Tanda (Kualifikasi Seseorang Memiliki) Kekuasaan, Antara Lain, Cita-Cita Tinggi, Mempunyai Sifat Terpuii, dan Begitu Sebaliknya
Kekuasaan (mulk) merupakan sesuatu yang alami bagi manusia, sebab di jalamnya terkandung implikasi-implikasi sosial, seperti telah kami katakan. Melihat fitrah dan kekuatan pikir logisnya, manusia lebih cenderung kepada sifat-sifat kebaikan ketimbang sifat-sifat keburukan, sebab kejahatan yang ada dalam dirinya merupakan akibat dari adanya kekuatan-kekuatan kebinatangars di dalam diri manusia, dan karena dia sebagai manusia, dia lebih cenderung kepada kebaikan dan sifat-sifat kebaikan. Kemudian, politik dan kekuasaap datang kepada manusia karena dia manusia, sebab keduanya merupakan salab satu ciri yang membedakannya dari binatang, Berarti, sifat-sifat kebaikan yang ada pada manusia itulah yang sesuai untuk kekuasaan dan politik, sedangkan kebajikan itulah yang sesuai untuk politik.
Telah kami sebutkan bahwa kehormatan (majd) memiliki dasar tempatnya berdiri dan sekaligus dengan dasar itu hakikatnya terealisasi: ‘ashabiyah dan kelompok kesukuan (‘asyir).
Kehormatan juga memiliki suatu detail yang melengkapi dan menyempurnakan eksistensinya: sifat-sifat (personal). Karena itulah, apabila kekuasaan merupakan tujuan akhir ‘ashabiyah, kekuasaan itu pun merupakan tujuan akhir dari detail-detail yang melengkapi, yaitu sifat-sifat personal. Sebab eksistensi kekuasaan tanpa detail-detail pelengkapnya, laksana wujud seseorang Len Anggota tubuh yang terlepas-lepas, atau laksana kemunculannya telanjay, bulat di tengah orang banyak.
Eksistensi ‘ashabiyah saja, tanpa praktik sifat-sifat terpuji, pasti merupakan cacat pada (diri) orang yang memiliki “rumah” dan prestise. Jika demikian, menurut Anda, bagaimana halnya dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan, yang merupakan tujuan puncak dari setiap kemasyhuran dan tujuan akhir dari setiap prestise.
Demikian pula politik dan kekuasaan, merupakan jaminan Allah bagi umat manusia dan merupakan (tugas) khilafah dari Allah kepada manusia untuk, melaksanakan hukum-hukum-Nya di kalangan mereka. Dan hukum-hukun, Allah yang berlaku bagi hamba-Nya tidak lain hanya dengan kebaikan dan menjaga kemaslahatannya, sebagaimana diperlihatkan oleh syariat-syarig agama. Sementara hukum-hukum manusia berasal dari kebodohan dan setan, bertentangan dengan kekuasaan dan takdir Allah swt. Sesungguhnya Dia menciptakan kebaikan dan keburukan bersama-sama serta menentukan keduanya, sebab tak ada yang bisa membuatnya, kecuali Dia.
Barang siapa memperoleh ‘ashabiyah berdasar jaminan kekuasaan Tuhan, dan barang siapa diberi Allah sifat-sifat kebaikan yang sesuai untuk kebutuhan melaksanakan hukum-hukum Allah di antara makhluk ciptaan-Nya, maka orang tersebut telah mempunyai kesiapan untuk menerima (tugas) khilafah (dari Allah) di kalangan hamba-Nya dan (menerima tugas) penjaminan makhluk ciptaan. Pada dirinya telah terdapat kualifikasi untuk itu. Bukti ini lebih kuat dari yang pertama dan lebih kokoh sendinya.
