“If you live according to what others think, you will never be rich”. Kalimat yang diucapkan filsuf Stoic (baca: Stoa/ Στοά), Lucius Annaeus Seneca (4BC–65AD) ini merepresentasikan ajaran Stoa yang mengutamakan kehidupan subyektif. Itulah mengapa kata-kata ini terpampang di halaman muka buku Filosofi Teras, tepat setelah cover. Sebenarnya petikan lengkapnya: “Jika Anda hidup selaras dengan alam, Anda tidak akan pernah miskin. Jika Anda hidup menurut apa yang orang lain pikirkan, Anda tidak akan pernah kaya”.
Kunci kebahagiaan, menurut prinsip Stoisisme, adalah merasa puas dengan pemberian alam. Pemberian alam itu maksudnya apa-apa yang kita terima dan nikmati saat ini, bukan tentang potensi-potensi yang belum ada dalam dekapan. Musuh besarnya adalah “kata orang”, yaitu segala macam imajinasi terkait dengan idealisasi common sense dan pencitraan.
Kebahagiaan sejati adalah ketika seseorang bisa menikmati masa kini, tanpa rasa cemas akan masa depan. Bila orang-orang pintar memenuhi kepalanya dengan rencana-rencana dan ekspektasi tinggi, orang-orang bijak memilih sebaliknya. Ia selalu puas dengan nasibnya, apa pun itu, tanpa mengharapkan apa yang tidak dimilikinya.
Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring ini menggaungkan kembali ajaran lama Stoic Philosophy yang sering disebut Stoa atau Stoisisme atau Stoikisme. Henry Manampiring untuk pertama kali mengenalkan istilah Filosofi teras, dengan cara mencomot begitu saja makna stoa atau stoikos, yang memang bermakna teras rumah dalam konteks Athena kuno, yaitu pelataran berpilar-pilar. Konon pada zaman dahulu orang-orang mengaji Stoisisme kepada para bijak bestari di beranda-beranda sekitar alun-alun Athena.
Stoisisme, sebagai sebuah aliran atau mazhab filsafat, dicetuskan Zeno dari Citium sekitar tahun 311 SM. Isinya tentang logika retorika, dialektika, fisika, dan yang paling populer adalah etika sikap hidup yang menekankan pada apatheia atau kepasrahan menerima keadaannya di dunia. Richard Osborne, penulis buku Philosophy for beginners, mengasosiasikan Stoa dengan kesederhanaan. “Menjadi stoa berarti menghadapi nasib dengan berani dan mulia”.
Henry Manampiring menggambarkan filosofi teras dengan mengambil zoom in terkait daily life, dan terutama yang relevan dengan pengalaman pribadinya. Praktisi periklanan yang meraih gelar master bisnis (MBA) dari University of Melbourne, Australia ini pernah mengalami fase kehidupan yang depresif.
Di kata pengantar buku ini Manampiring menggambarkan, di depan teman-temannya ia dikenal negative thinking. Terhadap banyak hal ia selalu berpikir buruknya dahulu. Sampai pada tahun 2017, ia pergi ke psikiater karena semakin merasa gelisah, cemas, murung, dan tidak bersemangat. Kata-kata psikiater bagaikan petir di siang bolong yang tak pernah hilang dari ingatannya hingga kini. “Kamu menderita Major Depressive Disorder.”
Singkat cerita, sejak saat itu ia mengikuti terapi dan mengubah banyak hal dalam hidupnya, terutama tentang harapan-harapan, ekspektasi, dan kekhawatiran menghadapi masa depan. Semua hal yang ia butuhkan itu ternyata ada di Stoic Philosophy, sebagaimana yang dijelaskannya dalam buku ini. Setelah masa-masa yang temperamental, ambisius, dan perfeksionis itu, Henry menemukan mutiara baru yang membentengi jiwanya dari segala ketakutan tentang masa depan.
Stoisisme adalah ajaran purba 2300 tahun silam, jauh lebih tua daripada Nasrani, apalagi Islam. Filosofi ini mengenalkan cara hidup sebagai eudaimonia atau “subur berkembang”. Bagi yang bukan pembelajar filsafat, Stoa atau Stoisisme pastinya jarang terdengar. Untuk itu Henry mengamplify kembali dalam bentuk pengantar komprehensif yang ternyata sangat laris.
Pada dasarnya hambatan terbesar dalam hidup adalah harapan. Ketika Anda memunculkan harapan, maka saat itu pikiran mulai dipenuhi hal-hal futuristik tentang esok hari, minggu depan, bulan depan, dan berbagai impian tak pasti. Bila hal-hal semacam itu dibiarkan mewabah dalam pikiran, maka hilanglah makna hari ini. “Mereka kehilangan siang karena mengharapkan malam, dan malam berlalu dengan berat karena takut fajar.”
