Dalam sebuah wacana retoris, orang yang tak berilmu bisa tampil cerdas laksana pakar. Dengan modal bersilat lidah dan teori asal bunyi (asbun), ia mampu membetot perhatian publik seolah paling benar dari siapapun. Namun orang yang menguasai ilmu belum tentu dapat mempersuasikan diri ke hadapan publik dengan indah, terutama bila dihadapkan pada diskusi dan pertanyaan yang rumit dan menjebak.
Penulis buku ini mengutip sebuah teori, intelektual yang mumpuni biasanya menguasai dua ilmu, yaitu ilmu kalam (tauhid) dan mantik. Orang yang menguasai kedua hal itu umumnya punya intelektualitas tinggi dengan teknik penyampaian yang brilian. Logikanya kuat, cara berpikirnya sistematik, argumennya tajam, retorikanya rapi, dan dalam perdebatan mampu mematahkan lawan dengan efektif.
Orang Indonesia sering dihadapkan pada wacana publik yang rumit, misalnya mengenai kontroversi aksi bela Islam, soal kafir atau non muslim, soal demokrasi, pulang kampung atau mudik, dan sebagainya. Kebanyakan perdebatan itu berlangsung ricuh, bukannya mengurai persoalan tetapi memperkeruhnya.
Ilmu mantik didesain untuk membentengi diri dari segala macam penyesatan pikiran. Secara definisi mantik adalah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir. Manusia secara fitrah tidak akan lepas dari berpikir, namun dalam proses itu sering kali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, dan subyektifitas. Pengaruh eksternal itu dapat membuat orang kehilangan logika, tidak obyektif, dan secara umum tak berpikir jernih.
Buku yang diterbitkan oleh Keira setebal 600 halaman ini mengajarkan cara bernalar lurus yang aplikatif menghadapi persoalan-persoalan yang ruwet. Banyak formulasi-formulasi baku yang dirumuskan dalam buku ini, masing-masing laksana tiang penyangga yang secara keseluruhan dapat menyokong bangunan logika yang sehat dan kokoh.
Misalnya tentang tiga kaidah berpikir utama, yaitu Qanun Al-Dzatiyah, Qanun Adam al-Tanaqudh, dan Qanun al-Imtina’. Qanun Al-Dzatiyah artinya, sesuatu itu adalah dirinya sendiri, yang dirumuskan A=A, B=B, bukan A=B atau B=A. Ini menjadi landasan berpikir, misalnya mengenai Tuhan dan mahluk. Hakikat keduanya jelas berbeda dan demi logika waras, keduanya tak bisa disamakan. Dalam hal yang lebih rumitpun rumus ini tidak boleh tercabut.
Yang kedua adalah Qanun Adam al-Tanaqudh atau law of contradiction. Dua hal yang bertentangan tidak mungkin terhimpun dan tidak mungkin saling membenarkan. Yang ketiga adalah Qanun al-Imtina atau law of excluded middle. Dua hal yang bertentangan itu hanya salah satu yang benar. Misalnya hidup dan tidak hidup atau bergerak dan diam. Tak ada kemungkinan ketiga.
Akan tetapi penting dibedakan dua hal yang betentangan (an-naqidhan) dan dua hal yang hanya berlawanan (adh-dhiddan). Hitam dan putih adalah hal berlawanan tetapi tidak bertentangan, maka sesuatu dapat dikatakan tidak hitan dan tidak putih.
Buku ini mengajari banyak hal, mulai dari membangun definisi, menyusun kata, kalimat, hingga substansi, dan dasar-dasar logika, serta proses pembuktian melalui panca indera maupun tidak. Bila dipelajari dengan baik, ilmu ini menancapkan konstruksi berpikir yang kokoh sehingga pemiliknya akan sulit didesepsi, dimanipulasi, dan bebas dari pemutarbalikan fakta.
Perangkat mantik ini dapat dipakai untuk memecahkan suatu problematika yang kompleks. Penulis mencontohkan, bagaimana membuat analisa mengenai sebuah fenomena yang tidak melibatkan aspek tunggal, seperti Islam Nusantara (halaman 231). Ada dasar teori yang disebut Qismah atau pembagian. Di sini dijelaskan tentang qismah mantiqiyah, yaitu pembagian dari suatu mafhum universal ke dalam bagian-bagian yang berada dalam cakupannya, yang itu berbeda satu sama lain.
IImu mantik merupakan pengembangan filsafat Yunani yang pada awalnya diperkenalkan oleh Socrates. Ia pemegang teguh teori definisi dan terkenal dengan kata-katanya “define your term”. Ia tak menerima perdebatan sebelum definisi ditentukan terlebih dahulu.
Kemudian ilmu ini dikembangkan oleh murid Socrates, yaitu Plato. Plato menolak konsep kebenaran panca indera dan konsep kebenaran relatif. Dibalik pengamatan inderawi, kata Plato, ada tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu akal. Platolah yang membuat teori alam ide (al-alam al mutsul) dan untuk itu ia dikenal sebagai bapak mazhab idealisme.
Penyempurna ilmu ini adalah Aristoteles. Ia paling berjasa menyusun, menyempurnakan, dan mengkodifikasi kaidah berpikir yang akhirnya menjadi disiplin ilmu mantik ini. Secara garis besar logika Aristoteles terdiri dari tiga unsur, yaitu: konsep atau pengertian (tashawwur), proposisi atau pernyataan (qadliyyah), dan silogisme (qiyâs ‘aqli). Silogisme inilah sebenarnya yang merupakan pokok utama dan terpenting dalam logika Aristoteles.
Mantik ala Aristoteles ini berkembang di dunia Islam pada masa Bani Umayyah. Kedatangan mendapatkan tanggapan yang beraneka ragam, ada yang apresiatif dan ada juga yang menolak dan menganggapnya bid’ah.
Penulis buku ini adalah Muhammad Nuruddin Lc. Dipl. peraih gelar sarjana dalam bidang Akidah Filsafat dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Saat ini ia masih tercacat sebagai mahasiswa pasca sarjana di universitas yang sama. Lelaki kelahiran Sukabumi, 19 Desember 1994 ini mulai mengenal ilmu mantik saat nyantri di Pesantren Babus Salam, Tangerang, dan memperdalamnya hingga saat ini.
Judul Buku: Ilmu Mantik
Sub Judul: Panduan Mudah & Lengkap Untuk Memahami Kaidah Berpikir
Penulis: Muhammad Nuruddin
Jumlah Halaman : 600
Penerbit: Keira (Cetakan Ke-3, Juli 2021)
ISBN: 978-602-5426-79-7
Diresensi Oleh : Jakarta Book Review @ 2021
Cek aja di google, cari ilmu mantik, pasti buku ini paling utama. Emang keren m nuruddin.