Menjadi Protagonis
Lima puluh Lady Bangsawan yang datang ke istana tidak dibiarkan membawa pelayan pribadi. Mereka disediakan satu pelayan khusus, lalu diantarkan ke kamar masing-masing yang terletak di istana bagian timur. Istana tersebut berdiri megah dengan tinggi 4 tingkat. Masing-masing tikat terdiri dari 10 sampai 15 kamar.
Kamar pelayan dan Lady bangsawan terpisah oleh hutan bambu yang ada di samping istana, membuat mereka tidak ada bedanya dengan mengurus diri sendiri. Beberapa Lady bangsawan yang terbiasa hidup mewah tentu saja protes, tapi mengingat keputusan ini dari Ibu Ratu, semuanya langsung diam.
Grace menghela napas menatap kondisi kamarnya. Baik rakyat biasa maupun bangsawan terhormat, semuanya mendapat kamar yang sama – yang menurut Grace tidak sebanding dengan kamarnya di kastil Duke Herbrough. Tapi anehnya gadis-gadis lain malah menganggap kamar Istana Timur sangat bagus.
“Pasti di rumahnya mereka miskin,” Grace langsung mengalihkan pandangannya ke pelayan-pelayan yang kini berjejer rapi membawa setumpuk gaun yang Grace bawa dari kastil. “Ayo, cepat…”
“Taruh di mana, Lady?” Pelayan itu masih bingung.
Grace pun berjalan ke arah lemari. Namun, ketika pintu lemari dibuka, Grace tercengang saat melihat ada deretan gaun yang bertengger memenuhi lemari itu.
“Siapa yang menaruh kain pel ini di sini?” Grace menatap Greyana – Pelayan yang ditugaskan melayaninya selama di istana.
“Lady… Maafkan saya. Saya lupa mengatakan pada Lady bahwa pihak istana sudah menyiapkan pakaian untuk dipakai selama kompetisi nanti.”
“Kalian serius menyuruhku memakai ini?” Diangkatnya kain berbahan katun lusuh itu. “Gaun pelayan di kastilku saja lebih bagus!”
“Ini perintah Ibu Ratu, Lady. Pihak istana tidak ingin melihat ada kesenjangan sosial.”
Grace memutar bola matanya, lalu memeriksa gaun-gaun yang ada di dalam lemarinya. Ada 4 jenis gaun yang masing-masing banyaknya 10 buah. Grace tidak bisa membayangkan ia akan memakai gaun yang dicuci berulang kali.
“Lady tenang saja. Hari Sabtu dan Minggu kita bebas memakai gaun yang dibawa sendiri.” Dengan cekatan, pelayan istana membantu Grace menyusun gaun-gaun cantik yang sudah ia bawa dari kediaman keluarga Nata Weldon—yang tentunya hanya muat 20 gaun, karena sebagian besar ruang penyimpanan sudah diisi oleh gaun lusuh itu.
Bibir Grace mencebik saat membayangkan bagaimana rupa seorang Grace yang glamor memakai gaun lusuh yang bahkan berwarna putih, “Aah… Aku benci sekali istana!”
Greyana meringis, “Jangan seperti itu, Lady. Bagaimanapun Lady harus menang dan berhasil menjadi ratu.” Bibir pelayan itu mengulum, “Saya akan mendukung Lady sampai akhir.” Grace yang mendengarnya mengatupkan bibir, sedangkan pelayan dari kastilnya langsung pamit setelah gaun-gaun itu tersusun rapi. “Memangnya orang sepertiku pantas menjadi ratu?” Tanya Grace kemudian. Greyana atau pelayan yang sering dipanggil Greya itu menoleh “Kenapa tidak, Lady? Keluarga Nata Weldon adalah keluarga yang terhormat. Saya tidak bisa memikirkan Lady lain yang pantas bersanding dengan Pangeran Narenth.”
“Bagaimana dengan Patricia?”
“Anak dari dokter istana?” Grace mengangguk.
“Saya tidak terlalu mengenalnya, Lady. Tapi, menurut saya pribadi dia bukan orang yang tepat.”
Grace bangun dari tempat duduknya. “Kenapa?”
Greya berniat menjawab, tapi sebelum itu, suara pintu yang dibuka, membuat Grace mengalihkan pandangannya menatap ke arah seseosang yang masuk ke kamarnya dengan tatapan marah.
