Etika dan Kehidupan yang Bahagia
Teori Epikureanisme tentang kehidupan yang berbahagia-yaitu hidup yang memuaskan sekaligus bajik—memiliki dua aspek; aspek negatif dan positif. Sebelum manusia bisa menikmati hidup, maka dia harus terlebih dulu bebas dari hambatan tertentu. Hambatan yang dimaksud terutama adalah ketakutan akan para dewa, ketakutan akan kematian, dan ketakutan akan siksa neraka. Baik Epikuros dan Lucretius sama-sama berupaya keras menetralisasi dan menunjukkan betapa tidak berdasarnya semua ketakutan itu. Epikuros mendedikasikan tiga bagian pertama dari Surat untuk Menoeceus untuk upaya tersebut,” dan kita telah melihat bagaimana filsafat atom menentang ketakutan absurd itu dengan mudah (Pendahuluat Il.2, IV.2, VI.2, sebelumnya). Lucretius menulis lebih dari 400 kalimat dan menambahkan 25 argumen untuk menunjukkan bahwa jiwa bersifat fana, sehingga tidak mungkin mengalami kehidupan lagi setelah kematian. Dia menempatkan ketakutan akan kematian dalam konteks etis khusus dengan mencoba menunjukkannya sebagai penyebab utama sifat buruk manusia, seperti keserakahan, hasrat membunuh, kecemburuan, mengasihani diri, bunuh diri, tindak kejahatan atas negara, dan pengkhianatan.
Keserakahan buta dan nafsu akan kekuasaan membuat manausia melanggar batas dan seringkali berkonspirasi dan bekerja sama untuk berbuat dosa; hingga mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuatan. Penyakit dalam kehidupan yang bajik ini berkembang karena ketakutan akan kematian, karena penolakan dan kemiskinan yang pahit seringkali dipandang sebagai kehidupan yang sengsara-sebuah perhentian sementara sebelum kematian. Demi menjauhkan penyakit ini, manusia dilanda ketakutan untuk terus memusuhi sesama, melakukan pembunuhan demi pembunuhan selagi mereka memperkaya diri. Mereka bersenang-senang di atas kematian saudaranya. Mereka iri dan membenci kesejahteraan saudaranya. Dari ketakutan yang sama, mereka berkata dengan penuh kecemburuan, bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi adalah orang terhormat, dan mereka meratapi diri, berkata bahwa nasib mereka amatilah buruk. Beberapa manusia mengorbankan nyawa mereka demi status dan nama! Seringkali ketakutan akan kematian membuat manusia membenci kehidupan, hingga mereka sendiri pun mati seiring kekosongan hati mereka. Manusia lupa bahwa ketakutan tersebut yang membuat mereka didera penyakit yang menodai kehormatan mereka, memutus ikatan kasih sayang dengan sesamanya, dan melupakan kewajibannya. Kemudian, manusia mengkhianati negara dan orang tua mereka ketika mereka berupaya lari dari kungkungan neraka. [Lucr. 3.59-—86)
- HEDONISME EPIKUROS.
