Awan hitam yang menggantung sejak dini hari akhirnya tumpah menjadi hujan lebat. Tepat saat aku tiba di pemakaman orang yang tak kukenal.
Siapa dia? Itu pertanyaanku pertama. Kenapa aku? Itu pertanyaanku berikutnya. Keduanya akan terjawab pagi ini.
Seorang remaja keluar dari balik pepohon Kamboja. Sigap memayungiku dengan ekspresi muka habis-ini-bayar-saya-goceng. Dia lalu menyapa, “Masih keluarga, Om?”
“Bukan.” Keluarga? Kenal pun tidak.
Keganjilan ini pasti sebegitu mencoloknya. Di tengah TPU etnis Tionghoa, muncul seorang pria berkulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan, jins sobek-sobek. Sendirian.
Sudah tidak ada siapa-siapa lagi di situ. Acara pemakaman selesai sejak setengah jam yang lalu. Sengaja aku datang terlambat agar tidak bertemu siapa-siapa. Misteri ini tak perlu bertambah ruwet dengan ekstra drama.
Kubaca nisan itu: “Tan Sin Gie.” Wafat pada usia 93 tahun. Dia telah hidup selama itu, mencantumkan namaku sebagai ahli warisnya, dan tak secuil pun aku mengetahui keberadaannya. Siapa kamu? Kenapa aku?
Seorang pria berkemeja kantoran berlari tergopoh, menutupi kepalanya dengan tas. “Tansen?” tanyanya setengah berteriak.
Aku hanya mengangguk. Hujan deras menggulung semua suara. Percuma berbicara.
“Bisa ngobrol di mobil saya?” tanyanya lagi.
Di mana saja selain di sini.
Pembicaraan yang tadinya direncanakan di mobil akhirnya berakhir di sebuah kafe.
“Kamu ini benar-benar nggak kenal sama Pak Tan?”
“Sama sekali enggak.”
“Tapi namamu seperti nama Tionghoa. Tansen WuisanIa lalu menghamparkan berkas-berkas di atas meja.
“Wuisan itu. fam Manado, Pak. Tansen itu. nama India.”
“Kamu turunan India?”
“Katanya. Sedikit,” jawabku sekenanya. Dibawa langsung dari Lahore tahun 1920-an, nenekku tumbuh besar di Indonesia. Nenek menikah dengan orang Tasikmalaya. Ibuku, yang tinggal separuh India, kembali mengencerkan darah Indianya dengan menikahi orang Manado. Jadilah aku. Tansen Roy Wuisan. Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “Tansen”, hidung panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang tersisa padaku.
Semasa kecil, aku punya beberapa teman dari keluarga India asli. Mereka jauh berbeda. Keluargaku seperti tercerabut dari akarnya. Ditambah lagi ada semacam kutukan umur pendek atas kaum perempuan dalam garis keluargaku. Nenek meninggal tak lama setelah melahirkan Ibu. Ibu, anak Nenek satu-satunya, meninggal tak lama setelah melahirkan aku, anak satu-satunya. Tak ada kerabat India yang kukenal. Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara kebebasan dan ketakpedulian terkadang saru.
“Jadi, kamu ini anak tunggal, ya?” Pria itu mengonfirmasi.
“Betul.”
“Kalau ibumu masih hidup, dia yang jadi ahli waris, Tapi karena beliau sudah nggak ada, jadi jatuhnya ke kamu.”
“Sebenarnya ‘Pak Tan’ ini siapa, sih?”
Laki-laki itu memelorotkan kacamata bacanya. “Saya cuma pengacara yang disewa anaknya untuk menangani surat wasiat Pak Tan. Yang saya tahu, Pak Tan itu dulu pengusaha. Entah bangkrut atau bagaimana. Beliau nggak meninggalkan apa-apa. Untung anak-anaknya kaya, punya bisnis sendiri, makanya soal warisan buatmu ini nggak diributkan.”
“Warisannya pasti bukan uang kalau gitu,” tembakku langsung.
Laki-laki itu mengeluarkan sehelai amplop cokelat ber-segel lilin merah, “Saya nggak tahu apa isinya. Cuma kamu yang berhak buka.”