Dari sini menjadi jelas bahwa sifat-sifat kebaikan menyokong eksistensi (potensial) kekuasaan pada orang yang memiliki ‘ashabiyah. Karena itulah kita menyaksikan orang-orang yang memiliki ‘ashabiyah dan berhasil menaklukkan banyak daerah dan bangsa-bangsa, kita mendapatkan mereka berlomba-lomba dalam kebajikan dan sifat-sifat kebaikan, seperti murah hati, memaafkan kesalahan, toleransi terhadap orang lemah, hormat pada tamu, membantu anak yatim, memelihara kaum miskin, sabar menghadapi kesulitan, menepat janji, membelanjakan harta demi menjaga kehormatan, mengagungkan syarial agama, memuliakan para ulama yang menegakkan syariat, menerima perin maupun larangan yang mereka tetapkan, berbaik prasangka terhadap ulama percaya serta tabaruk kepada para pemuka agama, sangat mengharapkan doa dari mereka, menghormati dan memuliakan orang tua dan guru, mengikuti kebenaran serta mengajak kepada yang haq, mengasihi dan membantu orang yang terlalu lemah mengurus dirinya, rendah hati pada orang miskin, mendengar keluhan orang yang butuh bantuan, melaksanakan syariat agama dan beribadah dengan segala detailnya, menjauhkan diri dari perbuatan curang, licik, menipu, serta dari mengingkari janji, dan lain-lain yang seperti itu.
Demikianlah, kita tahu bahwa ini semua adalah sifat-sifat kepemimpinan yang dimiliki ahli ‘ashabiyah, dan sifat-sifat itu telah menjadikan mereka pantas dan berhak untuk menjadi pemimpin rakyat yang berada di bawah kendali mereka, atau menjadi pemimpin secara umum. Ini merupakan kebaikan yang telah Allah swt. anugerahkan kepada mereka, sesuai dengan ‘ashabiyah dan keunggulan mereka. Hal itu bukan sesuatu yang berlebihan pada mereka, atau merupakan lelucon mengenai mereka. Kekuasaan merupakan martabat dan kebajikan yang paling pantas bagi ‘ashabiyah mereka. Dengan demikian kita tahu bahwa Allah telah memberi izin kepada mereka untuk memperoleh kekuasaan dan membawakannya kepada mereka.
Sebaliknya, apabila Allah menghendaki suatu bangsa kehilangan kekuasaan, Allah mendatangkan sebab yang membuat rakyatnya melakukan perbuatan-perbuatan hina dan mempraktikkan segala macam keburukan. Hal ini akan membawa mereka sempurna kehilangan kebajikan-kebajikan politis di antara mereka. Kebajikan-kebajikan ini pun terus rusak, hingga mereka kehilangan kekuasaan sama sekali. Kemudian, orang lain datang menggantikan mereka. Hal ini untuk (lebih) menciptakan kehinaan pada mereka, di mana ka kuasaan yang telah Allah berikan pada mereka serta hal-hal baik yang telah Dia tempatkan pada mereka, betul-betul telah ditarik dari mereka. “Dan jika Kamj hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami). Kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- supaya hancurnya. Perhatikanlah hal itu dan ikutilah (kisahnya) pada bangsa-bangsa yang telah berlalu, Anda akan menemukan banyak fakta mengenai apa yang telah kami katakan dan kami gambarkan. “Dan Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih.”
Ketahuilah bahwa sifat-sifat yang termasuk kesempurnaan, yang diperlombakan oleh suku-suku yang memiliki ‘ashabiyah dan menjadi saksi atas (hak) mereka terhadap kekuasaan, di antaranya ialah menghormati para ulama, orang saleh, orang mulia (dari keluarga Nabi), orang yang lahir baik-baik, beragam golongan pedagang dan orang asing, serta mampu menempatkan orang pada posisinya. Rasa hormat yang ditunjukkan oleh suku-suku orang-orang (berkuasa) yang mengendalikan ‘ashabiyah dan keluarga, terhadap orang-orang yang sama-sama memiliki kemuliaan seperti mereka, posisi kesukuan, ‘ashabiyah, dan kedudukan, merupakan sesuatu yang alami. Kebanyaka, hal itu timbul dari ambisi akan kedudukan, atau karena perasaan takut dari rakyat seseorang yang kehormatannya dijunjung tinggi, atau karena harapan adanya perlakuan timbal balik. Namun, dalam kasus orang-orang seperti mereka yang tak memiliki ‘ashabiyah yang membuat mereka ditakuti, dan tidak memiliki kedudukan yang bisa diharapkan, maka tak dapat diragukan lagi Mengapa mereka dihormati, dan menjadi cukup jelaslah apa yang diinginkan orang dari mereka, seperti kebesaran, kesempurnaan sifat-sifat personal, dan penerimaan total (posisi) politik. Sebab rasa hormat terhadap para pesaing dan orang-orang sederajat, harus ada menyangkut kepemimpinan politik khusu, yang peduli terhadap suku seseorang dan para pesaingnya (serta orang-orang yang sederajat). Menghormati orang asing yang sangat baik dan yang sangat berkualitas berarti kesempurnaan dalam kepemimpinan politik secara umum.