Aspek positif dari ajaran etis Epikuros dikenal sebagai donisme, dari kata benda Yunani yang berarti “kesenangan.” Hedonismenya memiliki dua asumsi dasar yang sama-samg bersifat materialistis: (a) kebajikan sama dengan kesenangan baik yang bersifat jasmani atau rohani, karena tingkat kesenangan yang bisa dialami amat beragam dan lebih dari satu tingkat; dan (b) bahwa kejahatan sama seperti penderitaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Baik kesenangan maupun penderitaan dapat dianalisis lebih jauh lagi hingga berujung pada konfigurasi atom yang bergerak, sehingga pengalaman moral kita juga bersifat materi seperti benda lainnya di dunia. Tindakan moral melibatkan “pilihan” berbagai kesenangan dan “ketidaksukaan,” maksudnya adalah manusia bisa memilih untuk menghindari kemungkinan rasa sakit. Tindakan terhitung bajik jika dalam jangka panjang menghasilkan lebih banyak kesenangan dibandingkan penderitaan; jika tidak demikian, maka tindakan itu bersifat amoral. Prinsip ini berlaku dalam banyak kasus “pemilihan dan penghindaran”, serta dapat digambarkan dengan contoh dari kehidupan kita di masa sekarang:
- Mahasiswa A memutuskan untuk menyontek saat ujian di kampus agar nilainya naik. Apakah ini termasuk tindakan bajik menurut standar Epikuros? (Untuk sementara ini, mari kita abaikan standar lainnya.) Anggaplah mahasiswa itu “tidak dihukum” karena melakukannya. “Kesenangannya” meningkat, tapi di saat yang sama dia takut dosennya akan curiga. Penderitaan dan kesenangannya kurang lebih seimbang, dan dalam hal ini, sulit untuk menentukan moral! atau tidaknya tindakan mahasiswa ini. Karena pernah berhasil, menyontek pun menjadi kebiasaan mahasiswa tersebut. Kini, ada beberapa alternatif: (a) Mahasiswa itu akhirnya tepergok dan dikeluarkan dari universitas, dan jika jtu terjadi, maka penderitaan lebih tinggi dari kesenangannya, sehingga tindakannya menjadi amoral. (b) Mahasiswa itu mungkin cerdas dan selalu lolos, tapi di saat yang sama selalu merasa gelisah, sehingga penderitaannya juga melebihi kesenangannya, sehingga tindakannya amoral. Atau (c), mungkin dia terus lolos dan tak merasakan kegelisahan apa pun (dan tampaknya mahasiswa seperti ini banyak di universitas zaman sekarang). Dalam hal ini, Epikuros terpaksa mengakui bahwa tindakan tersebut adalah bajik, karena hanya kesenangan yang dihasilkan darinya! Namun, kebiasaan menyontek di universitas akan terbawa ke kehidupan nyata hingga berganti menjadi perselingkuhan, ketidakjujuran saat berbisnis, dengan konsekuensi yang lebih menyakitkan daripada menyenangkan. Efek jangka panjang kebiasaan kita akan selalu dinilai moral atau amoral.
- Seorang peminum yang suka martini mungkin meminum lebih dari sepuluh gelas martini dalam sebuah pesta dan masih bisa berdiri. Apa tindakan ini bajik sesuai standar Epikuros? Yang perlu diperhatikan bukan hanya efek jangka pendeknya (dia bergembira selama dua jam) tapi juga konsekuensinya. Jika dia tak merasakan dampak buruk malam itu atau keesokan paginya, maka tindakannya itu penuh kesenangan, sehingga terhitung tindakan yang bajik; jika tidak demikian, maka tindakan itu amoral, tergantung pada intensitas sakit kepalanya. (Contoh seperti ini yang membuat Epikureanisme dipandang sinis. Epikuros sendiri tidak akan menyukainya, karena secara prinsip, dia tak menyetujui seks bebas, kenikmatan semu, dan berlebih-bihan. Tetap saja, itu termasuk karakter “Epikureanisme” ada setiap zaman dan masih ada di kehidupan modern.)
- Sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta tak bisa menikah karena masalah biaya. Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan hubungan intim dua atau tiga tahun sebelum mereka menikah. Apakah tindakan ini bajik atau amoral? Sekali lagi, ada beberapa kemungkinan: (a) Pasangan ini berniat mencari nikmat melalui hubungan intim, tapi justru dilanda rasa bersalah karena ibu yang kaku atau ayah yang tirani. Kesenangan mereka diiringi penderitaan yang dalam, sehingga tindakan itu amoral. (b) Pasangan itu tidak merasa bersalah, dan mereka merasa nikmat; lebih jauh lagi, ketegangan mereka berhasil dihilangkan dengan kesenangan sesekali ini. Mereka kemudian menikah dan hidup bahagia. Jika itu yang terjadi, maka tindakan mereka jelas bajik. (c) Namun, jika mereka tak menikah karena tak saling cinta setelah dua atau tiga tahun, maka seks mereka bisa menjadi hambar dan tak lagi intim, sehingga masing-masing bisa menikah dan bercerai dua kali. Konsekuensi yang menyakitkan ini bisa berujung perselingkuhan. Sekali lagi, dampak jangka panjang harus dipertimbangkan sebelum penilaian etis dilakukan.
