Memahami Mindset
Ketika muda, saya menginginkan jodoh yang mirip pangeran. Sangat tampan, sangat sukses. Sosok yang sangat penting. Saya menginginkan karier yang cemerlang tanpa ada kesulitan atau risiko. Dan, saya menginginkan semuanya datang pada saya sebagai pengesahan atas siapa saya sebenarnya.
Perlu waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya saya puas. Saya mendapatkan suami yang hebat, tetapi saat itu dia baru saja bekerja. Karier saya cemerlang, tetapi inilah yang selalu menjadi tantangan. Tidak ada yang mudah. Jadi, mengapa saya merasa puas? Saya ubah mindset saya.
Saya mengubahnya karena pekerjaan. Suatu hari mahasiswa doktoral saya, Mary Bandura, dan saya sendiri berusaha memahami mengapa sebagian mahasiswa demikian terpacu untuk membuktikan kemampuan mereka, sementara sebagian yang lain menjalani hidup dan belajar apa adanya. Tiba-tiba kami sadar bahwa ada dua makna untuk kemampuan, bukan hanya satu: kemampuan tetap (fixed ability) yang harus dibuktikan, dan kemampuan bisa diubah (changeable ability) yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran.
Itulah yang akhirnya melahirkan mindset. Saya segera mengetahui mindset macam apa yang saya miliki. Saya menyadari mengapa selama ini saya begitu prihatin dengan kesalahan dan kegagalan. Dan, untuk kali pertama saya menyadari bahwa saya punya pilihan.
Ketika memasuki mindset tertentu, Anda memasuki sebuah dunia baru. Di dunia yang satu—yaitu dunia yang terdiri dari Sifat-sifat tetap—kesuksesan berarti membuktikan bahwa Anda cerdas atau berbakat. Mengabsahkan diri Anda. Di dunia yang lain—yaitu dunia yang terdiri dari kualitas yang senantiasa berubah—kesuksesan berarti mengembangkan diri Anda untuk mempelajari sesuatu yang baru. Mengembangkan diri Anda.
Di dunia yang satu, kegagalan berarti kemunduran. Mendapatkan nilai jelek, kalah dalam pertandingan, dipecat, atau ditolak. Artinya, Anda tidak cerdas atau tidak berbakat. Di dunia yang lain, kegagalan berarti tidak berkembang. Tidak meraih hal-hal yang Anda hargai. Artinya, Anda belum memenuhi potensi Anda.
Di dunia yang satu, usaha merupakan hal buruk. Usaha, seperti halnya kegagalan, berarti Anda tidak cerdas atau tidak berbakat. Jika memang cerdas dan berbakat, Anda tidak membutuhkan usaha. Di dunia yang lain, usaha adalah sesuatu yang membuat Anda cerdas atau berbakat.
Anda punya pilihan. Mindset hanyalah sebuah keyakinan. Mindset adalah kepercayaan yang kuat, tetapi mindset itu ada dalam kesadaran, dan Anda dapat mengubahnya. Saat Anda membaca buku ini, pikirkanlah ke mana Anda ingin berjalan dan mindset manakah yang akan mengantar Anda ke sana.
Apakah Sukses Menyangkut Pembelajaran—Atau Membuktikan bahwa Anda Cerdas?
Benjamin Barber, seorang sosiolog terkemuka, pernah berujar, “Saya tidak membagi dunia menjadi yang lemah dan yang kuat, atau sukses dan gagal …. Saya membagi dunia menjadi pembelajar dan bukan-pembelajar.”
Adakah yang membuat seseorang menjadi bukan-pembelajar? Setiap orang dilahirkan dengan kehendak kuat untuk belajar. Bayi mengembangkan keterampilannya setiap hari. Bukan hanya keterampilan biasa, melainkan juga tugas-tugas yang paling sulit sepanjang hidup, seperti belajar berjalan atau berbicara. Bayi tidak pernah menganggap upaya itu terlalu sulit atau tak berguna. Bayi tidak takut melakukan kesalahan atau merendahkan diri mereka. Mereka berjalan, jatuh, dan bangkit lagi. Mereka pantang menyerah.
