Hijrah ltu Masih Koma, Belum Titik!
Akhir-akhir ini kita dapati hijrah menjadi sesuatu yang sangat populer di masyarakat Muslim Indonesia. Namun kadang hijrah yang dimaksud dan dijalankan oleh sebagian orang hanya bersifat hukum saja, hanya meliputi aspek-aspek ritual saja. Misalnya, mereka melakukan hijrah dari sebelumnya tidak berkerudung menjadi berkerudung, dari yang tak rajin shalat menjadi rajin shalat, dari tak shalat berjamaah menjadi shalat berjamaah di masjid. Tentu itu bagus, tak salah. Namun, kalau hijrah hanya dipahami sebatas itu saja, itu problematik. Sebab, itu mereduksi makna hijrah.
Dalam Islam, hijrah itu doktrin yang sangat penting dan maknanya begitu luas dan mendalam, mencakup seluruh aspek kehidupan kita. Inti dari hijrah, sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Thalaq [65] ayat 11, adalah “bergerak” dari kegelapan menuju keterangbenderangan. Itu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Nabi membawa umat manusia dari zhulumât (kegelapan) menuju nûr (cahaya), bukan hanya pada satu aspek saja, melainkan dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Maka, hijrah seharusnya tidak hanya meliputi aspek hukum (fiqih) saja, tapi berbagai aspek keislaman lainnya.
Minimal ada empat aspek yang harus dilakukan oleh umat Islam ketika berkomitmen untuk hijrah. Pertama, aspek spiritual atau sufistik-tasawuf. Inti hijrah pada aspek ini adalah pergerakan kita sebagai hamba menuju Allah. Pergerakan spiritualitas kita dari yang rendah untuk mendekat kepada yang Mahatinggi. Bagaimana jalannya? Imam Ghazali mengajarkan takhalli dan tahalli. Takhalli artinya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Adapun tahalli artinya menghiasi hati dengan segala sifat terpuji.
Idealnya hijrah dimulai dari spiritualitas yang simpulnya berada di hati. Karena rumusnya: tubuh mengikuti hati, bukan hati mengikuti tubuh. Berkerudung misalnya, harusnya berasal dari komitmen hati. Bukan asal mengerudungi kepala saja agar tak dipandang tak religius atau aneh-aneh oleh keluarga, teman, dan orang-orang, tapi hatinya tak punya komitmen sama sekali pada kerudung. Akhirnya, ia berkerudung dengan terpaksa. Sehingga sering kali tindakannya tak islami, tak mencerminkan tindakan orang yang berkerudung. Kelakuannya itu bisa jadi merusak citra kerudung, padahal tujuan berkerudung itu justru untuk memperbaiki diri.
Sebab, jika mengacu pada Surah An-Nûr [24] ayat 31, yang pertama dan utama dijaga dari seorang wanita adalah pandangan, kemaluan, baru kemudian kerudungnya. Begitu pula pria Muslim. Jangan sampai secara tampilan sudah sesuai Sunnah Nabi, tapi ia tak menjaga pandangan dan kemaluannya, sebagaimana perintah Allah dalam Surah An-Nûr [24] ayat 30. Apalagi menyalah-nyalahkan perempuan yang tak berkerudung atas syahwatnya yang tak terkontrol. Iman itu berdaulat. Karena kata Nabi, kita semua ini pemimpin atas diri kita. Kalau gagal, karena tergoda oleh hal-hal di luar diri kita, kita sendiri yang salah dan dihukum karena kita telah diberi kuasa oleh Tuhan untuk memilih tergoda atau tidak.
