Dia tidak menelepon.
Lucas menatap ponselnya yang tergeletak di meja sarapan dan mendesah. Dua hari sudah berlalu sejak pertemuan mereka di Jump Start dan gadis itu belum menelepon. Tetapi, apakah hal itu mengejutkan? Sama sekali tidak. Lucas tidak tahu kenapa ia berharap Sophie Wilson meneleponnya, padahal ia yakin gadis itu tidak akan menelepon.
Lucas mendecakkan lidah, meraih surat kabar pagi, lalu menyesap kopinya. Awalnya ia ingin membiarkan gadis itu yang menentukan langkah selanjutnya, karena Lucas tidak ingin mengambil risiko membuat kesalahan apa pun. Tetapi kini, setelah melihat Sophie Wilson sepertinya tidak berniat melakukan apa-apa, mungkin Lucas yang harus mengambil tindakan lebih dulu.
”Tuangkan secangkir kopi untukku, Nak. Dan berikan surat kabarnya kepadaku.”
Lucas mengangkat wajah dan melihat kakeknya yang terbungkus jubah tidur tebal seperti biasa melangkah masuk ke dapur dengan langkah tertatih-tatih. Lucas melipat kembali surat kabar yang sedang dibacanya dan menyodorkannya kepada kakeknya setelah kakeknya duduk di hadapannya di meja sarapan.
“Jadi,” kata kakeknya sambil menerima secangkir kopi panas yang dituangkan Lucas untuknya, “Sophie belum menelepon?”
“Belum,’ sahut Lucas tenang.
Kakeknya mendecakkan lidah. “Apa saja yang sudah kau lakukan? Ketika aku seumurmu, Nak, aku bisa dengan mudah mendapatkan gadis mana pun yang kuinginkan.”
“Aku yakin begitu,” gumam Lucas dan kembali menyesap kopinya.
“Kupikir setelah kau menemuinya di Hop Scotch…’
“Jump Start,” koreksi Lucas.
“…hubungan kalian sudah membaik,” lanjut kakeknya, sama sekali tidak mendengar kata-kata Lucas. “Apakah aku salah?”
“Tidak, kau tidak salah” sahut Lucas cepat. “Kami sudah mencapai semacam kesepakatan. Jadi kami baik-baik saja.’
“Tapi dia belum meneleponmu,” kata kakeknya. “Kenapa kau tidak meneleponnya saja? Aku punya nomor teleponnya. Kau mau..”
“Tidak, tidak, tidak, Pop,’ sela Lucas sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya. “Aku tidak butuh bantuanmu. Aku bisa mengurus masalah ini sendiri. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”
Kakeknya mendengus. “Apa maksudmu kau tahu apa yang harus kaulakukan? Kau bahkan tidak bisa mendapatkan no, mor teleponnya, gerutunya.
Lucas baru hendak membalas ketika ponselnya mendadak berdering. Ia merampas ponselnya dengan cepat dan membaca nama yang muncul di layar. Bahunya melesak. Ternyata bukan telepon yang ditunggu-tunggunya.
“Hai, Miranda,’ katanya tak acuh setelah menempelkan ponsel ke telinga.
Mendengar nama Miranda, kakek Lucas langsung berdeham dan membaca surat kabar dengan wajah memberengut. Lucas hanya tersenyum kecil melihat sikap kakeknya.
“Jam berapa kau akan menjemputku, Lucas?” tanya Miranda di telepon.
“Menjemputmu? Kenapa?” tanya Lucas heran.
“Kau lupa? Bukankah temanmu pernah mengundang kita menghadiri pembukaan pameran lukisannya? Pembukaannya hari ini, bukan? Di Williamsburg?”
Lucas ingat Simon Art, temannya yang berprofesi sebagai pelukis kontemporer, pernah menyebut-nyebut tentang pameran lukisannya. Simon memang mengundang mereka, tetapi Lucas tidak pernah berkata ia akan hadir, terlebih lagi bersama Miranda. Lagi pula, sebenarnya hari ini ia malas pergi ke mana-mana, lebih memilih menyibukkan diri di Ramses.
Tetapi ketika ia melirik ke arah kakeknya yang pura-pura membaca surat kabar namun sebenarnya sedang menguping pembicaraannya, Lucas pun memutuskan Menggangeu kakeknya sedikit.
“Baiklah, Miranda. Aku akan menjemputmu jam tujuh”’ katanya kepada Miranda.
“Kau mau pergi bersama wanita bernama Miranda itu?” tanya kakeknya tidak senang ketika Lucas menutup telepon.
“Ya,” sahut Lucas ringan. “Kami akan menghadiri pameran lukisan.”
“Bagaimana dengan Sophie?”
“Memangnya ada apa dengan Sophie?”
“Bukankah kau sedang berusaha mendekatinya?” tanya kakeknya. “Bagaimana kau bisa mendekatinya kalau kau malah pergi bersama wanita lain?”
Lucas tersenyum polos. “Jangan khawatir, Pop. Dia tidak keberatan aku pergi bersama wanita lain. Sama seperti aku tidak keberatan dia pergi bersama pria lain. Kami sepakat menjalin hubungan terbuka seperti itu. Lebih menyenangkan.”