Orang saleh dihormati karena agama mereka; para ulama, karena mereka dibutuhkan dalam menetapkan ketentuan ketentuan syariat; para pedagang, untuk memberi dorongan (atas usaha mereka), sehingga manfaat mereka bisa tersebar seluas mungkin. Orang asing dihormati karena kemurahan hati dan dimaksud untuk mendorong (mereka) terlibat dalam berbagai aktivitas. Menaruh masing-masing orang pada kedudukannya yang tepat dilakukan di luar kewajaran, dan kewajaran artinya keadilan. Apabila orang orang ahli ‘ashabiyah telah memilikinya, orang akan tahu bahwa mereka telah siap terjun ke dalam kepemimpinan politik umum, yang berarti (mereka siap untuk) kekuasaan. Allah telah mengizinkan kepemimpinan politik itu keluar dari kalanga! mereka, sebab tanda-tanda (kepemimpinan politik itu) sudah ada pada mereka. Karena itu, hal pertama yang akan lenyap dari suku yang memiliki kedaulatan jika Allah menghendaki menarik kerajaan dan kekuasaan mereka, adalah (hilangnya) penghormatan terhadap orang-orang tersebut di atas. Jika ada bangsa yang terlihat kehilangan (hal itu), dapatlah Anda ketahui bahwa (seluruh) kebajikannya telah mulai hilang, dan perhatikan bahwa kekuasaan akan lenyap dari mereka. “Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, taka da tempat berlari dari itu.”
Dan Allah lebih mengetahui.
Apabila Bangsa Itu Liar, Kekuasaannya Lebih Luas
Sebabnya karena, sebagaimana telah kami katakan, bangsa demikian lebih gampu memperoleh kemenangan dan kendali penuh, dan mampu menaklukkan golongan lain. Anggota dari bangsa tersebut memiliki kekuatan untuk memerangi bangsa lain, dan (keadaan) mereka di antara makhluk manusia lain akan binatang pemangsa di antara binatang-binatang bodoh. Orang-orang Badui, Zenatah, dan yang serupa, misalnya, termasuk bangsa-bangsa tersebut, sebagaimana orang-orang Kurdi, Turkoman, dan Sinhajah Berkerudung.
Orang-orang liar ini, selanjutnya, tidak mempunyai tanah air yang dapat mereka jadikan (padang rumput) sebagai tempat penghidupan, dan mereka pun tidak mempunyai tempat pasti yang bisa didatangi kembali. Semua daerah dan tempat sama bagi mereka. Karena itu, mereka tidak hanya menguasai daerah mereka sendiri dan sekitarnya. Mereka pun tidak hanya berhenti pada daerah pinggiran mereka, tetapi terus melangkah memasuki daerah-daerah (iklim) yang jauh dan terus-menerus menaklukkan serta menguasai bangsa-bangsa yang jauh.
Sehubungan dengan ini, perhatikan cerita tentang Khalifah Umar ra. ketika dia dibaiat, kemudian tampil mendorong rakyatnya menaklukkan Irak. Pidatonya kepada mereka, “Di Hijaz kalian tidak memiliki rumah selain padang rumput. Orang-orang yang tinggal di sana tak berkuasa atasnya kecuali dalam hal ini. Di manakah (kalian) para pendatang baru yang berhijrah (ke Madinah) berdiri sehubungan dengan janji Allah, ‘Berjalanlah di muka bumi’ Allah telah menjanjikannya bagi kalian di dalam Kitab-Nya sebagai warisan kalian, ketika Dia berfirman, ‘Itu demi memberi kemenangan (bagi agama yang benar) atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya’.