Harapan yang tak tercapai adalah lorong panjang dan gelap dalam pikiran, yang ujungnya keputusasaan. Ekspektasi yang tak bersambut dapat memunculkan sindrom kelemahan dan ketidakberdayaan, yang dapat memicu ledakan negatifisme. Ini sangat berbahaya karena menurut filsuf Stois, semua kekejaman muncul dari kelemahan.
Henry Manampiring melihat Filosofi Teras sebagai ajaran praktis, tak seperti umumnya teori filsafat yang bila dibaca orang stres bukannya sembuh tetapi malah makin parah. Kebanyakan filsafat memang banyak muter-muter di hal abstrak, seperti eksistensialisme, nihilisme, strukturalisme hingga post-strukturalisme, tetapi Stoisisme beda.
“Perbedaan mendasar filsafat stoa dengan cabang filsafat lain, justru pada sifat praktisnya” kata Manampiring. Stoa tak menawarkan utopia-utopia surgawi, seperti masyarakat setara tanpa kelas, negeri adil makmur, pemimpin adil, dan lain-lainnya.
Yang diberikan Filosofi Teras lebih personal, yaitu mengubah dunia dengan cara mengubah cara pandang kita tentangnya. Praktiknya dengan mengenali dan menaklukkan emosi negatif, yang dikontrol secara terkendali dalam kebijakan. Itulah hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia. (h 33)
Filosofi Teras Relevan di Masa Kini
Meski dunia modern dianggap lebih damai dan berperadaban, tetapi sesungguhnya terjadi perang yang lebih sengit daripada perang dunia kedua. Di zaman yang semuanya serba dekat dan menyatu ini, orang bisa berdebat tentang semua hal sampai perang opini di media sosial. Di sana ada banyak hoaks, fake news, desepsi, bullying, yang ditingkahi jahatnya netizen, buzzer dan influencer.
Bagi yang tak kuat mental, beban hidup bisa makin berat hanya karena virtual toxic semacam itu. Belum lagi di kehidupan nyata, ada beban pekerjaan menumpuk, target selangit, politik kantor, stupid boss, dan lain-lain.
Epictetus, salah satu pelopor stoisisme klasik, mengembangkan teori up to me dan not up to me. Penyelesaian masalah dimulai dari penempatan sebuah persoalan di rak yang disediakan. Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, dan hal-hal yang tidak di bawah kendali kita. (h 46)
Terkait semua hal dalam hidup, kita harus tahu pasti, apakah hal itu kategori tergantung kita atau tidak tergantung kita.
Misalnya tentang pandangan orang lain pada kita. Hal itu jelas tidak berada di bawah kendali.
Bila kita memikirkannya, sudah dapat dipastikan akan mengalami depresi. Demikian pula dengan reputasi dan kekayaan, sikap yang benar adalah nikmati pemberian itu dengan gembira.
Pasangan hidup dan kesehatan juga tak berada di bawah kendali kita. Kita bisa mengupayakan untuk sehat dan mendapat pasangan ideal, tetapi tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. jadi, buat apa dipikirkan. Lakoni saja, hasilnya terserah nanti. Bagi filsuf Teras, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan tidaklah rasional. (h 49)
Resah dan gelisah dalam hidup itu situasinya sama dengan marah-marah ketika terjebak di kemacetan. Tak ada gunanya, tidak membantu sedikit pun, malah mengganggu diri sendiri dan lingkungan. Berangkat dari hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tak bisa dikendalikan di atas, stoisisme memiliki prinsip bernama indifferent alias “gak ngaruh”.
Stoisisme rawan disalahartikan dengan pasrah pada keadaan atau fatalisme. Padahal, menerima keadaan atas apa-apa yang tak bisa kita kendalikan, tidak sama dengan fatalisme. Fatalisme itu pasif, sedangkan Stoisisme aktif, minus pemaksaan diri.
Buku ini sangat bagus, pastaslah jika ia mega best seller dan memenangkan Book of The Year di Indonesia International Book Fair 2019. Saat saya meresensi buku ini, cetakannya sudah yang ke-40. Membaca buku ini tidak akan ada ruginya. Jika anda seorang religius, saya percaya keberagamaan Anda akan meningkat. Jika Anda bukan orang agamis, setidaknya usia anda akan lebih panjang.
Judul: Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Genre: Psikologi
Edisi: Cetakan 40, Juni 2022
Tebal: 344
ISBN: 9786233463034