Kakeknya melotot menatapnya, lalu berdeham dan kembali memusatkan perhatian pada surat kabarnya. “Aku akan berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja kaukatakan,” gerutunya.
Senyum Lucas melebar puas. Satu angka untuknya.
Namun, kepuasan Lucas tidak bertahan lama. Ia berusaha memasang raut wajah tertarik menatap lukisan tidak jelas bebercak-bercak hitam dan berbintik-bintik kuning yang tergantung di dinding di hadapannya, padahal sebenarnya ia merasa bosan setengah mati. Sungguh, ia tidak mengerti kenapa orang-orang bisa menyukai lukisan aneh seperti ini, Ia termasuk orang yang lebih menghargai keindahan karya seni zaman dulu seperti lukisan-lukisan Rembrant dan Vermeer. Namun, seni kontemporer? Ia tidak pernah bisa mengerti.
Melihat banyaknya orang yang menghadiri acara pembukaan pameran lukisan ini, sepertinya Simon Art cukup sukses dan karya-karyanya cukup dikagumi. Namun, jujur saja, Lucas tidak akan datang ke acara seperti ini kalau bukan gara-gara Miranda.
”Temanmu sangat berbakat,” puji Miranda yang berdiri di sampingnya sambil ikut menatap lukisan bebercak dan berbintik yang sedang ditatap Lucas. “Aku yakin ada makna yang mendalam di balik lukisan ini.”
Lucas melirik Miranda dengan alis terangkat. “Aku tidak tahu kau penggemar seni kontemporer,” komentarnya.
Miranda tertawa kecil dan menggeleng-geleng. “Aku pernah memberitahumu,” katanya ringan, “tapi seperti kebanyakan laki-laki, kau tidak pernah memperhatikan.”
“Lucas! Senang sekali kau bisa hadir.”
Lucas dan Miranda serentak menoleh ke arah suara Simon Art menghampiri mereka dengan langkah lebar dan senyum yang sama lebarnya. Wajahnya yang bulat dan riang terlihat kemerahan, entah karena ruangan yang terlalu hang karena banyaknya orang yang hadir atau karena ia sudah minum terlalu banyak.
“Selamat atas pameranmu, Simon. Banyak juga orang yang mengagumi hasil karyamu. kata Lucas sambil menjabat tangan Simon. “Dan kurasa kau masih ingat pada Miranda? Dia sangat menyukai lukisan di belakang kami ini.”
Simon Art mengalihkan perhatiannya kepada Miranda. “Ah, Miranda yang cantik. Tentu saja aku masih ingat padamu,’ katanya. “Apa pendapatmu tentang lukisan…”
“Maaf, aku pergi mengambil minuman sebentar,’ sela Lucas sebelum kedua orang itu mulai mengobrol tentang lukisan. “Silakan lanjutkan obrolan kalian.”
Lucas berjalan ke arah bar kecil yang ditempatkan di salah satu sisi ruang depan galeri. “Gin and tonic,” katanya kepada bartender. Hari ini ia tidak mengemudi, jadi minum sedikit tidak apa-apa. Sementara ia menunggu bartender menyiapkan minuman, ia mendengarkan percakapan orang-orang di sekelilingnya.
“…lukisannya luar biasa, bukan?”
“…seniman baru yang naik daun… pandangan baru…”
“…mengunjungi MoMA minggu lalu. Mengesankan…”
“…anak laki-lakiku baru lulus dari NYU…”
“…pertunjukan baru di Broadway… sangat bagus…”
“…toko kue itu menjual tartlet yang sangat enak…”
“…perkenalkan, ini kekasihku, Sophie Wilson…”
Tangan Lucas yang terulur hendak menerima minumannya dari bartender berhenti mendadak. Siapa? Ia menoleh cepat dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari-cari. Beberapa detik kemudian matanya menemukan sosok yang dicarinya.
Sophie Wilson berdiri di antara sekelompok orang tidak jauh dari bar. Gaun hitam pendeknya berpotongan sederhana namun sangat sesuai untuk tubuhnya yang kecil. Lucas melihatnya berjabat tangan dengan beberapa orang sambil tersenyum sopan. Pria bertubuh tinggi dan berwajah Asia yang berdiri tepat di samping Sophie menempelkan telapak tangannya di bagian bawah punggung Sophie, lalu mencondongkan tubuh untuk mengatakan sesuatu di telinga Sophie.
Mata Lucas menyipit.
“Sir? Minuman Anda.”
Lucas menoleh kembali ke arah si bartender yang masih memegang minumannya. Ia menerima gelas itu, menggumamkan terima kasih, dan kembali berbalik menatap Sophie dan pria yang masih menyentuhnya.
Apa katanya tadi? Kekasih?
“Aku pergi mengambil minuman dulu, ya?” bisik Sophie kepada Nic.
“Kau mau aku mengambilkannya untukmu” Nic balas bertanya. Sophie menggeleng. “Tidak perlu. Kau mengobrol saja dengan teman-temanmu. Aku tidak akan lama.”
