Sabtu, 11 Oktober 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Agar Polisi Konsisten Melindungi Hak Beragama

Jika konstitusi sudah jelas menjamin kebebasan beragama bagi warga negara, bagaimana mungkin ada aturan yang membatasinya?

Oleh Ahsan Jamet Hamidi
10 Februari 2025
di Kolom
A A
Ilustrasi massa penolak Ahmadiyah. (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Ilustrasi massa penolak Ahmadiyah. (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Pada akhir tahun 2024 lalu, saya diminta menjadi salah satu fasilitator dalam kegiatan Workshop Integrasi Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam tugas-tugas kepolisian. Kegiatan ini diselenggarakan oleh CSRC (Center for the Study of Religion and Culture, Pusat Kajian Agama dan Budaya) UIN Jakarta dan KOMNAS HAM. Sekitar 35 perwira dari Korps Brimob terlibat sebagai peserta dalam workshop ini.

Salah satu sesi yang paling menarik adalah ketika dilakukan diskusi kelompok. Dalam diskusi tersebut, fasilitator memberikan contoh kasus tentang pelarangan acara Jalsah Salanah yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Acara tahunan ini sedianya akan diselenggarakan pada 6-8 Desember 2024. Namun, acara tersebut mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat di Kuningan.

Larangan terhadap acara tersebut datang dari Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah), yang merupakan wadah koordinasi antara para Kepala Daerah, seperti Bupati atau Wali Kota, Ketua DPRD, Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, dan Komandan TNI Kabupaten Kuningan. Hasil pertemuan mereka menyatakan bahwa kegiatan pengajian tahunan ini bisa menyebabkan gangguan terhadap kondusivitas wilayah.

Akibat pelarangan tersebut, anggota Jemaat Ahmadiyah yang datang dari berbagai daerah terpaksa telantar di berbagai titik lokasi. Polisi menutup akses jalan menuju lokasi kegiatan, sehingga acara akhirnya dibatalkan. Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan, trauma, bahkan tekanan psikologis bagi sebagian jemaat. Tak sedikit dari mereka yang mengalami intimidasi dari kelompok yang kontra.

Jaminan Konstitusi

BACA JUGA:

Lampu Petunjuk

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Kekecewaan warga Jemaat Ahmadiyah tersebut dapat dimengerti. Sebagai warga negara, mereka paham bahwa Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menjamin kebebasan beragama. Terkait prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. “Setiap orang berhak untuk bebas memeluk agamanya dan beribadat menurut keyakinannya.”

Beberapa pihak berpendapat bahwa pelarangan Forkopimda tersebut bertentangan dengan amanat Undang-Undang yang menjamin keamanan hak beribadah warga negara. Pemerintah seharusnya menjamin kebebasan dan keamanan untuk beragama, beribadah, berkumpul, dan berorganisasi, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi.

Pertanyaan Diskusi

Sebagai anggota Polri, salah satu tugas utama polisi adalah melayani dan melindungi hak asasi warga negara. Apa tindakan kepolisian yang harus diambil dalam menyikapi acara pengajian Jemaat Ahmadiyah tersebut?

Fasilitator mengajukan pertanyaan ini kepada peserta workshop. Peserta memiliki dua pandangan yang berbeda. Ada kelompok yang setuju bahwa jika acara sudah dilarang, maka polisi harus mendukung dan melakukan tindakan lanjutan sesuai keputusan tersebut.

Namun, kelompok lain berpendapat bahwa pelarangan tersebut seharusnya tidak boleh terjadi. Polisi harus melindungi dan menjaga keamanan mereka yang mengikuti acara pengajian. Jika ada pihak yang memprotes kegiatan tersebut, polisi pun harus membolehkan aksi tersebut. Hak kedua kelompok untuk melakukan kegiatan atau memprotes harus sama-sama dipenuhi. Polisi berperan menjaga keduanya agar berlangsung aman. Polisi boleh melakukan tindakan tegas yang terukur jika ada yang bertindak melebihi batas sehingga membahayakan orang lain.

Adu Argumen

Kelompok yang setuju dengan pelarangan mendasarkan argumennya pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah dianggap sesat dan menyesatkan. Selain itu, ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang diterbitkan pada tahun 2008 dan secara eksplisit melarang kegiatan-kegiatan Ahmadiyah di Indonesia.

Kelompok yang mendukung penjaminan hak beribadah membantah argumen tersebut. Menurut mereka, fatwa MUI adalah pendapat dari sebuah organisasi ulama, yang bukan merupakan bagian dari struktur aturan negara dan pemerintah. Fatwa MUI tidak dapat dijadikan pedoman bagi polisi dalam bertindak atas nama negara.

Bantahan selanjutnya disampaikan dalam bentuk pertanyaan: “Dalam struktur perundang-undangan, manakah yang lebih tinggi, UUD/Konstitusi atau Peraturan Menteri?” Konstitusi merupakan dasar dari semua jenis aturan yang ada di bawahnya, sehingga tidak ada aturan di bawahnya yang boleh bertentangan dengan Konstitusi.

Jika konstitusi sudah jelas menjamin kebebasan beragama bagi warga negara, bagaimana mungkin ada aturan yang membatasinya?

