Minggu, 21 September 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Pemimpin Matang di Pohon

Pada era sekarang, di negeri yang berdemokrasi ini, ujian bagi seorang calon pemimpin seharusnya lebih berat.

Oleh Ahsan Jamet Hamidi
2 September 2024
di Kolom
A A
ilustrasi: Suara.com

ilustrasi: Suara.com

Saat belanja buah-buahan di pasar, saya kerap terpengaruh oleh provokasi tukang buah yang menawarkan buah-buahan dengan label buah “matang di pohon”. Buah mangga, durian, alpukat, pepaya, rambutan, jambu biji yang dipetik ketika matang di pohon memang memiliki kualitas rasa sempurna. Berbeda dengan buah yang dipetik saat masih muda, lalu dikemas dengan karbit. Buah-buahan itu bisa berubah seolah olah matang.

Kualitas rasa buah-buahan yang matang di pohon dan matang karena “direkayasa” memang sangat berbeda. Mangga harum manis yang terkenal manis dengan aroma yang khas itu akan kehilangan ciri aslinya ketika dipaksa matang dengan karbit. Meski kelihatan matang dan kulitnya menguning, namun tetap tampak kesan rekayasannya. Sebagus apa pun kualitas karbit yang mengolesinnya.

Politikus Karbitan atau Matang di Pohon

Jika kualitas rasa buah-buahan mudah dibedakan berdasarkan proses pematangannya, maka perumpamaan tersebut bisa juga berlaku untuk manusia. Seorang pemimpin politik bisa ditakar kualitas kepemimpinannya dari proses penggemblengan hidup di masa lalunnya sehingga bisa menjadi matang. Apakah proses pematangan hidupnya terjadi secara alamiah atau instan dengan rekayasa karbit.

Baru-baru ini, Paetongtarn Shinawatra, putri bungsu mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra berusia 37 tahun, berhasil meraih jabatan perdana menteri Thailand. Kabar itu mencemaskan. Bukan karena saya tidak percaya dengan kualitas kepemimpinan anak muda, namun saya khawatir dengan dampaknya.

BACA JUGA:

Lampu Petunjuk

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Saya berharap semoga orang tidak hanya melihat peristiwa itu secara pintas, lalu menyimpulkan, “Oh Negeri Gajah Putih itu baik-baik saja, kok, ketika dipimpin oleh anak mantan penguasa yang berusia 37 tahun.”

Kesimpulan itu muncul hanya karena mengacu pada umur 37 tahun semata. Ia mengabaikan proses panjang seseorang hingga bisa meraih jabatan perdana menteri.

Anak Presiden dan Anak Raja

Soal estafet kepemimpinan, saya kagum dengan cerita tentang proses penggemblengan seorang calon pangeran dalam kisah-kisah pewayangan. Pangeran Arjuna, misalnya. Anak seorang raja harus selalu dilatih keras, digembleng, diuji ketrampilan fisik dan mental spiritualnya sebelum menerima takhta. Ketika seorang anak raja beranjak dewasa, ia akan diajak berburu binatang di tengah hutan yang berbahaya, lebat, dan angker. Di tempat itulah si anak raja itu akan dilepas, ditinggal hidup sendirian selama beberapa saat.

Untuk bisa bertahan hidup, dia harus mampu menaklukkan segala jenis tantangan hidup. Mulai dari ancaman kelaparan, menaklukkan binatang-binatang buas yang ganas, dedemit, dan gendruwo yang angker. Segala cara harus ia lakukan agar bisa bertahan hidup. Ketika ia berhasil kembali ke istana dalam kondisi hidup, maka ia akan disambut dengan suka cita. Ia dinyatakan lulus menjadi pangeran calon pewaris takhta kerajaan.

Begitu beratnya ujian untuk menjadi seorang calon pangeran dalam sistem kerajaan. Pada era sekarang, di negeri yang berdemokrasi ini, ujian bagi seorang calon pemimpin seharusnya lebih berat. Untuk menjadi seorang calon wali kota, bupati, gubernur atau presiden, ia harus dapat meraih simpati dan pilihan rakyat. Tidak cukup hanya dengan restu raja dan permaisuri.

