Sabtu, 11 Oktober 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa

Oleh Siti Khotijah
15 Februari 2022
di Nukilan
A A
Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa

Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa

Ciri-ciri Orang Sukses

Mereka tidak pernah menjadikan uang sebagai tujuan utama

Koreksi aku bila salah, tetapi orang-orang yang sungguhan sukses di dunia ini tak pernah menjadikan uang sebagai tujuan utama.

Kita ambil contoh dari orang-orang paling berpengaruh di dunia ini.

Bill Gates—bila dia menjadikan uang sebagai tujuan utama, dia tak akan maju bersama Microsoft. Dia membangun Microsoft di saat komputer belum semasif sekarang. It was 1975. Tetapi, dia berpikir jauh ke depan, memikirkan dampak positif dari apa yang dia lakukan hari ini di masa depan, sungguh-sungguh dengan apa yang dia kerjakan. Hari ini, Microsoft menjadi salah satu perusahaan paling berpengaruh di dunia ini. Dan, Bill Gates, tanpa periu menjadikan uang sebagai tujuan utama, sudah pernah menjadi orang terkaya di dunia.

BACA JUGA:

5 Alasan Kenapa The E-Myth Revisited Harus Kamu Baca Sebelum Bisnismu Diam-Diam Runtuh!

Ingin Bisnis Jalan Sendiri, Kamu Bisa Liburan Tanpa Cemas? Temukan Rahasianya di Buku The E-Myth Revisited

The Power Of Azan

The Culture Code

Jeff Bezos dan Jack Ma. Bila mereka menjadikan uang sebagai tujuan utama, mereka tak maju bersama Amazon dan Alibaba. Amazon dan Alibaba adalah dua dari e-commerce terbesar di dunia. Amazon didirikan pada tahun 1994. Mulanya hanya berupa online marketplace untuk buku. Lalu, berkembang jadi menjual hampir semuanya. Sementara itu, Alibaba didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 di Hangzhou, Tiongkok. Bukan kota besar.

Terlebih lagi, itu adalah tahun-tahun ketika internet belum semasif sekarang. Jangankan akses internet, bahkan kebanyakan orang tak punya komputer di rumahnya, Tetapi, Jeff Bezos dan Jack Ma begitu gigih. Mereka melihat jauh ke depan. Mereka melihat apa yang tak dilihat. Mereka mencoba apa yang belum dicoba. Mereka mengatur strategi ini-itu. Dan, uang; uang tak pernah jadi tujuan utama. Jika uang jadi utama, mereka jelas tak akan lanjut. Lebih banyak risikonya.

But they did it.

Hari ini, mereka jadi orang berpengaruh di dunia. Bahkan Jeff Bezos, pada detik ketika aku menuliskan ini, adalah orang terkaya di dunia.

Namun, saat mereka memulai perjalanan ini, kekayaan mungkin tak berada di barisan terdepan kepala mereka. Jika kekayaan berada di barisan terdepan kepala mereka, pastilah mereka jadi orang-orang yang tak menginspirasi khalayak. Mereka pasti lebih banyak berbicara tentang uang, uang, uang. Tetapi, tidak. Mereka adalah orang-orang cerdas yang tak menjadikan uang sebagai tujuan utama. Ketika mereka berbicara, mereka berbicara tentang perubahan. Ketika mereka berbicara, mereka berbicara tentang mimpi. Ketika mereka berbicara, mereka menginspirasi.

Dan, orang-orang yang menginspirasi bukanlah orang-orang dangkal yang hanya mengejar uang, uang, uang.

Nama-nama yang kusebutkan di sini hanyalah contoh-contoh kecil dari kalangan orang-orang besar di generasi kita.

I could be wrong, tetapi itu pola yang kudapati dari mereka.

Tentu, bukan berarti kita tak boleh mengejar uang, bukan berarti uang tak penting. Uang itu penting, tetapi jangan, janganlah jadikan sebagai tujuan utama.

