Saat Hati Terasa Kosong
Kamu bukan butuh cinta baru, kamu hanya butuh berdzikir lebih panjang di setiap malammu.
Seperti ruang kosong yang tak terawat, hatimu sudah penuh debu.
Hari-hari setelah meninggalkannya tak pernah mudah. Teman-teman memang ada di sisimu. Keluarga memang mendukungmu. Namun setiap malam, ketika kau sendiri di kamar, menjelang tidurmu, namanya muncul di kepalamu. Saat kau memalingkan muka, malah wajahnya yang hadir. Pada saat-saat seperti itu, hatimu rasanya sesak, debu-debu semakin padat dan pekat.
Lalu, kau akan melakukan berbagai cara untuk menghilangkan debu di dalam hatimu, seperti curhat tengah malah bersama temanmu atau berbincang dengan keluargamu. Dan, ketika selesai berbincang dengan mereka, memang ada kelegaan tersendiri. Debu-debu dalam hatimu seolah ditiup angin. “Namun, mengapa pada akhirnya, hatiku terasa kosong? Lagi dan lagi?” gumammu dalam hati.
“Apakah aku memang masih membutuhkannya? Ataukah aku butuh cinta yang baru?” tanyamu setiap malam. Namun, logika dan hatimu saling serang argumen. Kembali dengannya terlalu menyakitkan. Lagi pula, emang dia masih sayang aku? Dia aja udah punya yang baru. Apa aku butuh cinta baru? Tetapi, kenapa ya, rasanya kayak mati rasa? Kayak udah lelah jatuh cinta lagi.
Jika aku berada di sana, aku ingin berkata kepadamu:
Tidak, kamu bukan butuh dia. Kamu juga bukan butuh cinta yang baru.
Kamu hanya butuh berzikir,
Mulailah dari yang kau tahu. Pahami maknanya. Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah. Astaghfirullah wa atubu ilaih, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Subhanallah wa bi hamdi subhanatlahil ‘azhim, Maha Suci Allah dan segala puji bagiNya. Maha Suci Allah yang Maha Agung. Telusuri kandungannya melalui sumber-sumber tepercaya, benahi pelafalannya, lalu maknai dalam hati.
Karena banyak yang telah merasakannya: Di balik zikir, ada sebuah ketenangan permanen, sangat mengena di hati. Seperti menghirup udara di kala fajar, tiupan angin sejuk di tengah kemarau, menatap danau yang tenang, tidur nyenyak di malam hari dengan hiasan mimpi indah.
Mungkin saat bibirmu mulai melantunkan zikir, rasanya masih biasa saja. Namun teruskanlah, ucapkanlah, jangan menyerah, maknai maknanya, ingat janji-janji Allah di setiap zikir yang kau lantunkan, dan janji Allah adalah benar. Seperti mendung yang mengawali hujan, segala sesuatu butuh proses. Seperti batu yang melapuk, segala sesuatu butuh waktu. Tak apa-apa jika di menit-menit pertama kau belum merasakan ketenangan itu. Teruskan saja, luruskan niatmu. Nanti, perlahan-lahan, hatimu akan melunak.
Dan, saat itulah ketenangan menyebar di seluruh hatimu. ini ketenangan yang nyata‘dan berbeda. Rasanya lebih indah dari berjumpa dengan kawan lama, lebih indah dari rasa jatuh cinta, lebih indah dari distraksi-distraksi lain.
Tahukah kau mengapa kau merasa tenang seindah ini? Mungkin, mungkin saja, karena zikir ini adalah satu dari sekian amalan yang kau lakukan sendirian, tanpa seorang pun tahu, hanya untuk Allah, Tuhan Pencipta Langit dan Bumi dan apa pun di antara keduanya. Mungkin, mungkin saja, karena zikir ini adalah satu dari sekian hal yang yang balasannya tak hanya di dunia ini, melalui ketenangan ini; melainkan juga sesuatu yang kau bawa hingga akhirat, yang balasannya, mudah-mudahan, kau terima dengan sempurna di akhirat. Sehingga hatimu terasa lebih terjamin.
Mudah-mudahan, ini jadi satu dari sekian hal yang menyelamatkan kita di dunia ini, di akhirat nanti.
Cara Berhenti Mencintai
Mulai dari halaman ini, dia sudah tak penting lagi
Mulanya, meninggalkannya terasa mudah.
Namun akhir-akhir ini, ada yang mengapung di permukaan hatimu. Sisa-sisa cinta darinya menggenang kembali setelah membaca secuil apa kabar darinya yang berlanjut pada percakapan sederhana penuh nostalgia. Malam itu, kau menelusuri akun Instagram-nya. Cara dia tersenyum, cara dia menatap kamera, cara dia berpakaian; kau merindukan semua tentangnya. Dan malam itu, hatimu menyusut, seperti diremas keras, saat mengetahui ada seseorang baru di sampingnya.
