Jum’at malam adalah hari deadline di Majalah Berita Dimensi, tempat Wikan Larasati ngantor. Satu menit di saat seperti lebih berharga daripada satu jam di hari lain.
Jam dinding menunjuk pukul 22.50, saat ponselnya berdering. Yang punya telepon tak ingin mood menulisnya diinterupsi barang sedetikpun. Gadis manis itu tetap sibuk mengetik berita yang sudah hampir mencapai tenggat waktu. Ponsel bergetar lama sebelum Wikan mengangkatnya dengan terpaksa.
“Siapa ini?”
“Saya ingin bicara dengan Wikan Larasati, s’il vous plait“.
“I’m speaking”
“Kita pernah bertemu di kapal pesiar The Meditterranean Sun di Bali, lalu di Athena, juga di Cayman Islands,” kata suara perempuan berlogat Prancis di dalam telepon.
Wikan langsung tahu, lawan bicaranya adalah Madam Elodie Francois alias Inge, 65 tahun. Jauh-jauh menelpon dari New York, Ketua Ordo Persaudaraan Pemelihara Kesucian Bumi itu ternyata ingin memberikan informasi penting. “Penting sekali. Ini terkait kejadian di negaramu yang jadi kontroversi Internasional. Tak bisa dibicarakan lewat telepon, kita harus bertemu di NYC,” tandasnya.
Telepon inilah yang memicu petualangan Wikan Larasati kali ini. Tokoh Wikan adalah karakter protagonis yang sudah malang melintang di Novel Imperia (2005) dan Trilogi Imperia: Ilusi Imperia, Rahasia Imperia, dan Coda Imperia (2014-2018) karya Akmal Nasery Basral.
Keterlibatan Wikan dalam petualangan ini adalah undangan seorang teman sekaligus penugasan redaksi, karena dia sedang menginvestigasi misteri pemerkosaan massal 1998 dan skandal imigran gelap dari Indonesia ke Amerika Serikat yang melonjak pascakerusuhan yang mencoreng Indonesia di mata dunia kala itu.
Petualangan Wikan Larasati kali ini mengambil seting di New York City dan beberapa kota di AS seperti Manhattan dan New Jersey, dipadu dengan adegan terpisah di Indonesia.
Novel setebal 570 halaman terbitan Mahaka Publishing ini adalah buku pertama serial Kincir Waktu. Seperti biasa, Akmal Nasery Basral menampilkan adegan demi adegan secara parsial, tidak selalu kronologis namun sinergis.
Adegan ketika Wikan menerima telepon undangan ke NYC misalnya, justru ada di bab tiga. Padahal di bab sebelumnya ia sudah terlibat drama seru di bawah patung Liberty, saat dua pria berwajah Asia mencoba menculiknya. Efek seru memang lebih menonjol dengan cara itu.
Novel ini dibuka dengan adegan pemerkosaan sadis di Jakarta tahun 1998, kejadian yang menjadi fondasi seluruh cerita di novel ini. Adegan ini agaknya difungsikan sebagai informasi pembuka kepada pembaca yang tak sempat menjadi saksi sejarah tragedi menjelang reformasi 1998.
Sebagaimana 21 karya Akmal yang lain, novel ini kaya dengan kosa kata dan gaya bahasa, mulai metafora, paradoks, erotesis, perifrasis, dan sebagainya. Penuturannya penuh detail, bahkan kadang terlalu detail untuk ukuran pandangan mata tokoh, misalnya tentang berat patung liberty yang mencapai 225 ton.
Uda Akmal, yang Agustus lalu menerima penghargaan National Writer’s Award 2021 untuk kategori fiksi dari Perkumpulan Penulis Nasional (Indonesian Writers Guild) Satupena ini sukses memaksa pembaca melahap bab demi bab yang selalu menjanjikan jawaban sekaligus misteri baru.
Kembali ke cerita, undangan Madam Elodie Francois alias Inge kali ini ternyata ingin mempertemukan Wikan dengan dengan Nemi, seorang saksi kunci korban pemerkosaan Jakarta 1998. Nemi adalah keping puzle yang hilang dari rantai kasus tragedi biadab 1998, sayangnya gadis itu tak stabil jiwanya.
Dari awal sampai akhir drama demi drama tampil dengan tempo lambat dan cepat. Situasi Wikan semakin gawat setelah sahabatnya, Inge tewas dipatok ular dalam sebuah ritual penganut Nabi Plato. Tanpa tuan rumah, Wikan tersesat jauh dalam lorong gelap jejaring konspirasi politik yang kompleks. Ada pengusaha oligarkis, politisi ambisius, dan petinggi militer. Sebagai jurnalis ia memburu tokoh-tokoh untuk mengorek informasi, tetapi ia juga menjadi target buruan untuk dilenyapkan.
Karakter demi karakter muncul melengkapi bangunan cerita yang baru bisa disimpulkan di akhir. Sebagian karakter cukup unik, misalnya tokoh Papaf, pria Cina berkoneksi luas yang suka berkelindan dengan pejabat. Pria ini rupanya identik dengan jeritan Nemi yang berasal dari alam bawah sadar jauh di dasar trauma psikisnya, yaitu setan botak.
Penyelidikan terhadap Papaf membawa Wikan ke dalam pengalaman liputan yang mempertaruhkan jiwa. Ia sempat diculik di Schenectady, hampir diperkosa di King of Prussia, dan beberapa kali nyaris tewas oleh pistol dan bom flashdisk.
Novel inipun hujan pujian. Ninok Leksono, Wartawan Senior Kompas yang juga Rektor Universitas Multimedia Nusantara memujinya sebagai terobosa baru. “Genre baru literasi kreatif, menggerakkan hati pembaca dan membuka pikiran,” tulisnya pada endorse buku ini.
Wartawan-sastrawan senior Putu Setia memuji penggunaan seting sejarah tragedi 1998 dalam cerita ini. “Akmal piawai mengisahkan Reformasi 1998 dari sudut pandang yang tak terpikirkan penulis lain,” tandasnya. (Mjr/JBR)
Judul Buku: Kincir Waktu 1
Penulis: Akmal Nasery Basral
Penerbit: Mahaka Publishing
Genre: Fiksi
Tebal: 570 Halaman
Edisi: Cetakan 1, November 2021
ISBN: 978-602-9474-39-8
Diresensi oleh Jakarta Book Review
buku sangat bagus
ini buku mantap