Apa yang dapat mengakhiri proses pembelajaran yang sangat menyenangkan ini? Mindset tetap. Segera setelah anak-anak mampu mengevaluasi diri, sebagian jadi takut dengan tantangan. Mereka takut tidak cerdas. Saya telah mengkaji ribuan anak dari usia prasekolah, dan sungguh menyesakkan melihat betapa banyak anak menolak kesempatan untuk belajar.
Kami menawarkan pilihan kepada anak-anak berusia empat tahun: Mereka dapat memasang kembali teka-teki potongan gambar (jigsaw puzzle) yang mudah atau mencoba teka-teki lain yang lebih sulit. Bahkan pada usia yang sangat dini, anak-anak bermindset tetap—anak-anak yang percaya pada sifat-sifat tetap—tertarik dengan teka-teki yang aman dan mudah. Anak-anak yang dilahirkan cerdas “tidak pernah melakukan kesalahan,” ujar mereka kepada kami.
Anak-anak bermindset tumbuh—anak-anak yang percaya bahwa dirinya bisa menjadi lebih cerdas—menganggapnya sebagai pilihan aneh. Mengapa Anda menanyakan hal ini kepadaku? Mengapa setiap orang ingin tetap mengerjakan teka-teki yang sama dari waktu ke waktu? Mereka memilih teka-teki yang sulit secara berurutan. “Aku sangat ingin menyelesaikannya!” teriak seorang gadis kecil.
Demikianlah, anak-anak bermindset tetap ingin memastikan keberhasilan mereka. Orang-orang cerdas seharusnya selalu berhasil, Tetapi, bagi anak-anak bermindset tumbuh, keberhasilan berkaitan dengan upaya pengembangan diri. Itu berkaitan dengan proses menjadi lebih cerdas (becoming smarter). Seorang gadis kelas tujuh menyimpulkan, “Menurut saya kecerdasan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan … itu tidak diberikan begitu saja kepada kita …. Sebagian besar anak jika mereka tidak yakin dengan jawabannya, tidak akan mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan. Tetapi, saya selalu mengangkat tangan karena jika saya salah, kesalahan itu dapat diperbaiki. Atau, saya akan mengangkat tangan dan berkata, ‘Bagaimana cara memecahkan persoalan ini?’ Atau, ‘Saya tidak memahaminya. Dapatkah Anda membantu saya?’ Hanya dengan melakukannya, saya dapat meningkatkan kecerdasan saya”
Melampaui Teka-Teki
Menyelesaikan teka-teki adalah satu hal. Mengambil kesempatan yang penting bagi masa depan Anda adalah hal lain. Untuk Mmengetahui kebenaran hal ini, kami memanfaatkan situasi yang tak biasa. Di University of Hong Kong, segalanya menggunakan bahasa Inggris. Pelajaran dalam bahasa Inggris, buku pegangan berbahasa Inggris, dan ujian pun dalam bahasa Inggtis. Tetapi, sebagian mahasiswa yang masuk ke universitas tersebut belum fasih berbahasa Inggris; jadi wajarlah bila mereka melakukan sesuatu untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris secara tergesa-gesa.
Ketika para mahasiswa tersebut datang untuk mendaftar ulang sebagai mahasiswa baru, kami tahu mahasiswa mana yang tidak terampil berbahasa Inggris. Kemudian, kami mengajukan pertanyaan terpenting pada mereka: Jika fakultas menawarkan kursus untuk para mahasiswa yang ingin meningkatkan keterampilan bahasa Inggris mereka, apakah Anda akan ikut?
Kami juga mengukur mindset mereka dengan menanyakan seberapa banyak mereka sepakat dengan pernyataan-pernyataan semacam ini: “Anda memiliki tingkat inteligensi tertentu, tetapi benar-benar tidak dapat berbuat banyak untuk mengubahnya.” Orang-orang yang sepakat dengan pernyataan semacam ini berarti memiliki mindset tetap.
Mereka yang memiliki mindset tumbuh sepakat bahwa “Anda selalu dapat mengubah kecerdasan Anda secara mendasar”
Kemudian, kami mengamati mahasiswa yang setuju dengan kursus bahasa Inggris. Para mahasiswa bermindset tumbuh mau mengikuti kursus. Tetapi, mahasiswa bermindset tetap tidak tertarik.