Sophie mengembuskan napas perlahan sambil menyelinap di antara kerumunan orang ke arah bar. Tiba di depan bar ia tersenyum kepada bartender dan meminta segelas anggur putih.
“Katakan padaku, bagaimana tunanganku mendadak bisa berubah menjadi kekasih orang lain?”
Sophie menoleh ke arah suara bernada menuduh itu. Matanya melebar melihat Lucas Ford yang mendadak sudah berdiri di sampingnya. “Kau,’ gumamnya. “Sedang apa kau di sini?”
“Menghadiri pameran lukisan. Orang yang melukis semua Jukisan aneh ini adalah temanku,” sahut Lucas sambil menggerakkan tangannya yang memegang gelas menunjuk sekeliling ruangan. “Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini.”
Sophie tidak berkomentar. Ia menerima segelas anggur putih yang disodorkan bartender dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia menyingkir ke samping, memberi jalan kepada orang lain yang ingin memesan minuman. Tiba-tiba ia merasa sikunya disentuh.
“Ikutlah denganku sebentar,” gumam Lucas Ford dan langsung menuntun Sophie menjauh dari bar ke salah satu sisi ruangan yang tidak terlalu ramai.
”Temanku sedang menunggu, kata Sophie ketika mereka akhirnya berhenti melangkah dan. Lucas Ford melepaskan pegangannya di siku Sophie.
“Aku yakin dia tidak keberatan kita mengobrol sebentar, melihat dia juga sedang sibuk mengobrol dengan temantemannya,’ sahut Lucas tidak peduli.
Sophie memutar bola matanya, namun tetap berdiri di tempat. Beberapa hari yang lalu, ia mungkin lebih memilih kembali bergabung dengan Nic dan mendengarkan pembicaraan membosankan tentang seni daripada berdiri di sini bersama Lucas Ford. Namun, setelah pertemuan di Jump Start, ada sesuatu yang berubah di ancara mereka. Sesuatu yang kecil yang masih belum dipahami Sophie, namun hal itu membuatnya memutuskan tetap berdiri di sini, bersama Lucas Ford, dan menyesap anggur putihnya.
“Jadi kau mau mulai menjelaskan kenapa kau bisa berubah dari tunanganku menjadi kekasih orang lain?” tanya Lucas sekali lagi.
“Aku bukan tunanganmu,” cetus Sophie.
“Katakan itu pada kakekku” balas Lucas santai. “Menurutnya kau adalah tunanganku.”
“Dan kau selalu menuruti kata-kata kakekmu?”
“Aku selalu berusaha menyenangkannya. Nah, untuk yang ketiga kalinya, bagaimana kau bisa berubah dari tunanganku menjadi kekasih orang lain?”
Sophie mengangkat bahu tak acuh. “Mungkin saja aku sudah menjadi kekasih orang lain lebih dulu sebelum menjadi tunanganmu..
Lucas tertegun, lalu menggeleng. “Tidak mungkin. Kalau kau sudah menjadi kekasih orang lain, kakekku pasti tahu dan dia pasti sudah memperingatkanku tentang saingan yang harus kuhadapi. Karena kakekku tidak berkata apa-apa iu artinya kau masih lajang sebelum menjadi tunanganku. “Penarikan kesimpulan yang menarik,” gumam Sophie. Lucas meliriknya dengan tajam. “Kau mau menjawab atau aku harus pergi ke sana dan menghajarnya karena telah merebut tunangan orang lain?”
Sophie tertawa pendek. “Kau tidak mungkin menimbull kehebohan di acara penting temanmu.”
Alis Lucas Ford terangkat menantang. “Kau mau bertaruh?”
Sophie mengerjap menatapnya.
“Baiklah.” Lucas Ford mengangguk singkat, meletakkan gelas minumannya di meja kecil di dekat mereka, dan mulai melangkah yakin ke arah Nic dan teman-temannya.
Sophie terkesiap kaget, melompat maju dan langsung mencengkeram lengan jas Lucas. “Oh, demi Tuhan, apa yang akan kau lakukan?” bisiknya tajam.
“Menghajarnya,” jawab Lucas polos. Namun, ia membiarkan Sophie menariknya kembali ke tempat mereka berdiri semula.
Sophie melotot geram ke arah Lucas, lalu menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Aku dan Nic hanya berteman. Dia meminta bantuanku, jadi aku membantunya. Itu saja.”
Alis Lucas berkerut. “Membantunya?” gumamnya. “Maksudmu, dia memintamu berpura-pura menjadi kekasihnya”
Sophie mendesah. Ternyata otak Lucas Ford cukup tajam.
“Tapi kenapa?”
Sophie?”
Sophie menoleh dan melihat Nic sedang berjalan ke arah mereka. “Hei, Nic.”
“Aku mencari-carimu sejak tadi,” kata Nic kepada Sophie. Lalu matanya beralih ke arah Lucas.
Sophie cepat-cepat berkata, “Nic, perkenalkan ini… Lucas Ford.” Setelah itu ia menatap Lucas dan melanjutkan, “Dan ini Nicholas Li.”
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.