Kedua, aspek kultural. Dalam konteks ini, hijrah berarti mengakulturasi Islam yang datang dari negeri Arab dengan nilai-nilai setempat, selama nilai-nilai itu tak bertentangan dengan aspek substansi (qath’i) ajaran Islam. Sebagaimana dicontohkan oleh para wali sanga ketika mendakwahkan Islam ke Indonesia. Mereka mengakulturasi nilai-nilai substansial atau nilai-nilai inti agama Islam dengan budaya Indonesia sehingga ajaran-ajaran Islam bisa lebih diterima oleh masyarakat Indonesia dengan tangan terbuka. Kovernya budaya tak masalah, yang penting nilainya agama. Karena Islam seperti gelas bening yang saat diisi kopi ia seolah hitam dan saat diisi jeruk seolah kuning, padahal ia tetap bening.
Ketiga, aspek filosofis. Hijrah membawa umat Islam dari keterbelakangan menuju kemajuan. Sebab, sebagian besar umat dan negara Muslim terbelakang dalam keilmuan maupun sains-teknologi. Orang Barat sudah bicara bagaimana hijrah ke Mars, orang Islam masih hijrah dari tak berjenggot ke berjenggot. Padahal mencari ilmu wajib, sedangkan berjenggot sunnah. Apalagi misi pertama Islam adalah melawan kebodohan (jahiliah). Nabi pernah bertemu Iblis yang tak berani masuk masjid untuk mengganggu orang shalat karena ada orang yang tidur di pintu masjid. Lalu Nabi bertanya kepadanya bahwa kenapa ia bisa lebih takut kepada orang yang tidur daripada orang yang shalat? Kata Iblis, yang tidur itu orang berilmu dan yang shalat itu orang bodoh. Dalam Surah Al-Mujadilah [58] ayat 11 dikatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang beriman di antaramu, dan orang (beriman) yang diberi ilmu beberapa derajat di atasnya.
Tampaknya ada yang salah kalau umat Islam bodoh, terbelakang dalam ilmu dan sains-teknologi. Karena, Al-Quran banyak berbicara tentang sains. Kitab Suci itu seolah hanya dibaca tapi tak pernah dipelajari. Sehingga, sudah tentu butuh hijrah dalam aspek ini.
Keempat, aspek sosial. Seorang yang hijrah harus dapat membumikan Islam. Tak hanya berpenampilan sesuai sunnah atau saleh secara ritual saja, tapi juga mesti saleh secara sosial. Jangan sampai setelah berhijrah, ibadah kita menjadi lebih semangat, namun kita menjadi tidak murah senyum kepada orang lain. Padahal dalam Islam senyum itu ibadah. Jangan sampai semakin baik ibadah kita, semakin tak bersosialisasi. Apalagi hanya karena kawan-kawan kita punya pilihan berbeda atau belum hijrah.
Oleh karena itu, hijrah juga harus mencakup ibadah horizontal pada sesama, bukan hanya vertikal pada Tuhan semata. Secara sosial, kita harus menghiasi sikap kita menjadi lebih ramah terhadap orang lain. Jangan sampai ketika berhijrah kita menjadi abai kepada tetangga. Hijrah semestinya membawa kita menjadi lebih peka secara sosial. Singkat kata, hijrah bukan hanya meningkatkan hubungan secara vertikal, tapi juga secara sosial.
Yang juga penting menjadi catatan bahwa buat mereka yang sudah berhijrah, kerendahan hati harus diutamakan. Jangan pernah merasa suci, karena begitu kita merasa suci, saat itu kita sedang kotor. Sebagaimana ketika kita merasa pintar, kita akan berhenti belajar, dan itu merupakan bentuk kebodohan.
Selain itu, orang yang sudah berhijrah tidak selayaknya memandang remeh atau rendah orang yang belum berhijrah Pandanglah mereka dengan pandangan seolah kita melihat diri kita di masa lalu. Bayangkan jika orang yang sudah hijrah lebih dulu meremehkan dan menjauhi kita, maka mungkin kita tak kan pernah mendapat kesempatan belajar dan akhirnya berhijrah. Apalagi kita toh tak tahu masa depan kita, tak ada jaminan apakah kita akan tetap baik atau justru sû’ul khâtimah (mati dalam keadaan buruk). Dan kita juga tak tahu masa depan mereka yang belum hijrah. Bisa jadi mereka berubah, ikut berhijrah dan Husnul khatimah (mati dalam keadaan baik).