Sebab apa yang kita kejar-kejar, biasanya itulah yang merendahkan kita.

Nilai kita lebih tinggi dari uang yang kita kejar-kejar.

Maka, besarkan motivasimu, tinggikan tujuanmu.

Kejarlah tujuan yang lebih besar dari dunia ini.

Dan, jujurlah pada tujuanmu itu.

Setelah Aku Kaya Nanti

Tak pera ada uang yang cukup di dunia ini. Dan, saldo ATM begitu menipu.

Saat tak ada nominal di saldomu, kamu bergumam penuh harap, “Kalau aja ada sedikit uang, pasti hidup ini akan lebih baik.”

Lalu, kamu bekerja, bekerja, bekerja.

Kini, sudah ada nominal di saldomu. Sudah sekian juta. Lalu, kamu bergumam penuh harap, “Coba kalau tabunganku menyentuh angka dua puluh juta, pasti bisa lebih stabil.”

Lalu, kamu bekerja, bekerja, bekerja.

Kini, angka dua puluh juta telah tampak di layar Informasi Saldo. Lalu, kamu bergumam penuh harap, “Kalau sudah empat puluh juta, baru benar-benar tenang. Nggak perlu mikir masalah duit lagi.”

Kini, angka empat puluh juta telah nampak di layar Informasi Saldo. Lalu, kamu bergumam penuh harap, “Mungkin aku butuh seratus juta. Supaya terbebas dari rasa khawatir kehabisan uang.”

Kini, angka seratus juta telah tampak di layar Informasi Saldo. Angka itu bertahan lama di saldomu. Kamu jaga-jaga supaya tak terlalu terpakai. Nanti saja. Mungkin untuk investasi. Mungkin untuk beli rumah. Mungkin untuk buka usaha. Namun, di pertengahan jalan, ada tagihan dan kebutuhan mendesak yang perlu kamu bayar. Bukan nominal yang sedikit. Saldomu berkurang. Tak lagi ratusan juta. Masih dalam hitungan puluhan juta. Dan, kamu merasa, “Aduh, duitku tinggal sedikit.”

Puluhan juta, dan kamu merasa begitu. Memang, puluhan juta itu bisa jadi relatif bagi sebagian orang.

Namun, ini masalah terbiasa dan bersyukur. Kamu telah terbiasa memiliki uang ratusan juta. Sehingga puluhan juta, yang sebenarnya tak sedikit-sedikit amat, terasa baru dan sedikit.

Lalu, sekarang, kamu bergumam penuh harap, “Kalau aku punya lebih, aku bakal lebih banyak bersedekah.”

Sayangnya, janji cuma sampai di bibir. Memang, saat saldomu bertambah, kamu bersedekah sedikit lebih banyak. Tetapi, sudah, di awal-awal saja. Selanjutnya, setiap kali ingin bersedekah, kamu dibayang-bayangi oleh rasa takut akan kemiskinan, Dan, sekarang, mengecek saldo terasa begitu memilukan. Sebab, setiap harinya, saldomu selalu berkurang, berkurang, berkurang.

Hatimu tidak senang jika tak melihat ratusan juta di saldo.

Hatimu gusar saat puluhan juta tersisa di saldo. Hingga kamu bergumam, “Satu milyar mungkin baru bebas kali, ya.”

Namun, suatu saat nanti, satu milyar, atau bahkan dua mityar, akan berada di saldomu, tetapi kamu akan senantiasa berpikir, “Eh, bentar lagi bisa beli tanah, nih. Lumayan buat investasi.”

Begitu, begitu seterusnya.

