A. Asal-usal Kecemasan
Apakah yang dimaksud dengan cemas itu? Kita semua pernah cemas, bukan? Kecemasan adalah reaksi normal terhadap stres dan sebenarnya dapat bermanfaat dalam beberapa situasi. Kecemasan tidak hanya dapat mengingatkan kita akan bahaya, tetapi rasa cemas juga membantu kita mempersiapkan dan memperhatikan bahaya tersebut dengan saksama. Gangguan kecemasan berbeda dari perasaan gugup atau cemas yang biasa, dan tentu saja merupakan gabungan yang melibatkan ketakutan atau kecemasan yang berlebihan. Gangguan kecemasan adalah hal yang kerap dijumpai dari seluruh jenis gangguan mental lainnya dan memengaruhi hampir 30% orang dewasa dalam hidup mereka. Namun, kabar baiknya, gangguan kecemasan ini dapat diobati dengan sejumlah perawatan efektif oleh psikolog dan psikiater. Atau, yang paling mudah dimengerti adalah kecemasan itu berpikir berlebihan tentang sesuatu yang belum terjadi.
Dahulu aku sangat tidak bisa a mengolah rasa cemasku. Jadi, suatu ketika aku mempunyai teman yang sangat baik. Hubungan kita pun juga baik. Walaupun memang belum sedekat sampai ke domain pribadi masing-masing, kami cukup sering bertemu dan berbincang ke sana dan ke sini. Kebetulan dia mempunyai hobi mengoleksi oleh-oleh dari semua tempat di dunia ini. Dia selalu membangga-banggakan diri, jika ia mempunyai koleksi baru dari negara baru yang keren dan limited edition. Suatu saat aku lupa membeli sebuah barang untuk oleh-oleh temanku itu. Beberapa hari kemudian aku baru ingat hal tersebut dan meminta maaf kepadanya via pesan singkat dan dia sama sekall tidak merespons pesan yang aku kirimkan. Di situlah aku cemas berkepanjangan. Otakku sekali berpikir untuk mempertanyakan segalanya dan bahkan menambah-nambahi pikiran yang belum tentu benar itu dengan hal lain yang lebih mengada-ada lagi. Semalaman aku tidak bisa tidur. Semalaman aku tidak habis pikir. Mata ku merah. Padahal, pada waktu yang sama aku masih berada di luar negeri, hanya berbeda kota saja.
Ya begitulah. begitulah kecemasan membuat kita overthinking.
Yang paling sering terjadi adalah ketika kamu tiba-tiba disuruh maju ke depan kelas saat kamu sekolah dahulu.
Misalnya, kamu disuruh ibu guru untuk maju ke depan mengerjakan soal atau menyanyikan lagu daerah atau pentas drama kecil-kecilan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kamu semua pernah mengalaminya, bukan? Masih ingatkah rasanya?
Demam panggung itu benar-benar nyata adanya. Apalagi, kamu bukan tipikal orang yang gemar berbicara atau ya, setidaknya ekstrover di lingkungan kamu. Orang tipikal ini mungkin baik-baik saja.
Namun, ketika kamu sekali tidak pernah merasakan itu, sekadar berbicara di depan saja susahnya bukan main. Itulah cemas.
Kamu tidak ingin melangkah ke depan kelas, karena semua mata teman-teman sekelas kamu memandang kamu di satu titik fokus yang sama. kamu menjadi pusat perhatian dan semua yang kamu lakukan akan dilihat oleh orang lain. Pada saat yang sama hormon adrenalin akan dirilis oleh tubuh sehingga terjadi perasaan aneh seperti mual, urinasi, peningkatan detak jantung yang lebih cepat, hingga keringat dingin—padahal semuanya belum terjadi. Biasanya, setelah ada kata terucap, kamu akan lebih ringan. Detak jantung kamu akan lebih pelan sehingga kamu bisa mengontrol apa yang kamu bicarakan.
Inilah yang disebut dengan gejala kepanikan. Gejala fisik yang paling terlihat dari gangguan panik adalah serangan panik yang berulang-ulang, kombinasi yang luar biasa dari tekanan fisik dan psikologis. Selama serangan berlangsung, beberapa gejala ini terjadi secara bersamaan:
Jantung berdebar atau detak jantung menjadi lebih cepat;
Berkeringat;
Gemetar;
Perasaan sesak napas atau sensasi tercekik;
Muncul rasa sakit di bagian dada;
Pusing atau pingsan;
Perasaan tersedak;
Mati rasa atau kesemutan;
Menggigil:
Mual atau sakit perut.
