Setiap tahun, saat memasuki bulan Rabiul Awal, sebagian besar muslim Indonesia bersuka cita menyambut bulan kelahiran Nabi saw. Namun demikian, selalu ada kelompok kecil yang melabeli perayaan ini sebagai bid’ah. Kelompok ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah kegiatan sesat. Mereka bersikukuh bahwa tidak ada dalil dari al-Quran dan hadis yang membolehkan umat Islam untuk merayakan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Tak sampai situ saja, kelompok kecil ini juga melarang pembacaan pujian-pujian kepada Nabi saw. Tak ayal, kitab-kitab maulid populer seperti Diba’i, Syaraful Anam, Simtuth Durar, termasuk Barzanji terkena getahnya. Semua kitab ini dicap sebagai buku yang menyalahi akidah Islam, sebab mengandung pujian-pujian hiperbolis yang akan membuat umat Islam mengultuskan sosok tertentu. Pendapat yang sangat berlebihan.
Sebetulnya, apa saja isi kitab Maulid Barzanji ini? Kitab ini sangat istimewa, berisi riwayat hidup Rasulullah saw. yang dikemas lewat narasi yang sangat sastrawi. Tidak hanya itu, kitab ini juga mengajak kita untuk mengenal ciri khas fisik Rasulullah dan meneladani keluhuran akhlak sosok manusia paling sempurna di muka bumi ini. Kitab ini juga menyajikan silsilah kakek moyang Nabi Muhammad hingga Khulafa ar-Rasyidun
Salah satu penelitian menyebutkan tradisi pembacaan Barzanji atau di Jawa lebih dikenal dengan “berjanjen” dibawa oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru Wali Songo. Beliau membawa tradisi ini saat berdakwah di pesisir Sumatera Timur hingga Pantai Utara Jawa. Barzanji sudah menjadi tradisi di Indonesia sejak zaman Wali Songo. Bisa dikatakan kelompok kecil yang gemar membid’ahkan ini sangat ahistoris.
Jika ditarik lebih jauh lagi, tradisi pembacaan pujian kepada Nabi saw. memiliki usia yang sama dengan agama Islam itu sendiri. Sebab, para sahabat sudah mulai menghaturkan pujian di hadapan Rasulullah sendiri. Di masa hidupnya, Rasulullah saw. memiliki tiga penyair resmi, yakni Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, dan Ka’ab bin Malik. Lalu ada Ka’ab bin Zuhair, sosok yang pernah menggubah syair khusus untuk Nabi, berjudul Banât Su’âd.[1]
Saat mendengar lantunan Ka’ab, Nabi tersenyum lalu melepaskan selimut bergarisnya (burdah) dan mengenakannya ke tubuh Ka’ab. Kini, selimut itu diabadikan di Museum Topkapi, Istanbul, Turki.
Apa yang dilakukan oleh ketiga penyair Rasulullah dan Ka’ab bin Zuhair menjadi acuan bagi sastrawan muslim ketika menulis karya yang mengandung pujian-pujian kepada Nabi, baik berupa puisi maupun prosa. Bahkan, bentuk pujian kepada Nabi yang berupa karya sastra seperti ini memiliki gaya yang khas dan karakter yang unik. Dalam kajian sastra, karya seperti ini diberi istilah al-Mada`ih an-Nabawiyyah. Kemungkinan, istilah ini diambil dari karya Syekh Ismail an-Nabhani yang berjudul sama.
Jika memang karya seperti Barzanji dan sejenisnya adalah hal yang terlarang, seharusnya Nabi langsung menghentikan apa yang dilakukan Ka’ab bin Zuhair. Tradisi pujian kepada Nabi Muhammad dilestarikan oleh berbagai kekhalifahan, seperti Dinasti Fatimiyah di Mesir. Hal ini terus berlanjut sampai masa Sultan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dari Dinasti Bani Ayyub (memerintah 1174—1193 M). Bahkan beliau pula yang menghidupkan tradisi merayakan maulid pertama kali pada tahun 1184 M.