Tak pernah ada uang yang cukup di dunia ini. Dan, saldo ATM begitu menipu. Sayangnya, kebahagiaanmu telah didefinisikan oleh total uang kamu miliki.

lya, uang bikin senang. lya, uang adalah kebutuhan. lya, uang bisa memberi kita kesempatan lebih luas untuk membeli ini-itu, mencoba pengalaman-pengalaman baru. Tetapi, sampai jadi definisi kebahagiaan? Sampai jadi pemberi rasa tenang di hati? Rasanya sudah kelewatan. Kita lebih dari sekadar uang yang kita miliki. We are more than the money we have. Lucu sekaligus miris: uang, sebuah benda mati, jadi pengontrol kebahagiaan kita.

Memang, kita tak ingin uang mengatur hidup kita sampai sebegininya.

Dan, ada caranya. Ada satu cara untuk meninggikan posisi kita dan menempatkan uang berada di posisinya—tidak setinggi ini, tidak seberkuasa ini, di kontrol kita.

Setiap kali kamu merasa uangmu semakin berkurang, bodo amatlah, tarik uangmu, bersedekahlah. Tunaikan hak-hak yang perlu ditunaikan dari uang itu. Jangan biarkan uang itu jadi raja di rekeningmu. Tarik ia, gunakan ia, lepaskan ia.

Tentu, tak perlu menarik semua uangmu. Kebutuhan kita tetap jadi prioritas. Namun, kali ini, jangan biarkan Keinginan Punya Banyak Uang sebagai prioritas. lya, tidak apa-apa ingin punya banyak uang. Namun, jangan jadikan prioritas.

Bicara soal rezeki, kita sudah tahu teorinya: Segalanya sudah diatur.

Namun, yang kita lupa adalah… rezeki yang sudah kita miliki adalah uang-uang yang telah kita gunakan:

untuk makan dan minum,

untuk kebutuhan rumah yang kita nikmati kegunaannya,

untuk keperluan-keperluan lain yang penting bagi kehidupan kita

Ini semacam jadi investasi dunia. Makan, minum, kebutuhan pribadi.

Namun, ada satu rezeki yang sudah kita miliki, tetapi kita pikir tak pernah kita miliki:

Sedekah.

Mudah-mudahan, itu jadi investasi di akhirat kelak.

Dan, saldo a ATM hanyalah tumpukan uang yang belum benar-benar terpakai.

 Bisa jadi rezeki kita, bisa juga bukan.

“Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya setain tanah. Dan, Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.”

[HR Bukhari no, 6438]

Fenomena Kesuksesan di Usia Muda

But it’s just lonely up here.

4 ku iri kepada mereka yang sukses di usia muda.

Aku ingin tahu bagaimana rasanya memiliki finansial yang stabil di usia muda. Aku mungkin akan keliling dunia, melanjutkan studi di luar negeri, dan membantu orang-orang terdekat.

Aku ingin memiliki suara yang didengar. Menduduki posisi penting di sebuah perusahaan, duduk bersama para petinggi, berdiskusi hal-hal urgen mengenai masa depan perusahaan.

Aku ingin belajar banyak dari orang-orang berpengaruh di dunia ini. Diundang di berbagai konferensi internasional sebagai pembicara. Diberi kesempatan bertemu orang-orang penting. Berkenalan dengan mereka. Mengajukan pertanyaan berbobot kepada mereka. Mendengar petuah-petuah dari orang yang jauh lebih sukses.

Aku ingin berdiri di sebuah podium, menyampaikan presentasi yang dinantikan dan disaksikan oleh media dan orangorang penting.

Dan, aku ingin melihat namaku terpampang di Forbes: 30 Under 30.

Aku iri kepada mereka yang sukses di usia muda. Mengapa mereka yang sukses? Mengapa aku tidak juga?

lya, ini terdengar sangat kekanak-kanakan. But that’s just me being honest. Dan, pengalaman-pengalaman di atas adalah… an exceptional privilege.

Suatu waktu, aku mencoba mengenakan sepatu merekasepatu orang-orang yang sukses di usia muda. Sepatu telah terpakai, aku melangkah dengannya, membayangkan diriku menjadi mereka.

Menjadi orang-orang sukses di usia muda.