Betapa kau berharap menemukan tombol yang dapat mengulang semuanya. Supaya kau tak lagi merasa seperti ini kepadanya. Supaya kau bisa berhenti mencintainya. Bukan karena kau membencinya, melainkan karena kau lelah dengan rasa patah hati dan beban kesalahan di masa lalu. Lagi pula, dia sudah punya seseorang baru. Dan, kau tersiksa dengan perasaan ini.
“Gimana aku bisa berhenti mencintainya? Gimana aku bisa total melupakannya?” gumammu setiap malam, saat hatimu mulai gelisah memikirkannya.
Bolehkah aku mengatakan sesuatu? Janji kau tak akan marah, ya?
Mari kita interogasi dirimu. Kita mulai sejak hari pertama kau berpisah dengannya.
Setelah putus darinya, kau tenggelam dalam kesibukan harianmu. Mengerjakan tumpukan tugas, kerja sampingan penambah uang jajan, jalan-jalan dan tertawa bersama sahabat. Kau begitu sibuk. Namun jujur saja, setiap kali tugasmu selesai, jam kerja berakhir, teman-temanmu pulang, tidakkah kau merasa kosong di dalam hati? Seperti ada celah kosong di hatimu yang rindu dicintai. Jadi, apakah kau lakukan semua kesibukan ini hanya karena ingin melupakannya? Jika masih bersamanya, mungkinkah kau giat melakukan kesibukan seperti ini?
Setelah putus darinya, kau lebih rajin beribadah. Dan, itu mengagumkan. Namun saat dia mulai terlupakan, saat hatimu mulai stabil, saat segalanya sedikit lebih membaik, ibadahmu pun mulai kendur. Jadi, untuk apakah ibadahmu? Apakah kau lebih rajin beribadah hanya karena ingin melupakannya? Sebab hari ini, saat dia mulai mendominasi hatimu lagi, kau kembali menghamparkan sajadahmu. Seakan ibadahmu hanya untuk melupakannya.
Apakah kau melihat polanya? Bahkan setelah putus darinya, kau masih melakukan segala sesuatu karena dia. Kali ini, bentuknya beda: untuk melupakan dia. Namun tetap saja, ini masih berkisar tentangnya.
Jika kau benar-benar ingin berhenti mencintainya, tinggalkan dia di tempat seharusnya dia berada. Jangan lagi libatkan dia dalam kegiatanmu meski itu untuk melupakannya.
Tugas-tugas yang menumpuk, ujian tanpa henti, dan kerja Sampingan; lakukan itu sebaik-baiknya untuk mengejar masa depan yang lebih baik.
Ibadah-ibadahmu; lakukan itu semata-mata karena mengharapkan rida Allah, bukan semata-mata karena ingin melupakan dia. Ingat janji-janji Allah di setiap amalan yang kau lakukan. Jangan bawa dia dengan dalih ingin melupakannya.
Lebih dari itu, perhatikan lagi ibadahmu. Selain ikhlas, sudahkah kau melakukannya dengan benar? Bagaimana dengan wudumu? Sudahkah kau cek kembali cara berwudu sesuai dengan yang diperintahkan? Ataukah kau hanya bersandar pada ingatanmu yang sudah keruh olehnya? Apakah kau yakin sudah sesuai? Lalu salatmu; sudahkah kau betulkan gerakan-gerakanmu? Apakah bacaan-bacaan dalam salat yang kau lafalkan sudah sesuai dengan yang diperintahkan? Ataukah kau hanya mengandalkan ingatanmu yang sering kali salah?
Lihat, sekarang, kau mulai sibuk berpikir, “Duh, wuduku sudah betul belum, ya? Bacaan dan gerakan salatku gimana, ya?”
Sejenak, dia terlupakan. Dan di baris ini, dia terasa seperti hal paling tidak penting dalam hidupmu karena ada yang jauh lebih penting dari itu:
Wuduku sudah betul belum, ya? Salatku sudah betul belum, ya? Apa jangan-jangan karena ini aku masih susah khusyuk? Aku sudah ikhlas belum, ya?
It’s beautiful to see you like this. Kau mulai memprioritaskan apa-apa yang seharusnya diprioritaskan. Amalan-amalan yang kelihatan sederhana, tetapi akan kau bawa sebagai bekal permanen di Kehidupan Setelah Kematian. Kampung akhirat; yang lebih kekal dari kehidupan dunia.
Lihat saja, hanya butuh waktu sebentar sampai rasamu kepadanya… menjadi tawar.
Karena dia sudah bukan hal penting lagi, sejak baris ini.