Tulisan ini tidak bertujuan mengevaluasi tindakan kepolisian atas peristiwa yang terjadi di Desa Manislor, Kuningan tahun lalu. Peristiwa tersebut hanya dijadikan contoh kasus dalam sebuah acara diskusi.

Bagaimanapun, lembaga kepolisian adalah institusi penting dalam menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban, serta melayani warga negara. Sebagai pribadi, anggota polisi juga merupakan warga negara yang memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya. Polisi diberikan tugas oleh negara dengan fasilitas, insentif, dan kewenangan tambahan sebagai bekal untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib bagi warga negara.

Ketika keamanan dan ketertiban warga yang memiliki latar belakang beragam sudah dapat dipenuhi, maka harapan untuk menjalani kehidupan yang damai, tenang, penuh harmoni, dan maslahat bisa terwujud. Tugas aparatur negara adalah memastikan hal tersebut terwujud.

Atas dasar pertimbangan tersebut, kedua belah pihak sepakat bahwa polisi dapat menetapkan tindakan diskresi, yaitu kebebasan dalam mengambil keputusan dalam situasi tertentu. Apakah polisi akhirnya akan melarang atau tetap menjaga penyelenggaraan kegiatan, keputusan tersebut harus didasarkan pada pertimbangan dari tingkat ancaman di lapangan. Tindakan kepolisian tidak boleh hanya didasarkan pada desakan pihak lain semata, apalagi jika desakan itu hanya didasari sikap suka atau tidak suka.

Tindakan kepolisian harus mutlak didasarkan pada aturan perundang-undangan. Jika ada diskresi, maka tindakan tersebut harus dilakukan dengan sangat cermat, berdasarkan informasi yang akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pendapat Penyelenggara Diskusi

Pada akhir sesi, Idris Hemay, selaku Direktur CSRC, memberikan kesimpulan akhir sebagai berikut:

  • Kelompok Minoritas sebagai Kelompok Rentan. Minoritas agama sering kali menjadi kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban pelanggaran HAM, sehingga perlu mendapatkan perlindungan khusus sesuai prinsip-prinsip HAM.
  • Tugas Polisi Berdasarkan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan. Dalam menjalankan tugasnya, polisi wajib berpedoman pada konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diperkenankan menggunakan kebijakan atau peraturan yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, apalagi berdasarkan tekanan kelompok tertentu yang tidak mengikat secara hukum.
  • Peran Polisi sebagai Mediator yang Netral dan Objektif. Polisi harus mampu memposisikan diri secara netral dan objektif dalam menghadapi situasi yang melibatkan pro dan kontra pemenuhan hak kelompok minoritas. Sebagai mediator, polisi bertugas menjaga stabilitas tanpa memihak.
  • Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Pelaksanaan Tupoksi. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi), polisi dilarang menggunakan kekerasan, kecuali dalam keadaan yang diatur oleh hukum untuk melindungi diri atau orang lain dari ancaman serius.

Bacaan terkait

Beragama ala Mbak Ning

Merdeka Berjilbab

Merawat Kemerdekaan Kampus

Beragama secara Ilmiah?

Ber-Islam: Hasil Ber-interaksi, bukan Ber-“transaksi”

Mengilmiahkan Islam Modern

Topik: kebebasan beragamakonstitusiPolri
SendShareTweetShare
Sebelumnya

Menakar Pengaruh Partai Besar Setelah Presidential Threshold Dibatalkan

Selanjutnya

Meregang Nyawa Ditikam Panas Mentari

Ahsan Jamet Hamidi

Ahsan Jamet Hamidi

Anggota Dewan Pengarah Sekber Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

TULISAN TERKAIT

Lampu Petunjuk

Lampu Petunjuk

11 Juli 2025
Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

Membijakkan Sabar dan Ikhlas di Kota Suci

10 Juli 2025
1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

1 Muharram: Momen Kebangkitan Spiritual Kita

27 Juni 2025
Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

Ugly, Bad and Okay Mining: Pertambangan Indonesia di Persimpangan Jalan

27 Juni 2025
Selanjutnya
Selanjutnya
Meregang Nyawa Ditikam Panas Mentari

Meregang Nyawa Ditikam Panas Mentari

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Cover buku "The Great Gatsby"

The Great Gatsby: Kemewahan, Cinta, dan Kehampaan

9 Oktober 2025
Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

Hector and The Search for Happiness: Perjalanan Menemukan Arti Kebahagiaan

6 Oktober 2025
The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam

30 September 2025
Versi Hard Cover pada Buku 3726 MDPL

3726 MDPL: Titik Tertinggi Belajar Melepaskan

29 September 2025
Poster-poster kegiatan IIBF 2025

IIBF 2025: Upaya Peningkatan Literasi dan Tantangan Industri Penerbitan Buku di Indonesia

24 September 2025
Bertahan di Zaman Modern: 36 Tahun Berdirinya Pustaka Al-Kautsar

Bertahan di Zaman Modern: 36 Tahun Berdirinya Pustaka Al-Kautsar

22 September 2025

© 2025 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
  • Pegiat
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In