Contoh lainnya adalah kondisi orang Arab kuna (Jahiliyah), seperti Tubba’ dan Himyar. Mereka dilaporkan telah melakukan penaklukan dari Yaman ke Maghrib dalam sekali waktu, serta ke Irak dan India di waktu lain. Tidak ada bangsa lain kecuali orang Arab yang pernah melakukan sesuatu seperti itu.
Kondisi (bangsa Sinhajah) Bekerudung di Maghrib adalah contoh lain, Ketika mereka bercita-cita menginginkan kekuasaan, mereka melakukan serbuan keluar dari dataran gurun mereka ke sekitarnya di Sudan, pada zona pertama, dan menyerbu pula wilayah Spanyol di zona keempat dan kelima tanpa (tahapan) antara.
Demikianlah ihwal bangsa-bangsa liar. Karena itulah kekuasaan mereka sangat luas, dan daerah kekuasaan mereka sangat jauh dari pusatnya. “Dan Allah menetapkan malam dan siang.” Dia lah satu-satunya Yang Maha kuasa, tidak ada serikat bagi Nya.
Selama Satu Bangsa Masih Memiliki ‘Ashabiyah, Kekuasaan Yang Lepas Dari Salah Satu Sukunya Pasti Akan Kembali Ke Suku Lain pada Bangsa yang Sama
Sebabnya ialah bahwa anggota dari bangsa tertentu memperoleh kekuasaan hanya setelah berhasil membuktikan kedigdayaan (mereka) dan Penundukan seluruh bangsa yang lain kepada mereka. Hanya sebagian kecil dari Mereka kemudian terpilih menjadi penguasa sebenarnya dan langsung berhubungan dengan singgasana (kekuasaan). Dan bukan mereka seluruhnya, sebab di san, tak akan ada kamar yang cukup untuk mereka semua untuk bersaing (memim. pin), dan karena adanya ghirah yang memupus ambisi banyak dari mereka yang menginginkan kedudukan tinggi.
Mereka yang sudah terpilih mendukung dinasti, lalu bergelimang hidup enak, tenggelam dalam kemewahan dan kelimpahan. Mereka pun mempekerjakan saudara-saudara mereka yang masih satu generasi dan memanfaatkan mereka untuk menjalankan berbagai kepentingan dan urusan dinasti. Sementara mereka yang jauh dari pemerintahan dan yang terhalang dari terlibat (di dalamnya), tetap dibiarkan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dinasti. Mereka terlibat di dalamnya atas kebaikan keturunan mereka, (namun) mereka tak terpengaruh oleh ketuaan, sebab mereka jauh dari kehidupan mewah dan sesuatu yang menciptakan kemewahan.
Hari-hari pun (berlalu) mengungguli kelompok asli (yang berkuasa). Kegagahan mereka menghilang akibat usia tua. Tugas-tugas dinasti telah membuat mereka lemah. Waktu menelan mereka, sebagaimana energi mereka telah tergerus kesenangan, dan kedigdayaan mereka telah kering akibat kebiasaan hidup mewah. Mereka telah mencapai batas mereka, batas yang ditentukan oleh watak urbanisasi manusia (tamaddun) dan superioritas politik. Syair:
Seperti ulat sutra yang memintal kemudian binasa di pusat pemintalannya sendiri.
Pada momen itu, ‘ashabiyah orang-orang lain (yang masih satu bangsa tetap kuat. Kedigdayaan mereka tidak dapat dihancurkan. Lambang mereka tetap terpancang menunjukkan kemenangan. Akibatnya, angan-angan mereka untuk memperoleh kekuasaan begitu tinggi, yang mereka pertahankan hingga kini dengan kekuatan super di dalam kelompok mereka sendiri. Superioritas mereka diakui, dan karena itu, tak seorang pun menghalangi (tuntutan mereka akan kekuasaan). Mereka pun merebut kekuasaan. (Kekuasaan) menjadi milik mereka.