“Untuk apa kau ke kamarku?” Grace menatap wanita itu heran. Kini dia menjatuhkan bokongnya di ranjang, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat.
“Aku akan membunuh Patricia!” Ujarnya berapi-api.
“APA?” Grace memekik.
Orang itu, Emerlad Qwerlon Weldon menatap Grace dengan raut kesal. “Dia mencampuri urusanku dengan berlagak seperti pahlawan! Aku sudah akan menghabisinya tadi, tapi Pangeran Narenth malah datang dan lagi-lagi Patricia mencari muka dengan menangis di hadapan Narenth. Demi Tuhan, untuk apa dia menangis?”
Emerlad mengusap wajahnya. “Gara-gara dia Narenth marah padaku, Grace. Lihat saja, aku akan menghabisi Patricia!”
Greya mendekati Emerlad. “Kemarin dia juga berusaha mendekati Pangeran Narenth dengan wajah polosnya, Lady. Saya melihatnya sendiri.”
Emerlad semakin marah. “Yang aku katakan benar ‘kan? Dari awal perempuan itu memang menyebalkan. Grace, kita harus balas dendam.”
Grace terdiam. Seingatnya, Patricia tidak berusaha menarik perhatian Jeno. Tapi, kenapa sekarang sifat Patricia Rose berubah? Apakah perubahan sifat Grace juga memengaruhi sifat karakter lain dalam novel?
“Kita amati saja dulu. Jangan mencari gara-gara,” ujar Grace tenang.
“Grace, bagaimana kalau Pangeran jatuh cinta padanya? Aku tidak masalah Jeno dengan gadis lain, tapi Patricia… Aku tidak akan ikhlas seseorang sepertiku dikalahkan oleh anak pungut!”
Grace duduk, sembari memikirkan rencana lain, Emerlad yang sekarang sama seperti Emerlad dalam novel. Gadis itu juga tidak menyukai Patricia karena menurut pemahamannya, Patricia bukanlah orang yang tepat untuk Jeno. Maka dari itu Emerlad berada di pihak Grace dan menggangeu Patricia di akademi. Tapi sekarang, latar tempat sudah berubah. Grace hanya perlu membalik keadaan. Pertama, ia harus hidup. Dan untuk bertahan hidup, Grace harus menekan egonya.
Grace pun berdiri, lalu berjalan ke arah Emerlad. “Apa kau ingin menjadi ratu?” Tanya Grace.
Emerlad tersenyum, “Tentu saja.”
“Aku tidak ingin menjadi ratu.”
Emerlad yang ada di dalam ruangan itu melotot, “GRACE… KAU GILA? RATU ADALAH IMPIAN SETIAP WANITA DI MANUALAP
Grace menggeleng, “Setidaknya untuk sekarang… aku tidak berniat menjadi ratu.”
“Lalu, apa rencanamu?”
“Selagi aku tidak ingin menjadi ratu, aku akan memastikan Jeno tidak akan tertarik dengan Patricia.”
“Bagaimana caranya?”
“Playing victim.”
Greya yang sejak tadi ikut menyimak mengernyit. “Apa itu, Lady”
“Aku juga pertama kali mendengar kata itu,” ujar Emerlad.
Grace tersenyum. Kata itu ia bawa dari kehidupannya yang sebelumnya. “Apa kalian tidak sadar kalau Patricia memainkan playing victim agar Jeno menaruh perhatian padanya? Mula-mula ia bertindak sebagai korban dan semua orang akan menatap kita sebagai orang jahat.”
“Itu adalah kesalahan besar. Di istana, kita tidak boleh menjadi orang jahat.” Grace menatap Emerlad serius, “Sekarang… Kau minta maaf pada Patricia saat Jeno ada di sekitar gadis itu.”
“Yang benar saja? Aku tidak sudi!”
Grace menghela napas, “Kau harus terlihat baik, Em. Kau senang jika Jeno menatapmu sinis?”
Emerlad berdecak, “Baiklah. Setelah itu?”
“Setelah minta maaf kita mulai permainannya,” Grace tersenyum, lalu mulai menjelaskan strategi yang ia punya pada Emerlad.
Gadis itu tersenyum licik dan Grace sendiri bersorak dalam hati. Jika tidak bisa menyingkirkan Patricia dengan tangannya sendiri, maka Grace akan menggunakkan tangan orang lain. Patricia… Entah kenapa Grace juga tidak sudi jika perempuan itu yang menjadi ratu.