Minggu pertama sempurna. nasanya anen sekaligus menyenangkan saat kamu datang ke kantor, dan orang-orang menyapamu dengan sedikit menunduk, seolah-olah kamu adalah orang penting—well, aku sedang jadi orang penting! Orang-orang mendengar ucapanku. Like, literally, listening to me. Jika ada ucapanku yang keliru atau pendapatku yang tak disetujui, mereka akan mencari cara terhalus untuk menyanggah.

Saat kita sukses di usia muda, orang-orang memperlakukan kita secara berbeda. Secara berbeda, tetapi positif.

Minggu kedua? Oke, mungkin aku belum terbiasa. Namun, harus kuakui, gila, pekerjaannya banyak sekali. Seakan-akan tak pernah selesai. Sampai di rumah, kamu pikir bisa menutup laptop dan istirahat tenang? Oh, bisa saja. Silakan merebah di kasur empukmu, buka Instagram atau YouTube. Semenit yang kamu lewatkan sia-sia bisa berpengaruh negatif bagi perusahaanmu. Saat ini, nasib perusahaan ada di sebagian tanganmu. Bukan cuma nasib perusahaan, nasib semua karyawan di bawahmu. Mau istirahat? Bahkan menutup mata jadi ajang mencari ide-ide baru untuk perusahaan.

Minggu ketiga. Minggu keempat. Sama saja, aku masih belum terbiasa. Namun, jujur saja, ini menyenangkan. Beban lebih berat. Tetapi, aku menikmatinya.

Jadi, kala itu, aku berfanya tanya, mengapa aku tidak sungguhan sukses saja di usia’ muda?

Bulan-bulan berikutnya, aku masih mengenakan sepatu Orang-orang sukses,

Hari-hari tak pernah sama. Bagus, sih, jadi tidak monoton. Selalu ada hal baru. Namun, terkadang, pada satu poin di hidupmu, you just want to settle down, do the same things all over again. Memang, akan bosan lagi. Namun, setidaknya, kamy Dunya satu fokus. Tidak menyebar-nyebar seperti ini.

Oke, aku mulai mengeluh sebagai orang sukses. Padahal aky Cuma membayangkan jadi sukses, lho.

Akan tetapi, aku terus mencoba menikmati langkah-langkah ini.

Lihat, baru berapa bulan, aku sudah ke beberapa negara. Memang, tak sempat jalan-jalan. Yang penting pengalamannya bermakna. Ada kesepakatan baru dengan perusahaan-perusahaan di luar. Bertemu investor-investor potensial. Belajar dari mentor kelas dunia.

Namun, saat aku pulang ke rumah, saat aku melihat temantemanku, duniaku terasa sepi.

Tak banyak orang yang sukses di usia muda. That is a privilege that | love. But it’s just lonely.

Orang-orang bilang, “Wah, kamu mah enak sudah sukses.”

Namun, mereka tak pernah tahu keseharianku. /t’s a lonely, lonely world that nobody really understands. Rasanya seperti menjadi bintang di posisi yang tinggi. Sangat tinggi. Sampaisampai tak ada bintang di sana selain diriku. Gelap dan sepi sendirian di atas sana.

Aku bahkan tak bisa curhat kepada siapa pun. Mungkin, ada satu-dua teman dekat. Tetapi, percakapan berisi curahan hati selalu berujung, “Yang penting kamu, kan, udah sukses. Lihat kita.”

Jangan bilang aku tidak bersyukur dengan semua pengalaman ini. Again, this is the privilege that I’m grateful for. Namun, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, pundak ini terasa semakin berat. Aku terbiasa dengan pencapaian-pencapaian baru di setiap tahunnya. Jadi, setiap tahun berlalu, aku selalu dilanda kecemasan, “Gimana kalau tahun ini nggak sebaik tahun kemarin?”

Karena aku terbiasa berada di posisi yang baik.

Sampai-sampai aku takut merasa posisi yang tak baik.