Mereka kemudian mempunyai pengalaman sama seperti pengalaman leluhur mereka di tangan kelompok-kelompok lain di dalam (sesama) bangsa yang tap jauh dari pemerintahan. Kekuasaan tersebut berlangsung terus di satu pangsa tertentu hingga kekuatan ‘ashabiyah (bangsa itu) hancur dan lenyap, atau hingga seluruh kelompoknya lenyap dari muka bumi. Hukum Allah berlaku atas kehidupan dunia, “Dan akhirat itu berada di sisi Tuhanmu diperuntukkan orang-orang yang takwa.”
Anda dapat mengambil pelajaran tentang ini dari apa yang terjadi pada peberapa bangsa di Arab. Ketika kekuasaan bangsa ‘Ad hancur, saudara-saudara mereka, kaum Tsamud, mengambil alih. Dan mereka pun digantikan sesudahnya oleh saudara-saudara mereka, suku Amaleka. Dan Amaleka digantikan lagi oleh bangsa Himyar; Himyar (digantikan) oleh saudara mereka, Tubba’, yang temasuk dari Himyar. Dan mereka pun digantikan oleh Adzwa’, kemudian kekuasaan jatuh ke Mudhar.
Hal sama terjadi pada bangsa Persia. Ketika kerajaan Kayan hancur, bangsa Sassan menggantikan mereka sesudahnya. Hingga Allah menghendaki kehancuran mereka semua (digantikan) oleh Islam.
Hal sama terjadi juga pada bangsa Yunani. Kekuasaan mereka hancur dan berpindah ke saudara mereka, bangsa Rum (Romawi).
Sama halnya yang terjadi dengan bangsa Barbar di Magribi. Ketika keratan raja-raja mereka yang pertama, Maghrawah dan Kutimah, dihancurkan, (kekuasaan) berpindah ke Shinhajah. Kemudian ia berpindah ke (Shinhajah) Betkerudung, lalu ke Masmudah, dan kemudian ke kelompok-kelompok Canatah yang (masih) tersisa.
Demikianlah bagaimana hukum Allah berlaku bagi hamba-hamba dan takhluk ciptaan-Nya.
Kesemua ini bermuara pada ‘ashabiyah, yang berbeda-beda pada kelompok yang berbeda. Kemewahan telah menghancurkan kekuasaan dan melenyapkanhya, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Jika suatu dinasti sudah hancur, kekuasaan diambil (alih) dari (anggota dinasti tersebut) oleh orang-orang yang ashabiyah-nya mempunyai saham di ‘ashabiyah (yang mapan), karena diakui bahwa penundukan dan penaklukkan (oleh pihak lain) tergantung pada (‘ashabiyah kelompok mapan), dan karena orang terbiasa dengan fakta bahwa ashabiyah kelompok mapan memiliki keunggulan atas semua Ashabiyy yang lain,
Kini, ‘ashabiyah yang sama hanya terdapat pada orang-orang yang men, punyai hubungan dekat dengan dinasti yang lewat, sebab ‘ashabiyah sebanding dengan derajat hubungan, (Demikian terus yang terjadi hingga), pada saatnya, terjadi perubahan besar di dunia, seperti transformasi sebuah agama, atau lenyapnya suatu peradaban, atau hal-hal lain yang dikehendaki oleh Allah dengan kekuasaan-Nya. Ketika itu, kekuasaan dipindahkan dari satu kelompok ke yang lain, ke seseorang yang dikehendaki oleh Allah untuk melakukan perubahan tersebut. Hal ini terjadi pada Mudhar. Mereka memperoleh keuasaan atas bangsa-bangsa dan dinasti-dinasti, serta merebut kekuasaan dari seluruh bangsa di dunia, setelah mereka sendiri dijauhkan dari kekuasaan selama bertahun-tahun.
Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bukunya bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.