Jalan kaki itu ada caranya. Tidak sekadar melangkahkan kaki hingga lelah dan berkeringat. Ada hal lain yang membuat jalan kaki itu menggetarkan jiwa, menyentuh hati, membuat kita tertawa, atau sedih meneteskan air mata.
Begitu kira-kira pesan penting Frederic Gross dalam bukunya A Philosophy of Walking. Dia adalah pegiat kajian filsafat asal Prancis, negeri yang telah melahirkan Rene Descartes (1596-1650), Jean Jacques Rosseau (1712-1778), Michel Foucault (1926-1984), Jacques Derrida (1930-2004), dan banyak filosof.
Ada tips berjalan kaki yang baik. Mulai dari memilih lokasi, cara berjalannya seperti apa, hingga apa yang harus kita lakukan di tengah perjalanan agar sampai ke tujuan. Semua itu diuraikan Gross berdasarkan pengalaman orang-orang hebat. Mereka adalah orang antimainstream yang membuat perubahan besar di dunia.
Melalui A Philosophy of Walking, Gross mengajak kita meneladani orang-orang hebat. Tak sekadar dari karya yang dihasilkan, tapi meneruskan kebiasaan baik dan menyehatkan tubuh yang dilakukan, yaitu berjalan kaki.
Para pejalan kaki hebat
Nenek moyang dahulu adalah pejalan kaki hebat. Sebut saja Nabi Adam alayhissalam bersama Hawa. Setelah dipindahkan ke bumi, mereka berjalan kaki menempuh banyak daerah yang jauh, hingga sampai ke bukit cinta Arafat di Hijaz. Kini puncaknya menjadi tempat para jomblo menempelkan fotonya dengan harapan Allah akan segera mempertemukan jodoh mereka.
Dari Arafat, Adam dan Hawa berjalan ke Muzdalifah untuk beristirahat sejenak. Kemudian melanjutkan langkah kaki menuju Ka’bah untuk tawaf, dan seterusnya hingga pilgrim yang dilakukan menjadi sempurna.
Sokrates dikisahkan gemar berjalan pada pagi hari di sekitar Agora atau area perkumpulan masyarakat. Plato (427 SM – 347 SM) berjalan kaki mondar mandir saat mengajarkan filsafat kepada muridnya. Aristoteles (384-322 SM) berjalan kaki bersama para muridnya sambil menerangkan dewa dewi, alam, dan kehidupan, sehingga membuat kagum orang-orang sekitar.
Karena sambil berjalan kaki, filsafat Yunani kerap disebut filsafat paripatetik. Tradisi Islam menyebutnya masyaiyah (مشائية). Asal katanya masya (مشى)dan yamsyi (يمشى) yang berarti berjalan kaki. Pada dasarnya paripatetik bermakna berjalan, namun secara istilah, filsafat paripatetik bermakna filsafat yang merujuk kepada Aristoteles.
Ada filosof asal Jerman Friedrich Nietzche (1844-1900). Ini orang kutu buku yang biasanya berkutat di perpustakaan setiap hari, kemudian pindah ke jalanan. Dia menapaki tanah-tanah para pejalan kaki, berpapasan dengan orang-orang yang hendak berangkat kerja, menyaksikan mereka yang bersepeda atau mengendarai kendaraan bermotor yang memacu kecepatannya. Nietzche menyaksikan mereka semua, tapi kemudian si filosof satu ini punya hal lain yang jauh lebih menarik. Ini adalah hal yang membangkitkan hormon positif, sehingga memacu dirinya menghasilkan karya besar, yang menjadi bacaan orang sampai ratusan tahun setelah dirinya tutup usia.
Kemudian ada cerita penulis Henry David Thoreau (1817-1862). Ini orang senang sekali berjalan kaki dalam kesehariannya. Dari kebiasaan sehat itu dia menjadi energik menulis karya besar seperti Civil Disobedience (pemberontakan sipil). Ini adalah bacaan wajib orang kiri dan mereka yang tidak terima dengan status quo dengan segala praktik kezaliman di dalamnya. Mereka yang hidup pada abad ke-19, bahkan hingga saat ini, akan tertarik membaca civil disobedience sebagai panduan orang untuk menyikapi status quo yang dianggap sebagai ‘keadaan sakral’ yang tak perlu diubah.
Presiden Amerika Serikat ke-44 Barrack Obama adalah orang yang gemar berjalan kaki. Dalam beberapa video, tampak presiden kelahiran Hawai ini melangkahkan kaki berjabat tangan dengan orang-orang sekitar, berfoto bersama mereka, dan membeli burger.
Namun berjalan kaki adalah kebiasaan yang sudah banyak ditinggalkan. Banyak orang saat ini lebih memilih mengendarai sepeda motor, mobil, atau angkutan umum, untuk sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Modernisasi dan kapitalisasi, meniscayakan setiap orang untuk bergerak cepat, tapi terkadang abai dengan kebiasaan baik berolahraga, seperti jalan kaki.
Olahraga jalan kaki memang tak bisa dilakukan dengan cepat. Ini adalah olahraga yang mengharuskan penikmatnya bersantai ria, masuk ke dalam lorong ketenangan jiwa, menikmati segala yang disaksikannya, menghirup udara sekitar sedalam-dalamnya, kemudian mengembuskannya sambil merekahkan senyuman. Santai saja. Singkirkan dulu segala kesibukan dan kesemrawutan pekerjaan. Ganti dengan yang ada di depan mata, yaitu lingkungan sekitar: tetumbuhan dengan rimbunan daun yang tertiup angin. Begitu juga gemericik air di saluran yang terus menerus mengalir, meski ada benda yang menghalangi. Nikmati juga banyak hal yang ada di sekitar. Nikmati dengan penuh kesungguhan. Maka dengan begitu, jalan kaki akan terasa nikmat.
A Philosophy of Walking mengajarkan kita bagaimana asyik berjalan kaki: menempuh jarak yang jauh, tapi tidak membuat lelah dan membosankan. Bagaimana caranya? Yuk sama-sama baca bukunya.
Judul : The Philosophy of Walking
Penulis : Frederic Gros
Penerbit : Renebook
Genre : Filsafat
Tebal : 284 halaman
Edisi : Februari 2020
ISBN : 978-602-1201-86-2
Diresensi oleh Jakarta Book Review
buku sip