Patricia meringis pelan saat perawat membalut kakinya dengan perban. Beberapa orang berkerumul di ruang bawah, begitu juga dengan Jeno yang memijat keningnya tak habis pikir.
“Bisa-bisanya Emerlad menginjak kakimu sampai berdarah,” kesal Jeno. Sepertinya ia harus membuat aturan tambahan tentang larangan perundungan, mengingat gadis-gadis itu sangat brutal. Baru satu hari di istana, mereka sudah membuat kepalanya sakit.
“Emerlad satu kelompok dengan Lady Grace. Tidak heran, dari dulu orang-orang itu memang pembuat masalah,” kesal salah satu gadis yang ada di sana.
“Lady Grace?” Tanya Patricia.
“Iya, Cia… Kau jangan sampai membuat masalah dengannya. Jangankan diinjak kakinya, Grace bahkan bisa membuat seseorang terjatuh dari lantai atas.”
Jeno menatap gadis bergaun tosca itu. Kini dia melanjutkan pembicaraannya. “Dulu Dayana sampai masuk rumah sakit hampir dua bulan. Day kita nyaris kehilangan nyawanya gara-gara Lady Grace mendorongnya dari tangga. Itu kenapa semua keluarga Pollin sangat membenci Grace.”
Jeno yang mendengarnya berdecak tidak nyaman. “Jangan menjelekkan orang lain. Yang mendorong Patricia itu Emerlad, bukan Grace Weldon.?
“B—baik Pangeran. Saya hanya menyuruh Cia berhati-hati.”
“Aku akan membuat aturan tentang perundungan. Selama di sini, aku pastikan kalian aman.”
“Terima kasih Pangeran.”
Patricia meringis kecil, “Sekali lagi maaf merepotkan Pangeran.”
Jeno mengangguk, ia sudah akan pergi dari sana, tapi sosok yang turun dari tangga membuatnya terdiam sebentar. Di sana, Grace dan teman-temannya berjalan ke arah mereka dengan baju sederhana yang membuat Jeno mau tidak mau menyunggingkan senyum tipis.
Baju-baju itu adalah idenya, karena saat akan masuk ke ruangan minggu lalu, ia berpapasan dengan pelayan Grace yang kebingungan karena Grace tiba-tiba menginginkan gaun bunga yang dilihatnya. Pelayan itu bahkan meminjam elang dari istana agar bisa cepat mengantarkan pesan ke Duke Herbrough. Jeno tidak bisa membayangkan bagaimana kepala mungil itu dipenuhi bunga-bunga. Selera Grace memang aneh-aneh. Dia bahkan sering memakai mahkota berduri.
“Salam, Pangeran…” ujar Grace lebih dulu diikuti dengan teman-temannya.
Jeno mengangguk, masih dengan senyum meremehkan yang bertengger di bibirnya. Jelas sekali Grace terlihat tidak rela bersikap hormat padanya.
“Patricia Rose… Aku mendengar temanku Emerlad membuat masalah,” ujar Grace.
Jeno menoleh ke belakang. Apa akan terjadi perang?
Orang-orang yang berada di sana langsung tegang, begitu juga de ngan Patricia yang langsung bangun dari tempat duduknya.
“Lady Grace, salam hormat,” ujar Patricia dengan sopan. “Hanya terjadi kecelakaan kecil. Bukan sepenuhnya salah Lady Emerlad. Salah saya yang ikut campur.”
“Tidak, Patricia, salahku yang lebih dulu membentak Dayana,” Emerlad langsung mengulurkan tangannya ke arah Dayana yang berdiri di samping Patricia. “Maaf. Aku masih kesusahan untuk mengontrol emosiku.”
Dayana mengangguk pelan, begitu juga dengan Patricia yang langsung tersenyum lega, diikuti rasa heran orang-orang yang ada di sana. “Aku minta maaf karena menginjak kakimu dengan sepatu kaca. Apa kakimu baik-baik saja?” Tanya Emerlad.
Jeno yang mendengarnya berdecak. ‘Yah… Tidak bertengkar?’ la pun melanjutkan langkahnya kembali.
Grace yang melihat Jeno pergi tersenyum kecil. “Semoga tidak ada dendam lagi di antara kita. Meskipun kita di sini sedang berkompetisi, tapi aku ingin kita tidak saling menjatuhkan satu sama lain.”