Pola estafet kepemimpinan di dalam sistem kerajaan memang berbeda, namun standar nilai kepribadian yang harus ada pada diri seorang calon pemimpin tetaplah sama. Keterampilan, pengetahuan, kedewasaan, kematangan jiwa dan karakter kepemimpinan harus kuat melekat di dalam jati diri seorang calon pemimpin.

Semua persyaratan itu tidak bisa didapat secara warisan belaka. Perkara itu tidak akan bisa diraih ketika seseorang sudah menyandang gelar “anak mantan” presiden, gubernur, wali kota atau bupati. Jiwa yang penuh kematangan, memiliki siasat jitu dan pribadi tangguh yang sarat kebijaksanaan dan keadilan, hanya bisa diraih melalui proses panjang, melewati jalan yang penuh onak dan duri.

Anak seorang raja hanya akan mewarisi takhta dan mengelola harta benda dan kekuasaan milik bapaknya ia bisa berlaku suka-suka. Dia adalah tuan dan nyonya, sementara rakyat adalah hamba yang dibelas-kasihaninya. Berbeda dengan sistem di negera demokrasi, warga akan memilih pemimpin yang sebaliknya. Pemimpin yang akan menjadi pelayan, bekerja sepenuh hati, mengelola seluruh sumber daya alam milik bersama untuk kemaslahatan bersama pula.

Jika syarat untuk menjadi pemimpin itu harus dipilih oleh warga, maka sebagai pemilik satu suara, saya harus selalu mempertimbangkan rekam jejak dan meniti proses penggemblengan seorang calon pemimpin secara cermat dan hati-hati.

Saya harus melihat dan mengendus rasa hingga mampu menemukan pembeda antara seorang calon pemimpin yang matang di pohon atau matang dikarbit. Mengapa itu penting, karena masa depan hidup saya juga ditentukan oleh pribadi baik seorang calon pemimpin.

Bacaan terkait:

Kala Anak Presiden Menunggang Jet Gulfstream

Demokrasi Dikorupsi

Sandyakala Ning Prabu Mulyono

Penaklukan Muslim yang Mengubah Dunia

Muqaddimah, An Introduction To The History Of The World

Topik: estafet kepemimpinanpemimpinpolitikus karbitan
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Kala Anak Presiden Menunggang Jet Gulfstream

Selanjutnya

Selamat Jalan, Bang Faisal

Ahsan Jamet Hamidi

Ahsan Jamet Hamidi

Anggota Dewan Pengarah Sekber Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

TULISAN TERKAIT

Lampu Petunjuk

Lampu Petunjuk

11 Juli 2025
Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

10 Juli 2025
1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

27 Juni 2025
Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

27 Juni 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Selamat Jalan, Bang Faisal

Selamat Jalan, Bang Faisal

Ulasan Pembaca 1

  1. Ping-balik: Menakar Baik-Buruk Pemimpin - Jakarta Book Review (JBR)

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

Slow Productivity, Cara Baru Menikmati Pekerjaan

16 September 2025
Cover buku dan film La tresse

Buku “La tresse” Karya Laetitia Colombani akan Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia

15 September 2025
Buku “The Anxious Generation” Sudah 75 Minggu Menempati New York Times Bestseller

Buku “The Anxious Generation” Sudah 75 Minggu Menempati New York Times Bestseller

11 September 2025
Ringkasan Habit is Power: Jika Ingin Sukses Hindari 14 Kebiasaan Buruk Ini

Ringkasan Habit is Power: Jika Ingin Sukses Hindari 14 Kebiasaan Buruk Ini

10 September 2025
Ciri Publik Melek Politik, Peminat Buku Politik Makin Tinggi

Ciri Publik Melek Politik, Peminat Buku Politik Makin Tinggi

4 September 2025
AJI Jakarta Buka Konseling Jurnalis Peliput Aksi Massa

AJI Jakarta Buka Konseling Jurnalis Peliput Aksi Massa

2 September 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In