Menunggu itu bukan perkara mudah. Ia lebih sulit daripada mencari dan lebih membosankan daripada mendatangi. Menunggu memerlukan kesabaran, kepiawaian mengelola waktu, dan keberanian untuk menolak apapun dan siapa pun yang datang, selain yang ditunggu itu. Maka, menunggu itu ada seninya.
Pada dasarnya hidup adalah penantian. Di dalam penantian itu ada kesabaran, keyakinan, optimisme, dan doa, yang semuanya itu Allah harapkan darimu. Tuhan memintamu menunggu dan memberi harga atasnya, walaupun satu detik saja. Sebab, kita tak pernah tahu, pelajaran luar biasa apa yang hendak Dia ajarkan setelah detik kesatu (h 61).
Dalam penantian yang panjang, kita sendiri tak tahu seberapa lama lagi kita akan berhenti bersabar, seberapa kesulitan lagi kita akan berhenti percaya, dan seberapa ketiadaan lagi kita akan berhenti berdo’a. Tetapi Tuhan senantiasa meminta hambanya untuk sabar menunggu, karena yang terbaik di akhir penantian adalah bukan yang ditunggu itu, melainkan apa yang akan diberikan Allah karena kesabaran.
Mereka yang tak sabar menunggu sering menarik kesimpulan sebelum waktunya. Sering kali kamu merasa dikecewakan, padahal sebenarnya tidak. Kamu hanya frustasi atas pilihanmu sendiri karena kamu tak pernah puas dengan apa yang ada. Luka hatimu itu membuatmu terpojok sendiri di sudut sunyi, merasa dijauhi dan dibenci.
Tidak semua penantian berujung kepuasan sesuai ekspektasi. Terkadang yang ada hanya kehampaan. Namun semua kehampaan itu pada dasarnya penuh harapan dan kerahmatan. Mungkin kamu sengaja dijatuhkan berkali-kali, agar tahu bahwa kamu bukanlah aktor utama dan penulis kisahmu sendiri. Ada kalanya kamu dipaksa tersungkur agar bersujud, dipaksa menderita agar meminta. Karena pada dasarnya kamu hanyalah wayang dari Sang Dalang.
Pemahaman yang mendalam pada arti menunggu dapat membuatmu tak peduli pada luka, seperti kata Sahabat Umar ra. “Aku tak peduli keadaan susah dan senangku. Karena aku tak tahu mana di antara keduanya yang lebih baik bagiku,”.
Hidup itu sebuah proses panjang yang hasilnya tak selalu memuaskan seperti harapan. Yang diharapkan untung sering kali malah berbuah buntung, yang diharapkan manis sering kali menjadi pahit. Bagi yang memiliki pemaknaan hidup hakiki, dia akan tahu bahwa senang dan sedih pada dasarnya bukan tentangmu, tetapi tentang-Nya (h 61).
Jangan Membuat Orang Menunggu
Banyak situasi yang menunjukkan bahwa menunggu adalah hal berat. Misalnya menunggu dalam diam, ketika seseorang yang kamu harapkan tak memberi kepastian. Padahal di sana yang berjuang tidak hanya kamu seorang.
Di sisi lain banyak yang datang silih berganti dalam hidupmu, terus menerus memberikan kesan, mengetuk pintumu dan singgah ke hadapanmu. Hal itu dapat melupakanmu dari orang yang selama ini membuatmu berdo’a. Jika situasi ini ada padamu, janganlah kamu goyah dan pahami kata-kata ini: “Tak ada anugerah yang lebih membahagiakan, selain kabar dari letihnya menunggu,”. (h 65)
Bagimu yang ditunggu, berhati-hatilah. Jika kamu tak berniat menetap, jangan berdiri di depan pintunya dan jangan pegang kuncinya. Menyingkirlah dari pintu dan biarkanlah terbuka lebar sehingga tidak menghalangi tamu yang datang. Jika kamu tak kunjung menetapkan pilihan, maka biarkanlah ia bahagia dengan caranya sendiri, dengan pilihannya sendiri (h 67).
Seni Menunggu Islami
Hidup itu ibarat membaca sebuah buku. Beberapa bab sulit dimengerti, dan beberapa bab lainnya begitu mudah. Beberapa halaman penuh tulisan dan halaman lainnya penuh gambar-gambar berwarna.
Masalahnya di sini, bukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca keseluruhan buku. Akan tetapi pada bab berapa kita akan menyerah dan berhenti membaca. Terkadang kita menyerah karena buku itu terlalu tebal, atau karena banyak debu, atau memang pada dasarnya kita tidak suka membaca.
Tetapi yang kamu harus tahu, bila kita menyerah di tengah, maka kita tak akan pernah tahu akhir ceritanya. Sudah wajar dalam proses membaca ada kantuk dan lelah, tetapi teruslah membaca sampai halaman terakhir. Di halaman itulah terdapat jawaban, seberapa dahsyat kisah hidup ini. Semangatnya sederhana saja, dalam meniti hidup, meskipun lambat jangan pernah berhenti (h 81).
Tulisan Isma’ul Ahmad berjudul Menunggu Itu Ada Seninya yang diterbitkan Quanta ini penuh perenungan mendalam. Kata-katanya tak sekedar membangun pemikiran, tetapi mengaduk-aduk perasaan dan menggugah kesadaran. Bentuknya tulisan pendek berupa prosa yang ceritanya bebas, unsurnya komplit, dan pesan-pesannya denotatif, sehingga mudah dicerna.
Deretan cerita yang ditampilkan tidak tergabung dalam serial yang harus dibaca berurutan. Jadi lebih berupa antologi yang bila dicermati semuanya memiliki dimensi Islami. Dalam buku setebal 260 halaman ini terdapat lebih dari 100 judul yang menginspirasi. Sebagai penulis buku debutan, Isma’ul Ahmad pintar membungkus pesan-pesan bijak dalam narasi yang indah lagi mudah dicerna. Buku “Menunggu Itu Ada Seninya” sangat persuasif dan rapi dalam menyusun bangunan logika serta melengkapinya dengan pengandaian dan contoh menarik.
Ia tidak ingin menyeret masalah ke sisi rumitnya, tetapi membawa pada kesadaran bahwa hal-hal dalam hidup itu pada dasarnya sederhana. Namun manusia sering rumit memahaminya. Hidup, menurut Isma’ul Ahmad, adalah perjalanan wajib. Maka harus dijalani dengan segala dinamikanya. Manusia hanya berproses, sedangkan yang menentukan skor dan hasil akhirnya adalah Sang Maha Dalang.
Ismaul Ahmad lahir di Tegal, Jawa Tengah, 12 Mei 1998. Alumni Politeknik Keuangan Negara (PKN) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ini awalnya menulis untuk blog dan media sosialnya sendiri. Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan dan terbit sebagai buku perdananya ini.
Judul: Menunggu Itu Ada Seninya
Penulis: Isma’ul Ahmad
Penerbit: Quanta (Gramedia Group)
Genre: Spiritual Islam
Edisi: Mei 2021
Tebal: 264 halaman
ISBN: 9786230024993