan peran sebagai kompas moral untuk membangun solidaritas. Aspek solidaritas ini mendesak karena individualisme kian mengental dalam kehidupan masyarakat modern (hal. 103, 122, 143). Bahkan yang terpenting dari semuanya, agama memiliki kekayaan nilai-nilai rasional (hal. 11) yang membangun penalaran publik (hal. 22). Oleh karena itulah, Habermas menilai kita menjadi ahistoris kalau memotong penalaran agama dari ruang publik (hal. 23).

Walau bebas berpartisipasi dalam ruang publik, Menoh menekankan agama harus tetap menjaga rasionalitasnya. Agama harus melepaskan klaim otoritas sakralnya sambil belajar memahami perspektif dari pihak lain. Agama harus lebih kreatif dalam mengartikulasikan keyakinan religiusnya ketika menghadapi kemajemukan dalam masyarakat (hal. 109). Agama harus menerjemahkan kosa katanya sehingga publik tanpa latar belakang agama dapat memahami maksudnya (hal. 126). Dengan kata lain, agama menjalin relasi dialektis dengan negara, politik, masyarakat, atau demokrasi.

Menoh menyediakan contoh konkret perihal peran agama dalam penalaran publik di Indonesia. Ketika proses terbentuknya Pancasila, agama turut menyumbang gagasan di tengah persaingan ragam pemikiran dunia, seperti, Marxisme dan nasionalisme (hal. 151–155). Posisi ketuhanan dalam sila pertama sempat menjadi polemik di antara tokoh-tokoh nasional ketika itu. Namun, tanpa memaksa kesakralan doktrin agama, para pendiri bangsa mampu berdialektika secara rasional dalam merumuskan kelima sila tersebut.

Utopis dan Mengabaikan Marxisme

Di tengah segala sisi positif yang ditawarkan oleh buku ini, Menoh sepertinya gagal mengantisipasi beberapa kritik. Apakah kebebasan dan kesetaraan tanpa dominasi seperti yang diasumsikan oleh Habermas mungkin terjadi? Dalam buku ini, Menoh memaparkan kritik Habermas terhadap ruang publik sebagai prasyarat demokrasi deliberatif. Habermas melihat isu di ruang publik selalu condong pada kepentingan borjuis (hal. 84–85). Dengan kata lain, Habermas sadar ruang publik punya keterbatasan karena kerap kepentingan kapital memonopolinya.

Namun, tidak berimbangnya narasi di ruang publik menjadi kian kompleks di era digital. Politisi, yaitu penguasa sekaligus pengusaha (peng-peng), adalah pemilik media. Mereka juga beternak buzzer untuk mengendalikan tren berita di media sosial. Belum lagi algoritma di media sosial bukanlah entitas netral. Algoritma itu bisa dipesan oleh para peng-peng jika mereka mau. Jika demikian kondisinya, masihkah demokrasi deliberatif itu tetap relevan? Jadi, rasanya masuk akal jika mengatakan prasyarat antropologi dan epistemologi dari demokrasi deliberatif itu utopis (Herry-Priyono 2022, 131). Sebelum kekuatan kapital belum merata, selama itu pula kesenjangan di segala lini bidang kehidupan akan tetap ada. Selama kesenjangan itu eksis, selama itu pula demokrasi deliberatif hanyalah khayalan belaka.

Memang, kelemahan ini tipikal dari buku-buku yang ingin memasukkan agama dalam agenda transformasi sosial. Mereka selalu mengabaikan persoalan kapital dan peran kelas pekerja. Menoh, sama seperti Joel Edwards, selalu memfokuskan agama pada diskursus wacana, moral, etika, dan pluralisme (Edwards 2008, 45, 47, 52, 116). Akibatnya, usulan mereka selalu normatif. Padahal, sejarah sudah menunjukkan dialog dan segala bentuk diskursus selalu kandas dalam menggagas perubahan sosial secara signifikan.

Akar dari permasalahan ini adalah mereka, entah lupa atau tidak tahu, selalu mengabaikan analisis Marx. Marx meyakini prasyarat demokrasi deliberatif, yakni kesetaraan dan kebebasan dimungkinkan jika masyarakat mampu mengatur kegiatan produksi (Marx dan Engels 1975, 47). Artinya, modus produksi bukan diatur oleh segelintir orang saja. Sat-satunya kelas yang mampu mengambil alih pengaturan alat produksi adalah kelas pekerja. Oleh karena itulah, kelas pekerja harus diorganisasi dengan baik (Marx dan Engels 1978, 283). Usaha pengorganisasian inilah yang selalu dilupakan oleh agama, seperti yang ditunjukkan oleh buku ini. Menoh menitikberatkan agama dalam kegiatan permusyawaratan, namun abai dalam tugas pengorganisasian.

Secara keseluruhan, uraian Menoh mengenai peran agama dalam ruang publik dengan pendekatan teori demokrasi deliberatif Habermas memang menarik. Buku ini menyediakan pijakan filosofis bagi agama untuk terlibat dalam berbagai persoalan sosial dalam masyarakat. Apalagi, paparan teoretis buku ini juga komprehensif. Menoh menaruh perhatian pada pandangan-pandangan yang kontra terhadap pemikiran Habermas sehingga uraiannya cukup berimbang.

Walaupun kurang mempertimbangkan dominasi kapital di ruang publik, usulan Menoh untuk melibatkan agama dalam diskursus modern tetap memberi pencerahan penting. Buku ini akan memberi asupan argumen bahwa agama harus keluar dari ruang-ruang doanya untuk menjadi jawaban doa di ruang publik.

Daftar Rujukan

Edwards, Joel. 2008. An Agenda for Change: A Global Call for Spiritual and Social Transformation. Grand Rapids, Mich.: Zondervan.

Herry-Priyono, B. 2022. Kebebasan, Keadilan, dan Kekuasaan: Filsafat Politik and What It Is All About. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Marx, Karl, dan Frederick Engels. 1975. Collected Works 5. New York: International Publishers.

Marx, Karl, dan Frederick Engels. 1978. Collected Works 10. New York: International Publishers.

BACA JUGA:

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

CINTAI DIRI KITA SENDIRI: UBAH TITIK NADIR MENJADI TITIK BANGKIT

Topik: agama dan demokrasidemokrasi deliberatifJurgen Habermas
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Ada Luka di Balik Senyum

Selanjutnya

Lebanon antara Israel dan Iran

Rinto Pangaribuan

Rinto Pangaribuan

Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, pecinta sepakbola, catur, dan senang menertawakan politik.

TULISAN TERKAIT

Mengupayakan Keadilan di Bumi  [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

23 April 2025
PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

21 April 2025
menemukan cinta

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

21 April 2025
CINTAI DIRI KITA SENDIRI: UBAH TITIK NADIR MENJADI TITIK BANGKIT

CINTAI DIRI KITA SENDIRI: UBAH TITIK NADIR MENJADI TITIK BANGKIT

15 April 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Lebanon antara Israel dan Iran

Lebanon antara Israel dan Iran

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Mengupayakan Keadilan di Bumi  [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

23 April 2025
Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

21 April 2025
menemukan cinta

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

21 April 2025
Ksatria JEDI Bernama Farhan Helmy dan Sepenggal Kisah tentang Pembiayaan Inovatif untuk Disabilitas dan Lansia

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

21 April 2025

© 2024 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In