Berdasarkan contoh-contoh ini, mahasiswa akan dilanda pertanyaan yang lebih pelik: apakah pernikahan adalah hal bajik atau amoral? Apakah perselingkuhan itu bajik? Bagaimana dengan perang dan diskriminasi ras, dan hal lainnya? Deskripsi dasar hedonisme tersebut masih membutuhkan kualifikasi tertentu agar sesuai dengan makna Epikuros akan istilah tersebut, tapi untuk saat ini, jelas sekali bahwa: (1) Prinsip kesenangan – penderitaan amat fleksibel dan dapat diterapkan dalam nilai kebajikan yang umum dan yang tidak. (2) Hedonisme menilai bajik atau tidaknya sebuah tindakan bukan berdasarkan tindakan itu sendiri, peraturan perilaku yang tegas, dan penalaran; melainkan dengan pengalaman yang dihasilkan, terutama perasaan senang dan derita yang dihasilkannya. Epikuros meyakini bahwa kedua perasaan tersebut adalah dasar sejati dan alamiah untuk etika empiris. “Setiap kesenangan itu baik jika membuat kita senang, tapi tidak semua kesenangan itu harus selalu ada. Dengan pandangan serupa, maka setiap penderitaan itu buruk, tapi tidak semua penderitaan harus selalu ditolak. (3) Etika hedonisme bersifat relatif dan tidak absolut, banyak moralitas dari tindakan diangap ambigu, karena nilai dari tindakan itu sendiri tidak bergantung pada karakter kodrati, melainkan pada konsekuensi psikologinya, yang tentu saja berbeda pada tiap individu dan setiap masa.
a. Kesenangan bermakna netral atau negatif. Doktrin bahwa kesenangan adalah kebajikan tertinggi langsung menciptakan kesalahpahaman serius, karena ambiguitas dari istilah “kesenangan.” Aliran Epikureanisme dinilai sebagai penggila seks dan keduniawian oleh para rival dan pencelanya, baik pada masa kuno maupun masa modern. Itu disebabkan “kesenangan” dianggap sebagai “kata kotor” di mata para moralis dan orang awam di sepanjang sejarah. Sebenarnya, penganut Epikureanisme yang taat cenderung disiplin, bahkan saleh, dari segi ajaran atau praktik, dan fakta ini diketahui oleh siapa pun yang membaca tulisan Epikuros yang tersisa dengan sungguh-sungguh. Epikuros menganggap “kesenangan” sebagai lawan dari “penderitaan”, dengan kata lain, kesenangan berarti absennya penderitaan, atau kenihilan relatif penderitaan dari pikiran dan tubuh, maksudnya kenyamanan jasmani, atau kemakmuran dan kedamaian pikiran. Dengan begitu, kehidupan yang berbahagia adalah kehidupan yang bertujuan mencapai keadaan-keadaan tersebut. Kehidupan yang bahagia jelas bukanlah kenikmatan seksual, hasrat, persaingan, prestis sosial, dan kesuksesan harta-semua itu diyakini negara kita sebagai penentu kehidupan yang bahagia, atau apa yang kita sebut sebagai “cara hidup orang Amerika.”
Saat saya berkata bahwa kesenangan adalah tujuan hidup, yang saya maksud bukanlah kenikmatan individual atau sesuat, yang menyenangkan, sebagaimana yang disangkakan orang yang tak paham, tak menyetujui, atau salah menafsirkan doktri ini. Justru sebaliknya, yang dimaksud adalah kesenangan yang ada dalam kemerdekaan dari derita jasmani dan rohani. Kehidupan yang memuaskan tidak diperoleh dari mabuk-mabukan, atau dari hubungan seksual dengan orang lain, pun bukan berwujud makanan mewah yang disajikan di atas meja besar.
Kehidupan yang berbahagia ala Epikureanisme adalah mendisiplinkan nafsu makan, membatasi keinginan dan kebutuhan hingga batas yang paling minimal untuk kehidupan yang sehat, menjauhkan diri dari tujuan dan nilai yang dijunjung terlampau tinggi, serta tidak turut serta secara aktif dalam kehidupan komunal, hanya bersama beberapa teman—denga kata lain, kehidupan yang biasa saja dan pemikiran yang luhur.