Kubuka amplop itu di hadapannya. Buka sendirian, buka nanti, toh isinya tak berubah. Sudah pasti bukan uang.
Laki-laki itu melongok. Ingin tahu.
Kuletakkan di atas meja apa yang kurogoh dari dalam amplop: sebuah kunci. Dan secarik kertas bertulis tangan. Bukan surat. Hanya alamat.
“Bapak tahu ini di mana?” tanyaku.
Dia ikut membaca, “Itu dekat kantor saya. Kalau mau ke sana, bisa ikut saya. Sekalian saya ke kantor.”
Sebagai turis domestik terdampar di ibu kota, itu tawaran yang paling kunanti. Tak ada yang lebih kuinginkan selain segera menyelesaikan urusan ini. Pulang ke Bali. Keluar dari kota pengap bernama Jakarta.
Hujan sudah reda saat aku tiba di alamat itu. Matahari yang sedari tadi bersembunyi mulai mengeluarkan sengatannya, menunjukkan hawa ibu kota yang asli.
Tempat itu adalah bekas toko tua tanpa plang di daerah Jakarta tua. Ruko kuno dua lantai yang tak terurus; cat mengelupas, tembok kehitaman oleh lembap dan jamur, plafon menganga di sana sini, kayu-kayu melunak oleh rayap dan air hujan. Aku tidak yakin tempat ini dihuni. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain gerak gerik laba-laba yang bersarang di mana-mana.
Sesuatu yang kucurigai sebagai bel akhirnya kupencet. Terdengar bunyi “teeet” panjang dan sember. Kaget, aku sampai terlonjak. Tidak menyangka benda itu memang bel dan masih berbunyi.
Pintu besar di depanku membuka. Laki-laki Cina tua berbaju olahraga menyambutku, Usianya mungkin sudah 80-an, terbaca dari keriput mukanya yang sudah menyerupai lipatan, taburan flek di seputar pipinya, dan kedua cuping telinga yang melebar. Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Anehnya, ia melihatku dengan muka bosan seolah kami sudah bertemu ratusan kali, atau sudah ratusan hari dia menungguku. “Masuk,” katanya pendek.
Begitu menginjakkan langkah pertama, sebuah aroma khas menyergap penciumanku, Aroma tua. Semacam kombinasi wangi cendana, serbuk kayu, debu, dan residu kapur barus.
“Kamu yang bernama Tan—sen?” ucapnya canggung, “Saya Hadi.”
“Tansen.” Kusebut namaku sekali lagi seraya menjabar tangan keriputnya.
Tanpa basa-basi, ia langsung menarik sebuah kursi, mempersilakan aku duduk. “Sebentar. Saya bikinken kopi.’
Sambil menunggu, aku melihat sekeliling. Toko itu ternyata bekas toko roti atau toko kue. Masih berjajar etalase kaca yang memburam, foto-foto hitam putih yang menguning, beberapa pasang meja dan bangku antik. Bagian dalam toko ini jauh lebih terawat dibandingkan luarnya. Ubin bercorak ini tampak bersih, semua barang masih diletakkan secara rapi, termasuk mesin kasir yang kuduga umurnya lebih tua daripada Republik Indonesia.
Bapak tua itu keluar lagi membawa dua cangkir ke samik berlukis di atas nampan kayu. Wangi kopi memenuhi udara, menyegarkan ruangan bagai kecupan Pangeran yang membangunkan Putri Tidur yang berabad lamanya terlelap.
“Saya tahu kamu ndak kenal sama Si Tan,” Pak Hadi ringan menyebut nama itu seperti teman sepermainan, “saya tahu kamu bingung. Banyak yang perlu saya ceritaken.” Ia lalu menghirup kopinya.
Dari cerita Pak Hadi, akhirnya aku tahu bahwa tempat itu memang toko roti yang mati suri. Sudah lima tahun tak beroperasi. “Tan de Bakker” adalah nama aslinya, berdiri tahun 1943. Tahun 60-an berubah nama menjadi Toko Roti Tan. Seiring bermunculannya bakery-bakery modern, Toko Roti Tan tenggelam pelan-pelan.