Dan, setiap kali tahun berganti, aku selalu bertanya, “Akankah seterusnya seperti ini? Bagaimana masa tuaku nanti, ya?”

Aku bahagia bisa membantu banyak orang—karyawan-karyawan yang sama-sama berjuang bersamaku. Namun, jujur, ini bukan posisi yang mudah, di usia yang semuda ini, tanpa teman dekat yang bisa diajak berdiskusi dan memahami vulnerabilitymu. Because you’re just not relatable.

Melangkah dengan sepatu ini teramat melelahkan.

Sekali lagi, aku mensyukurinya.

Namun, aku tak kuat dengan rasa lelahnya.

Jadi, kulepaskan sepatu itu.

Dan, saat aku melepas sepatu itu, aku baru tersadar…

Tak ada yang salah dari kesuksesan di usia muda.

Namun, seperti posisi apa pun dalam hidup, itu juga tak mudah. Memang, pada sebagian halaman, menyenangkan, Namun, halaman-halaman lain membuatku terengah-engah. Seperti hidup pada umumnya. Seperti hidupku sebelum meNgenakan sepatu kesuksesan itu. Seperti hidupmu yang mungkin monoton-monoton saja. It’s basically the same, but it’s covered differently—balanced.

Dan, ketika sepatu itu sudah sungguh-sungguh terlepas, aku baru belajar…

Mereka yang sukses di usia muda—pasti ada alasan di balik itu. Pasti ada alasan mengapa mereka yang terpilih sukses di usia muda, bukan kita.

Mungkin, itu lebih cocok bagi mereka.

Mungkin, mereka lebih mampu menghadapi lelahnya. Oh, mungkin, mereka juga lelah.

Namun, begitulah hidup: Apa pun posisinya, ada ujiannya. Dan, pada akhirnya, kita…

berjalan di zona masing-masing;

dengan sepatu yang paling pas dengan kaki kita. Paling, paling pas.

SendShareTweetShare
Sebelumnya

Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta

Selanjutnya

Menemukan Damai dengan Terbebas dari Rasa Cemas

Siti Khotijah

Siti Khotijah

Redaktur Jakarta Book Review

TULISAN TERKAIT

5 Alasan Kenapa The E-Myth Revisited Harus Kamu Baca Sebelum Bisnismu Diam-Diam Runtuh!

5 Alasan Kenapa The E-Myth Revisited Harus Kamu Baca Sebelum Bisnismu Diam-Diam Runtuh!

20 Juni 2025
Ingin Bisnis Jalan Sendiri, Kamu Bisa Liburan Tanpa Cemas? Temukan Rahasianya di Buku The E-Myth Revisited

Ingin Bisnis Jalan Sendiri, Kamu Bisa Liburan Tanpa Cemas? Temukan Rahasianya di Buku The E-Myth Revisited

18 Juni 2025
The Power Of Azan

The Power Of Azan

18 April 2022
The Culture Code

The Culture Code

7 April 2022
Selanjutnya
Selanjutnya
Menemukan Damai dengan Terbebas dari Rasa Cemas

Menemukan Damai dengan Terbebas dari Rasa Cemas

Terbaru

Cover buku "The Great Gatsby"

The Great Gatsby: Kemewahan, Cinta, dan Kehampaan

9 Oktober 2025
Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

6 Oktober 2025
The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

30 September 2025
Versi Hard Cover pada Buku 3726 MDPL

3726 MDPL: Titik Tertinggi Belajar Melepaskan

29 September 2025
Poster-poster kegiatan IIBF 2025

IIBF 2025: Upaya Peningkatan Literasi dan Tantangan Industri Penerbitan Buku di Indonesia

24 September 2025
Bertahan di Zaman Modern: 36 Tahun Berdirinya Pustaka Al-Kautsar

Bertahan di Zaman Modern: 36 Tahun Berdirinya Pustaka Al-Kautsar

22 September 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In