Lantaran percaya bahwa kesuksesan berkaitan dengan proses pembelajaran, para mahasiswa bermindset tumbuh mengambil kesempatan tersebut. Tetapi, mahasiswa bermindset tetap tidak ingin membeberkan kekurangan-kekurangan mereka. Akan tetapi, agar merasa cerdas dalam jangka pendek, mereka bersedia mempertaruhkan karier mereka di universitas.
Beginilah cara mindset tetap membuat orang menjadi bukan-pembelajar (nonlearners).
Gelombang Otak Mengungkapkan Kisah Itu
Anda bahkan dapat melihat perbedaan tersebut pada gelombang otak manusia. Orang-orang dengan kedua macam mindset datang ke laboratorium gelombang otak milik kami di [Universitas] Columbia. Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dan mendapatkan umpan balik, kami penasaran kapan gelombang otak mereka akan menunjukkan apakah mereka pura-pura tertarik atau benar-benar memperhatikan.
Orang-orang bermindset tetap hanya tertarik ketika umpan balik tersebut merefleksikan kemampuan mereka. Gelombang otak mereka menunjukkan, mereka sangat memperhatikan ketika diberi tahu bahwa jawaban mereka benar atau salah.
Tetapi, ketika diberi informasi yang dapat membantu mereka belajar, tidak ada tanda ketertarikan sama sekali. Bahkan, ketika Jawaban mereka salah, mereka tidak tertarik untuk mempelajar; Jawaban yang benar.
Hanya orang-orang bermindset tumbuh yang sangat memperhatikan informasi yang dapat memperluas pengetahuan mereka. Hanya merekalah yang memandang proses pembelajaran sebagai prioritas.
Apa Prioritas Anda?
Jika diharuskan memilih, mana yang akan Anda ambil? Segudang kesuksesan dan pengakuan atau berbagai macam tantangan? Manusia harus membuat pilihan-pilihan semacam ini tak hanya menyangkut tugas-tugas intelektual. Mereka juga harus memutuskan jenis hubungan apa yang diinginkan: yang mendukung ego mereka atau yang menantang mereka untuk berkembang? Siapakah jodoh ideal Anda? Kami mengajukan pertanyaan ini kepada para remaja, dan inilah jawaban yang mereka berikan kepada kami. Orang-orang bermindset tetap mengatakan jodoh ideal akan:
- Memuja mereka.
- Membuat mereka merasa sempurna.
- Mengagungkan mereka.
Dengan kata lain, jodoh yang sempurna akan mengabadikan sifat-sifat tetap mereka. Suami saya mengatakan bahwa dia terbiasa merasa seperti ini, bahwa dia ingin menjadi Tuhan bagi agama seseorang (pasangannya). Untunglah, dia telah membuang gagasan ini sebelum bertemu saya.
Orang-orang bermindset tumbuh mengharapkan jenis mitra yang berbeda. Menurut mereka, jodoh ideal adalah seseorang yang akan:
- Melihat kesalahan-kesalahan mereka dan membantu memperbaikinya.
- Menantang mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
- Mendorong mereka untuk mempelajari hal-hal baru.
Tentu saja, mereka tidak menginginkan orang-orang yang menyakiti atau merendahkan harga diri mereka, tetapi menginginkan orang yang akan membantu mereka berkembang. Mereka tidak menganggap diri mereka sempurna karena orang sempurna tidak perlu belajar lagi.
Sekarang Anda mungkin berpikir, Nah, bagaimana jika dua orang yang berbeda mindset bersatu? Seorang wanita bermindset tumbuh bercerita tentang pernikahannya dengan pria yang memiliki mindset tetap:
Aku sangat menyesal ketika sadar bahwa aku telah melakukan sebuah kesalahan besar. Setiap kali aku mengatakan sesuatu, seperti “Kenapa kita tidak mencoba untuk berusaha sedikit lebih keras?” atau “Aku lebih suka kamu membicarakannya dulu denganku sebelum mengambil keputusan,’ suamiku merasa hancur. Kemudian, alih-alih membicarakan persoalan yang kuangkat, aku harus menghabiskan waktu satu jam untuk membenahi keruwetan tersebut dan membuat suamiku merasa baik kembali. Selain itu, dia akan segera berlari menuju telepon untuk memberi tahu ibunya, yang selaltu menghujaninya dengan pujian yang tampaknya dia butuhkan. Kami masih sama-sama muda dan baru saja menikah. Sejatinya, aku hanya ingin berkomunikasi.