“Toko sudah ndak ada untung, cuma cukupan buat gaji pegawai, tapi Tan bertahan terus. Katanya, Madre jangan dibikin nganggur.”
“Madre?”
“Karyawan di sini cuma lima orang. Bisnis nyusut terus. Lama-lama kami kerja ndak digaji. Akhirnya nyerah juga dia. Ndak tega sama kami,” Pak Hadi tersenyum kecut. “Yang penting, Madre jangan mati. Itu saja yang kami jaga.”
“Madre itu siapa, Pak?” tanyaku lagi.
“Tan bilang, Madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru. Orang ndak sembarangan, yang memang punya hubungan langsung sama Madre,” Pak Hadi terus mengoceh seperti tak mendengar pertanyaanku. “Jadi, Madre itu masih famili saya maksudnya?”
“Kamu pernah bikin roti?” Pak Hadi malah balik bertanya. “Kelihatannya sih ndak, ya.”
Pengalamanku di dapur berhenti di mi instan dan be_berapa kali uji coba nasi goreng yang tak sukses. Aku menggeleng.
“Nah, kan? Bagaimana mungkin Madre diurus orang awam, coba?” Pak Hadi mengangkat bahu, “tapi, ya sudah, kita mesti hargai maunya Tan.” Ia lalu bangkit berdiri. “Sini, saya kenalken sama Madre.”
Kuikuti Pak Hadi yang berjalan ke arah belakang, menuju dapur. Di sana, oven-oven ukuran besar tersusun rapi di balik meja panjang berlapis marmer. Mixer, mangkuk-mangkuk stainless steel, dan alat-alat memasak lainnya, masih tertata baik seolah mereka beroperasi setiap hari. .
Langkah Pak Hadi berhenti di hadapan sebuah lemari pendingin tua berwarna putih. “Sekarang, ini milik kamu.”
“Kulkasnya?”
Mata sipit itu mendelik, “Isinya.” Ia menyorongkan tangan, “Kunci?”
Otakku butuh sekian detik untuk menyambungkan permintaannya dengan benda yang baru saja kuterima tadi pagi. Cepat-cepat, kurogoh kunci dari dalam amplop, menyerahkannya kepada Pak Hadi.
Penuh perasaan, seperti hendak membuka peti harta karun, Pak Hadi memutar kunci hingga terdengar bunyi “klik”. |
“Silaken. Kamu yang buka,” pintanya.
Penuh tanda tanya, kubuka pintu kulkas itu. Hawa dingin menyembur. Aku melongok dan melongo. Kulkas besar itu ternyata didedikasikan untuk menyimpan satu benda saja: stoples kaca berukuran besar. Isinya adonan putih keruh.
“Ini Madre.” Pak Hadi berkata.
Sejenak aku berharap adonan yang dipanggil Madre itu akan berubah jadi bidadari cantik atau minimal menyapa “selamat pagi’. Namun ia tetap diam membeku sebagaimana harusnya benda mati. Ludahku tertelan macam sebutir peria. Telah kuseberangi pulau, demi seseorang yang tak kukenal, yang mewariskan kepadaku… adonan? Harus kutarik semua otot humorku agar bisa mengapresiasi kelucuan ini. Dan rasanya tetap tak lucu.
“Pak Hadi, saya nggak ngerti apa Madre ini,” kututup pintu kulkas itu, “saya nggak pernah kenal yang namanya Pak Tan. Makin ke sini saya makin yakin dia salah orang. Saya pamit pulang, Pak.”
“Nenekmu namanya Lakshmi?”
Aku menatapnya curiga, “Iya.”
“Ibumu namanya Kartika?”
Aku mengangguk lagi.
“Ndak mungkin salah orang.” Pak Hadi menunjuk kulkas itu, “Ini hakmu.” “Saya hibahkan untuk Pak Hadi,” sahutku cepat. “Beres, kan?”
“Benar-benar kamu ini ndak ngerti rupanya. Tangannya lalu mengibas seperti menghalau ayam. “Sana. Duduk. Saya bikinken kopi lagi.”
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.