Dari prinsip tersebut, terlihat bahwa tujuan utama Epikureanisme jauh dari definisi kehidupan yang penuh kenikmatan atau hidup yang menyenangkan. Konsepsi kesenangan sepenuhny negatif—minimalisasi segala penderitaan dalam hidup; yang kecil dan yang besar, serta tiga jenis ketakutan, juga memaksimalkan kedamaian diri, kesunyian, dan kesejahteraan. Dengan demikian, dari segi tafsiran harfiahnya, tujuan utama Epikureanisme adalah ketenteraman yang menyerupai Buddha—letak perbedaannya adalah aliran Epikureanisme meyakini realitas dunia yang berwujud dan tidak ingin terlarut dalam konsep mitos nirwana.
Tapi Epikureanisme ada beragam. Maksudnya adalah ada penganut yang taat, yang menjalani hidup menyendiri dan ada pula sebaliknya, penganut yang cinta dunia. Golongan kedua diwakilkan oleh contoh yang tadi disebutkan, terutama oleh para pecinta martini dan pasangan yang saling jatuh cinta. Orang-orang macam itu akan langsung dianggap sebagai penganut Epikureanisme yang korup, karena yang mereka cari dari hidup adalah kesenangan positif yang maksimal dengan minimal konsekuensi tidak mengenakkan. Itu wajar dan manusiawi, tapi menurut Hoyle tidak demikian. Tetap saja, dari sudut pandang pragmatis dan non-dogmatis, tidak ada alasan seseorang bisa hidup dengan makmur dan sukses dengan menerapkan prinsip kesenangan-penderitaan dalam cara yang tidak ortodoks. Di mana ada pengikut Epikureanisme sejati, pasti ada ribuan pengikut palsu di setiap usia, sama seperti di mana ada Yesus, pasti ada ratusan ribu pengikut Kristus yang palsu.
Ketika sebuah tujuan utama terlalu luhur dan kaku, maka pasti akan ada pengikutnya yang korup. Pergeseran makna kesenangan dari negatif ke positif dalam penerapannya telah merusak nilai “lurus” Epikureanisme dan akhirmya memberi kesan bahwa aliran Epikureanisme identik dengan jamuan dan anggur mewah. Kata “kesenangan” dalam ajaran etika akan dihujat oleh mereka yang tak pernah mempelajarinya secara mendalam atau tidak memahaminya sama sekali. Itu sama dengan prinsip kebajikan Yesus yang dirusak oleh penerapan para pengikutnya yang tidak disiplin dan dangkal iman. Kedua kasus itu diibaratkan mutiara yang berharga hancur terinjak-injak.
Reaksi negatif terhadap kesenangan dan minimalisasi nilai-nilai utama duniawi digambarkan secara sempurna oleh kehidupan Epikuros sendiri, yang mempraktikkan doktrinnya sendiri dengan baik. Pertama-tama, dia menarik diri dari partisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik Athena, lalu menyendiri bersama teman-teman, wanita dan pria, dalam Taman berdinding. Dia mengikuti peraturannya sendiri, lathe biosas (“Hidup dalam pengasingan”).
Kedua, dia menjalani hidup yang sederhana, terutama dalam hal makan. Dia tidak makan daging, tidak minum anggur, dan dalam surat untuk temannya, dia pernah meminta keju dalam mangkuk sebagai jamuan mewah. Ketiga, dia menghabiskan waktu untuk kegiatan non-duniawi—belajar, menulis, mengajar, berdialog, dan merenung. Keempat, sebagaimana Yesus, dia menghindari kontak seksual tapi di saat yang sama membiarkan dirinya dicela karena memiliki murid-murid wanita, baik wanita bebas maupun wanita budak. Epikuros dan para pengikut sejatinya tidak tertarik akan kesenangan paling intens dan terkadang menyakitkan, yaitu cinta penuh nafsu: “Pria yang berbudi tidak akan jatuh cinta,” dan “Seks takkan pernah menguntungkan siapa pun, dan ajaib jika itu tidak merugikan kita!” Epikuros pasti menyukai ungkapan baru-baru ini: “Saya lebih memilih menghabiskan waktu bersama Dickens di ranjang daripada bersama wanita.”