Demikianlah, gagasan sang suami tentang hubungan yang berhasil—penerimaan sepenuhnya dan tidak kritis—tidak sejalan, dengan gagasan sang istri. Dan, gagasan sang istri tentang hubungan yang berhasil—menghadapi persoalan—juga tidak sejalan dengan gagasan sang suami. Pertumbuhan pribadi yang satu merupakan mimpi buruk bagi pribadi yang lain.
Penyakit CEO
Bicara tentang memerintah dari puncak kekuasaan dan ingin dilihat sempurna, Anda tidak akan terkejut bahwa inilah yang sering disebut “penyakit CEO”. Lee lacocca memberikan contoh buruk tentang hal ini.’ Setelah kesuksesan awalnya sebagai pimpinan Chrysler Motors, lacocca benar-benar tampak seperti anak usia empat tahun yang memiliki mindset tetap. Dia terus-menerus mengeluarkan model mobil yang sama dengan hanya melakukan perubahan-perubahan sederhana. Sayangnya, model-modad tersebut tidak lagi diinginkan pasar.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan mobil Jepang sudah berpikir ulang tentang seperti apa seharusnya tampilan sebuah mobil dan bagaimana seharusnya mobil-mobil tersebut berjalan. Kami tahu bagaimana akhir kisah ini. Mobil-mobil Jepang dengan cepat menyapu pasar mobil.
Para CEO menghadapi pilihan seperti ini setiap saat. Haruskah mereka menghadapi berbagai kekurangan atau haruskah mereka menciptakan sebuah dunia di mana mereka tidak punya apa-apa? Lee lacocca memilih yang terakhir. Dia dikelilingi oleh para pemujanya, menyingkirkan para pengkritiknya—dan segefa kehilangan kontak dengan bidang yang sedang dijalani. Lee le cocca telah menjadi seorang bukan-pembelajar.
Tetapi, tidak semua orang terkena penyakit CEO. Banyak pemimpin besar berkali-kali menghadapi kekurangan diri mereka. Darwin Smith, dengan menengok kembali kinerjanya yang luar biasa di Kimberly-Clark, mengungkapkan, “Saya tidak pernah berhenti berusaha memenuhi kualifikasi sebuah pekerjaan.” Orang-orang ini, seperti para mahasiswa Hong Kong yang memiliki mindset tumbuh, tidak pernah berhenti mengejar perbaikan.
Para CEO menghadapi dilema yang lain. Mereka dapat memilih strategi-strategi jangka pendek yang meningkatkan saham perusahaan dan membuat mereka bagaikan pahlawan. Atau, mereka bekerja untuk perbaikan jangka panjang—dengan mengambil risiko dicela oleh Wall Street karena meletakkan fondasi untuk kesehatan dan perkembangan perusahaan pada hasil yang lebih lama dicapai.
Albert Dunlap, yang mengakui dirinya bermindset tetap, dipercaya untuk mengelola Sunbeam. Dia memilih strategi jangka pendek agar terlihat seperti pahlawan bagi Wall Street. Sahamnya memang melambung tinggi, tetapi perusahaannya berantakan.
Lou Gerstner, yang diakui memiliki mindset tumbuh, dipercaya mengelola IBM. Begitu dia mulai melaksanakan tugas-tugas berat untuk memperbaiki budaya dan kebijakan-kebijakan IBM, harga saham mandek dan Wall Street mencemoohnya. Mereka menyebut Gerstner gagal. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, IBM kembali menjadi yang terdepan di bidangnya.
Meregang Kemampuan
Orang bermindset tumbuh tidak hanya mencari tantangan, tetapi juga bersungguh-sungguh menjalaninya. Semakin besar tantangan, semakin mereka berkembang. Dan, tidak ada tempat untuk bisa melihat hal ini secara lebih jelas daripada di dunia olahraga. Anda benar-benar dapat melihat orang-orang tumbuh dan berkembang di bidang ini.