Emerlad mengangguk, “Sebagai permintaan maafku, aku akan membuatkan gaun khusus untuk kalian. Nanti pelayanku akan meminta ukuran.
“Tidak perlu repot-repot Lady. Saya merasa tidak enak kerena bagaimanapun Lady Emerlad marah karena kelancangan saya.”
“Kau tidak salah, Patricia… Lagi pula, kata-katamu benar. Membentak dan mengganggu orang lain tentu perbuatan yang tidak baik. Aku sudah merenungkan sikapku.”
Orang-orang dari lantai satu rata-rata gadis lemah gemulai yang berasal dari kalangan menengah. Sedikit bersikap manis saja, mungkin mereka bisa dikendalikan.
“Kalau begitu, terima kasih Lady.”
“Panggil nama saja. Ibu Ratu juga sudah mengatakan bahwa bangsawan dan rakyat biasa tidak ada bedanya. Kau bisa berbicara dengan santai,” Grace mencoba tersenyum ramah, seperti apa yang telah ia latih di kaca.
Mereka serempak mengangguk patuh, membuat Grace segera pamit dari sana. Selain tidak ingin mencari masalah selama di istana, strategi Grace yaitu menjadi pengamat dan tidak berada dekat dengan Patricia. Emerlad yang akan melakukan semuanya. Grace akan memastikan hidupnya aman.
Malam hari, tiba-tiba tubuh Grace dingin. Ia terbangun beberapa kali dari tidurnya, lalu melirik ke arah langit yang kini sangat terang akibat Sang Purnama bercahaya sempurna. Ini adalah hari pertamanyadi istana dan Grace merasa tidak tenang. Entah kenapa malam ini terasa berbeda dari biasanya. Apa karena ini pertama kalinya ia tidur jauh dari keluarga? Grace termenung, lalu memutuskan untuk keluar dan kamarnya.
Ia berjalan ke arah balkon yang ada di ujung lorong. Napasnya mengembus panjang ketika melihat hutan bambu dan danau yang cukup luas. Karena udara malam hari yang dingin, Grace mengeratkan syalnya yang terbuat dari bulu harimau putih.
Cukup lama Grace terdiam di sana hingga kemudian cahaya kecil dari hutan bambu membuat Grace terpaku di tempat. Cahaya itu seolah-olah menari-nari hingga Grace tanpa sadar berbalik, lalu turun ke lantai bawah. Sinar rembulan yang terang membuat kegelapan tak lagi terasa. Grace mengambil lentera yang ada di sekitar dinding istana, lalu membulatkan tekadnya untuk masuk ke dalam hutan. Cahaya yang ia lihat dari lantai tiga lambat laun semakin jelas, membuat Grace mengeratkan syalnya.
“Siapa kau?” Ujar Grace. Cahaya itu melesat ke atas, lalu berjalan kembali untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan.
Grace yang penasaran mengikuti cahaya itu. Langkah kakinya terasa ringan, hingga Grace tanpa sadar sudah masuk terlalu jauh. Hawa di hutan pun semakin dingin dan angin berembus kencang. Bahkan lentera yang Grace bawa goyah, hingga mati menyisakan gelap. Grace me matung. Ia berniat berbalik, tapi cahaya itu malah mendekat, membuat pandangan Grace yang mulanya gelap, kini menyilaukan.
“Lady Grace Nata Weldon…” Suara halus perempuan terdengar pelan, membuat Grace refleks mundur beberapa langkah.
Ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan menemukan cahaya yang ia ikuti kini berada di bangunan tua yang pertama kali Grace lihat. “Apa ada seseorang di sana?” Seru Grace panik.
Perlahan, cahaya kuning itu lenyap, membuat pandangan Grace kembali gelap. Dengan bibir yang mengatup rapat dan tubuh yang sudah gemetar, Grace mendekat ke bangunan itu untuk mengambil lentera yang berada di dekat pintu.
Grace menoleh sekeliling. Ia tidak lagi menemukan pohon bambu. Apakah ia sudah berada di ujung? Grace pun mengangkat lentera itu tinggi-tinggi. “Apa ada seseorang di dalam?” Seru Grace.
Rumah tua kecil itu pun menyala dari dalam, membuat raga Grace bergetar karena takut. Ia menelan salivanya, lalu meraih gagang pintu untuk masuk. ‘Tidak ada yang kau takut selain takdirmu yang dipenggal, Grace… Tidak apa-apa.’
