Saya ingin mengenang perjalanan haji saya sepuluh tahun yang lalu. Dalam rangka merekonstruksi kenangan sekaligus menyambut para peziarah yang sudah dan sedang mengawali menjalankan proses ritual, menyongsong wukuf di Arafah dan ritus lainnya.
Dari Tanah Air, saya merasa biasa-biasa saja memulai perjalanan yang akan saya tempuh 40 hari ke depan itu.
Di Madinah, Masjid Nabawi, beberapa kali saya sempatkan tidur nyenyak di karpet sajadah. Di Raudhah (area di dalam Masjid Nabawi yang terletak di antara rumah Rasulullah Saw dan mimbar yang beliau gunakan untuk berdakwah), saya sempat sekali berdoa.
Ketika perjalanan dari Madinah ke Makkah, saya berhenti di sebuah restoran di tengah gurun pasir; dan saya menyantap bakso yang terasa lebih lezat bakso gerobak dorong yang biasa mangkal dekat Pasar Kotagede.
Di Makkah, tempat menginap saya di kawasan Jarwal. Kebetulan di depan persis ada Rumah Makan Puncak Bogor yang menu andalannya justru nasi ramesan ala Sunda. Saya sering makan di situ, bahkan di depan hotel sering ada ibu-ibu dari Madura yang jualan aneka gorengan. Persis seperti hotel-hotel di Yogyakarta ketika ada wisatawan domestik menginap.
Rasanya seperti di Indonesia, bukan di Arab Saudi. Yang membedakan secara menyolok, udara lebih pengap panas, dan saya tidak banyak melihat pohon hijau seperti di Indonesia.
Semua biasa saja, tak ada getaran spiritual yang saya rasakan.
Terus terang, sebelum tawaf perpisahan, saya merasakan hal yang biasa-biasa saja; baik ketika tawaf maupun sa’i antara Shafa dan Marwah, ketika wukuf di Arafah, juga di Mina serta Jamarat (lokasi jumrah).
Belum ada pengalaman spiritual yang mengesankan ketika itu.
Bahkan saking capeknya, sempat tertidur sejenak waktu mabit atau bermalam di Muzdalifah. Ketika terbangun, baru sadar sudah tidur di tumpukan sampah.
Tak ada yang istimewa, bahkan saya merasakan agak “jengkel” campur “ngeri”, bahkan semihoror, ketika pada saat menyelesaikan putaran terakhir tawaf kedua. Terdengar azan Zuhur yang justru membuat jemaah berdesak-desakan. Tubuh saya terhimpit tidak menginjak lantai dan terdorong ke titik akhir putaran tawaf.
Begitu tiba di luar lingkaran, yang tersisa hanyalah nafas yang agak sesak. Alhamdulillah, slamet.
Pada saat tawaf perpisahan menjelang kepulangan ke Tanah Air, saya mengambil lintasan lantai 3 yang relatif sepi. Yang memang diperuntukkan bagi disabilitas, yang sakit, maupun yang lanjut usia.
Pada saat menyelesaikan putaran kelima, saya menyaksikan seorang perempuan muda yang mendorong ibunya yang telah renta dengan kursi roda. Nampaknya mereka sudah melaksanakan tawafnya.
Perempuan itu berkata, “Mama, kan, lama menunggu waktu untuk melihat Ka’bah. Kita berhenti dulu ya, Ma? Mama lihat dulu yang lama sepuasnya. Itu Ka’bah, Ma, lihat yang lama, ya?”
Mamanya cuma mengangguk lemah sembari menatap Ka’bah.
Mendengar kalimatnya, dan melihat selintas kebahagiaan di wajah sang ibu, saya yang selama ini tak pernah merasakan sesuatu yang menggetarkan, justru terharu melihat peristiwa itu.
Saya selesaikan dua putaran terakhir tawaf perpisahan ini dengan penuh cucuran air mata.
Rasanya Allah begitu dekat dan membiarkan saya untuk menikmati cinta-Nya. Apakah justru pada momentum ini pengalaman spiritual saya? Wallahu a’laam bishawab.
Selamat menjalankan ibadah bagi jamaah haji tahun ini. Semoga lancar ibadahnya, pulang dengan selamat dan mendapatkan haji mabrur. Amin.