Saat itu, beliau mengadakan sayembara penulisan riwayat Nabi saw. beserta pujian-pujian kepada beliau. Seluruh ulama dan sastrawan pada masa itu langsung mengerahkan tenaga mereka untuk menciptakan karya dengan penuh nilai sastra dan seindah mungkin. Pemenang dari sayembara ini adalah Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji dengan hasil karya yang penjelasannya Anda pegang saat ini, yaitu kitab Barzanji.[2]
Tradisi maulid memang belum ada saat zaman Nabi Muhammad, tapi konten acaranya sama sekali tidak ada yang mengarah kepada kemaksiatan apalagi kesyirikan. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani,
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْاِجْتِمَاعَ لِأَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ أَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَى مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَى النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِأَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِأَفْرِادِهَا
“Mengadakan maulid Nabi saw. memang merupakan tradisi (bukan ritual agama), tapi tergolong tradisi-tradisi yang baik, sebab mengandung banyak manfaat dan fadhilah yang kembali kepada manusia. Sehingga, maulid termasuk tradisi yang dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian pelaksanaannya.”[3]
Meskipun sudah diberikan beberapa data sejarah dan pendapat para ulama, isu tentang maulid Nabi saw. tetap muncul di media sosial kita, khususnya di Indonesia setiap tahunnya. Sebagian dari mereka bahkan langsung mengkritik beberapa bagian dalam Barzanji yang dianggap tidak sesuai dengan akidah Islam dan terlalu mengagungkan Rasulullah (ghulluw).
Oleh karena itu, Wali Pustaka memutuskan untuk menerjemahkan karya Mahaguru Ulama Nusantara, berjudul Madarijus Shu’ud, penjelasan dari kitab Barzanji. Dalam buku ini, Syekh Nawawi menjelaskan Barzanji dengan sangat detail. Karena kitab Barzanji tidak hanya melantunkan pujian kepada Rasulullah, tapi juga membahas perjalanan hidup beliau, Syekh Nawawi juga meluruskan beberapa hal keliru yang dituduhkan kepada Sayid Ja’far al-Barzanji, seperti tentang kelahiran Nabi, siapa yang menikahkan Khadijah, dan berbagai persoalan lainnya.
Riwayat Hidup Rasulullah dalam Untaian Kisah yang Indah
Ada satu keresahan yang banyak sekali dialami oleh generasi muda Islam masa kini ketika membaca biografi atau sirah Nabi Muhammad saw. Di antaranya adalah mengapa banyak sekali tercatat di sana peperangan yang dilakukan oleh Nabi. Seakan buku sirah nabawiyah hanyalah sebuah etalase peperangan Rasulullah saja.
Jika ditilik dalam lintasan sejarah, masa kenabian Rasulullah bisa dibulatkan pada angka 8000 hari. Sebelum membahas jumlah hari yang digunakan Nabi saw. untuk berperang semasa hidupnya, perlu diketahui bahwa ada dua istilah penting yang digunakan dalam sejarah hidup Nabi. Perang atau pertempuran biasa disebut sebagai ghazwah, sedangkan patroli yang tidak berujung pada peperangan disebut sebagai sariyah.
Ada dua pendapat dalam hal ini. Pertama menghitung patroli sebagai perang, jadi total hari yang digunakan Nabi sebanyak 800 hari. Kedua hanya menghitung pertempuran saja, jadi hanya 80 hari. Andai jika Nabi berperang sebanyak 800 hari, maka masa kenabian Rasulullah yang tidak digunakan untuk perang sejumlah 7200 hari. Dengan demikian, 90% masa kenabian dijalani tanpa perang. Bahkan jika hanya 80 hari, masa kenabian Rasulullah yang tidak dihabiskan untuk perang sejumlah 7920 hari. Artinya secara persentase, 99% masa kenabian beliau adalah tanpa perang.
Karena itu, melalui buku yang Anda pegang ini, Wali Pustaka ingin mengajak pembaca untuk ikut meneladani ragam perangai luhur Nabi saw. melalui rangkai puji-pujian dengan bahasa yang indah. Sebab, satu-satunya hal yang paling bisa membuat kita semakin jatuh cinta kepada seseorang adalah dengan menelusuri kehidupannya, apalagi dalam Syarah Barzanji ini Syekh Nawawi al-Bantani mengupas kehidupan Nabi secara mendalam.
Identitas Buku
Judul: Syarah Maulid Barzanji
Penulis: Syekh Nawawi al-Bantani
Penerbit: Wali Pustaka
Tebal: 312 halaman
Cetakan: Desember 2022
ISBN: 9786237325291
[1] Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bâjuri ‘alâ Matn al-Burdah, hal. 2.
[2] Wasisto Raharjo Jati, (Jurnal el Harakah vol. XIV, no. 2, tahun 2012) hal. 229.
[3] Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Mafâhim Yajib ‘an Tushahh, hal. 340.
Ulasan Pembaca 1