Banyak sekali bukan? Dari semuanya itu yang paling kurasakan dahulu ketika masih mengidap serangan kecemasan adalah sensasi seperti dicekik, mual, dan keringat dingin.
Aku merangkum proses kecemasan menjadi tiga tahapan, yakni cemas, panik, dan takut. Perbedaan antara ketiganya menurutku adalah jarak waktu rasa ity timbul dengan kejadiannya.
Perasaan cemas akan muncul jika ada suatu hal yang mengganggu ego, rasa trauma, dan kemelekatan kamu. Namun, peristiwanya belum terjadi dan masih akan terjadi pada waktu yang akan datang. Misalnya saja, anak perempuan kamu pamit ingin mendaki Gunung Welirang bersama teman-temannya satu organisasi pencinta alam. Akan tetapi, tiba-tiba kamu menjadi cemas, karena tentu saja kamu memikirkan hal-hal yang belum terjadi pada masa yang akan datang. Karena waktunya lama, kamu jadi memikirkan tentang keamanan anak kamu. Apakah si anak akan baik-baik saja di Bandung nanti? Bagaimana jika ternyata ada hal-hal berbahaya di alam yang terjadi di gunung? Bagaimana jika temantemannya kurang ajar dan berniat untuk mencelakai si anak? Di titik ini, kamu tidak siap untuk kehilangan dan sebaiknya jangan sampai kehilangan.
Sementara itu, rasa panik akan terjadi lebih cepat. Misalnya, kamu disuruh mempersiapkan presentasi untuk nanti siang. Satu jam sebelum dimulai, kamu pun diminta sebagai presentatornya. Karena kamu hanya mempunyai waktu satu jam, terjadilah serangan panik. Di titik ini, tidak ada rasa kehilangan, karena apa lagi yang bisa dilakukan dalam waktu satu jam. kamu hanya bisa pasrah saja dan tetap melakukan yang terbaik yang kamu bisa.
Selanjutnya, rasa takut menyerang dunia bawah sadar kita. Penelitian sains memang belum bisa menerangkan dengan terang benderang tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia bawah sadar kamu. Rasa takut berasal dari trauma kamu pada masa lalu. Namun, kita tidak bisa menjelaskan dari mana asalnya trauma yang tidak pernah kita tahu dan tiba-tiba datang begitu saja. Tiba-tiba saja kamu takut pada lebah, takut pada peniti, takut sewaktu ditinggal sendirian dalam gelap, atau takut pada suara gemeretak gigi. Banyak kan kasus trauma yang aneh dan tidak wajar. Temanku contohnya, dia fobia dengan ular. Karena saking traumanya, temanku itu juga takut ketika gambar ular dihadapkan kepadanya. Beli komik saja harus disensor dahulu apakah di dalamnya ada gambar ularnya atau tidak. Dulu aku punya anak kos di rumahku dan dia juga punya fobia yang sama dengan temanku tadi. Bahkan lebih parah, kadang dia menempel semua buku, majalah, atau koran yang memuat gambar ular. Heran kan?
Kalau dalam ranah spiritual, trauma ini berkaitan dengan rekaman jiwa (mungkin juga bisa dianggap sebagai materi genetik) yang ada dan membentuk tubuh kita ini. Tentu saja ini akan panjang pembahasan, jika kita meneruskannya. Yang terpenting, kamu semua bisa membedakan tiga hal yang kusebutkan di atas.
Apa pun itu, rasa cemas, rasa panik, dan rasa takut sebenarnya berawal dari ekspektasi kita tentang macam-macam bahaya. Setidaknya itu yang pernah dikatakan oleh Abigail Marsh. Ketika kamu takut akan darah misalnya, biasanya kamu sudah punya pikiran jelek dahulu kalau akan melihat darah dan mengasosiasikannya dengan hal-hal tertentu. Walaupun ini masih dalam pikiran kamu dan belum ada buktinya, tanpa sengaja kamu sudah membuat ekspektasi. Ya, ekspektasi sesuai dengan apa yang sudah kita bahas pada bagian pertama di buku ini. Kini, minimal kamu jujur dengan diri sendiri dan mulailah mencatatkan hal-hal apa yang sering kamu cemaskan:
Dengan begitu, kamu sudah sadar sepenuhnya bahwa kamu memang punya dan masih dalam rangka berdamai dengan hal tersebut.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.