Bagi yang belum berhijrah tak perlu minder, apalagi putus asa. Karena kita masih punya masa depan. Yang terpenting adalah komitmen untuk berubah dan menjalaninya secara enjoy setahap demi setahap, sebagaimana ketika Allah mengharamkan minuman keras di Al-Quran yang juga bertahap, tak sekaligus. Karena Allah tahu bahwa berubah itu tak mudah, butuh waktu. Sedikit tapi konsisten lebih baik daripada banyak tapi musiman atau kagetan.
Dan pada akhirnya hijrah seharusnya memang tidak hanya bersifat simbolik semata, tapi substansif. Sehingga hijrah bukan hanya pada kulitnya saja, tapi juga masuk ke dalam inti Islam. Bukan hanya penampilan kita yang berubah menjadi yang kita anggap lebih islami, tapi aspek dalam diri kita juga harus berubah-hati, kelakuan, kepekaan sosial, dan akal kita-menjadi lebih Islami. Semua harus dibuat terang benderang, dibuat maju, agar kita menjadi Muslim yang tercerahkan dan terdepan dalam peradaban umat manusia. Sehingga rahmat Islam lil’âlamin benar-benar dirasakan semua manusia. Karena pada dasarnya Islam memang bukan hanya sekadar hukum, bukan hanya sekadar simbol, tapi juga tasawuf, spiritual.
Scheherazade. S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University pernah melakukan survei bertema “How Islamic are Islamic Countries” pada 2010 dan 2014. Hasilnya mungkin mengejutkan bagi sebagian Muslim. Dari 208 negara di dunia yang diteliti, justru negara-negara non-Muslim menempati posisi teratas dan negara-negara Muslim (termasuk negara Islam) menempati posisi bawah. Arab Saudi berada di urutan ke-131. Tak terkecuali Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini berada di urutan ke140. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sering kali mayoritas umat Islam di negara-negara Muslim tidak menjalankan Islam secara substansi, tapi hanya simbolik.
Dari sini kita memahami ucapan Muhammad Abduh, salah satu tokoh pembaru Islam asal Mesir, saat berkunjung ke Paris, Prancis. Abduh melihat betapa kota itu indah, bersih, teratur, rapi, dan ramah penduduknya. Melihat fakta ini, Abduh berucap:”ra-aytul-Islâm wa lam arâ Musliman” (Aku melihat Islam di sana (Prancis), padahal aku tidak melihat orang Muslim). Abduh kemudian membandingkan dengan kondisi tanah kelahirannya, Kairo, Mesir, yang kotor, tidak teratur, dan jorok. Kemudian Abduh berucap: “ra-aytul Muslimîn wa lam arâ al-Islâm” (Aku melihat banyak Muslim di sini (Mesir) tapi aku tidak melihat Islam pada diri mereka). Sebenarnya ini adalah autokritik Muhammad Abduh kepada umat Islam sendiri, agar mereka tidak hanya berhijrah secara simbolik, tapi secara substansif. Itulah agenda hijrah kita!
Fenomena hijrah saat ini, sebenarnya bagus, orang mau belajar dan mengamalkan Islam lebih baik. Asalkan seta, hijrah tanda bacanya masih koma, jangan titik. Terus belajar dan perbaiki amal tanpa merasa tinggi hati. Sampai mana? Tanpa batas, karena tak ada batas untuk menjadi lebih baik. Yang bisa dan boleh membatasinya hanya ajal. Memang repot kalau mau ber-Islam secara kafah, tapi belajar Islamnya secara instan, Nggak mau ngaji dengan sabar.
Nukilan buku karya Habib Husein Ja’far Al Hadar
Ulasan Pembaca 1