Grace pun masuk dan menemukan cahaya itu ternyata berasal dari perapian yang menyala. Grace mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan menemukan banyak lukisan yang ada di dinding rumah tua. Grace mendekat dan menyadari bahwa lukisan itu adalah lukisan dari Raja Manuala. Grace terpaku saat melihat lukisan terakhir yang mirip sekali dengan Jeno. Grace pun mendekatkan lenteranya, dan benar saja, di sana tertulis : Raja VI Manuala, Jeno Narenth Felipe.
“Raja?” Gumam Grace. Bukankah Jeno belum resmi menjadi raja?
Grace yang bingung mengarahkan lenteranya ke sekeliling dan menemukan sebuah kotak tua yang terbuat dari tembaga. Dengan tangan yang sedikit bergetar, Grace membuka kotak itu. Ada sebuah kertas dari kulit binatang. Grace meletakkan lenteranya dan membaca apa yang ditulis di sana.
Untuk seseorang yang mengubah takdirnya…
Ketahuilah, dari takdir yang diubah,
ada harga yang harus dibayar.
Jantung Grace terasa berhenti berdetak. Apa maksudnya? Apakah surat ini ditujukan untuknya? Grace mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan menemukan ada kotak lain yang serupa di meja ujung. Grace pun buru-buru membuka kotak itu.
Antagonis kedua telah mengubah takdirnya.
“Antagonis kedua? Siapa?” Grace refleks menggigit bibirnya dan berjalan ke sekeliling untuk menemukan kotak serupa.
Ya hampir putus asa mencari kotak lain hingga kemudian pandangannya jatuh pada perapian. Di atas perapian, ada kotak tembaga. Grace langsung berjalan ke sana. Dibukanya kotak itu. Dan benar saja, di da. lamnya terdapat kertas dari kulit binatang. Grace hendak membuka ker. tas itu, tapi angin lagi-lagi berembus kencang, hingga membuat perapian menari-nari dan semakin membesar.
Grace yang melihatnya menjauh ke belakang, tapi api yang besar itu malah semakin ke atas membentuk bayangan api berwarna merah yang besarnya melebihi rumah tua yang kini Grace masuki. Grace tercekat,
Matanya membelalak dan kepalanya mendongak menatap bayangan api berkobar itu.
“Siapa kau?” Gumam Grace. Air matanya jatuh karena takut
Bayangan itu tetap berkobar, membuat seluruh tubuh Grace bergetar ketakutan. Ia sudah hendak lari, tapi api itu dengan cepat menuju ke arah Grace.
“AAAAARRGHHH…” Grace berteriak, tapi api itu sekejap membakar habis gaun dan syal bulu harimau putih yang melilit di lehemya. Grace berusaha melepaskan diri dari api itu, tapi kakinya goyah hingga tubuhnya tenggelam dalam panasnya kobaran api.
Di saat matanya akan menutup, seseorang membuka pintu dan mendekat ke arahnya. Sebelum kesadaran Grace menghilang, mulut Grace bergumam lirih, “Tolong…”
Orang itu semakin mendekat, lalu tersenyum, “Takdirmu yang baru Grace.”
Orang itu membanting lenteranya dan membuat seluruh rumah terbakar.
*AAARRRGHHHH!!!”
Grace berteriak kencang, lalu membuka matanya, Ia mengalihat pandangannya ke sekeliling dan menemukan dirinya terbangun di ranjang. Ternyata semua itu hanya mimpi.
Grace menggigit bibirnya, memejamkan mata dan mengatur napas. Rembulan dari balkon kamarnya bercahaya terang karena hari ini bulan pumama. Grace berusaha tenang, “Itu hanya bagian dari mimpi burukmu, Grace. Tidak apa-apa.”
Grace berniat mengusap air matanya yang jatuh, namun sesuatu dari tangannya membuat napas Grace kembali tercekat. Tubuhnya gemetar saat sadar bahwa sesuatu yang ia genggam dengan erat itu kertas kecil dari kulit binatang. Air mata Grace jatuh karena takut. la mengumpulkan banyak keberanian untuk membuka kertas itu. Dengan lirih dan terbata, Grace membacanya.
“Protagonis Utama, Grace Nata Weldon.
Takdirnya dibakar hidup-hidup.”
Mata Grace langsung kosong dan tangannya lunglai melepas kertas itu.