Bintang sepakbola wanita terhebat pada zamannya, Mia Hamm, mengungkapkan hal ini secara terus terang. “Sepanjang hidup aku selalu bermain. Artinya, aku menantang diriku sen diri dengan para pemain yang lebih senior, lebih besar, lebih terampil, lebih berpengalaman—singkatnya, yang lebih baik dari, Pada aku.” Pertama-tama, dia bermain dengan kakak laki-lakinya, Kemudian, pada usia sepuluh tahun, dia bergabung dengan tim anak laki-laki berusia sebelas tahun. Kemudian, dia masuk ke tim perguruan tinggi nomor satu di Amerika Serikat. “Setiap hari aku berusaha mencapai tingkat permainan mereka … dan permainanku meningkat lebih cepat dari yang pernah kubayangkan.”
Patricia Miranda adalah seorang anak SMA bertubuh gemuk dan tidak atletis yang ingin ikut olahraga gulat. Setelah kalah dalam suatu pertandingan, dia diberitahu, “Kamu itu badut” Awalnya, dia menangis, kemudian dia merasa: “Ini benar-benar mengubah pikiranku …. Aku harus terus berusaha dan membuktikan bahwa usaha dan fokus serta yakin dan latihan dapat menjadikanku pegulat sejati.” Dari mana dia mendapatkan perubahan ini?
Sebelumnya, Miranda dibesarkan dalam kehidupan tanpa tantangan. Tetapi, ketika ibunya meninggal akibat pembengkakan pembuluh darah (aneurysm) pada usia empat puluh, Miranda yang baru berumur sepuluh tahun menemukan sebuah prinsip. “Ketika maut menjemput, salah satu hal keren yang harus diucapkan adalah, ‘Aku benar-benar telah mengeksplorasi diriku’ Rasa keterdesakan inilah yang melekat ketika ibuku meninggal. Jika Anda sekadar menjalani hidup dengan melakukan hal-hal yang mudah, seharusnya Anda malu.” Jadi, ketika gulat menyuguhkan tantangan, dia siap menerimanya.
Usahanya berhasil. Pada usia dua puluh empat, Miranda akhirnya bisa tertawa. la berhasil masuk tim Olimpiade Amerika Serikat dan pulang dari Athena dengan membawa medali pe runggu. Lalu, berikutnya apa? Fakultas Hukum [Universitas] Yale. Orang-orang mendorongnya untuk tetap berada di tempat yang puncaknya telah dia capai. Tetapi, Miranda merasa lebih tertarik memulai lagi dari bawah dan apa yang dapat dia kembangkan saat ini.
Melampaui Hal yang Mungkin
Kadang-kadang, orang bermindset tumbuh dapat mengembangkan diri demikian jauh sehingga dapat melakukan hal yang mustahil. Pada 1995, Christopher Reeve, aktor pemeran Superman, terlempar dari atas kudanya. Lehernya patah, sumsum tulang belakangnya terpisah dari otaknya. Dia lumpuh total dari leher ke bawah. limu kedokteran mengatakan, “Maaf. Anda harus mengerti keadaan Anda”
Akan tetapi, Reeve memulai program pelatihan berat yang menggerakkan seluruh bagian tubuhnya yang lumpuh dengan bantuan stimulasi elektrik. Siapa bilang dia tidak dapat belajar untuk bergerak kembali? Mengapa tidak mungkin bagi otaknya untuk sekali lagi memberikan perintah-perintah yang akan dipatuhi tubuh? Para dokter mengingatkan bahwa dia tidak akan berhasil dan hanya akan menuai kecewa. Mereka telah menyaksikan hal ini sebelumnya dan ini pertanda buruk untuk penyesuaian dirinya. Tetapi, apa lagi yang harus dilakukan Reeve dengan waktunya? Adakah kegiatan yang lebih baik?
Lima tahun kemudian, Reeve mulai bisa bergerak kembali. Pertama-tama tangannya, lalu lengannya, kemudian kakinya, lalu tubuhnya. Dia memang masih jauh dari pulih, tetapi pemindaian otak menunjukkan bahwa otaknya dapat mengirim kembali sinyal yang kemudian direspons oleh tubuhnya. Reeve tidak hanya telah mengembangkan kemampuannya, tetapi juga telah mengubah cara pandang sains terhadap sistem saraf dan potensinya untuk pulih. Ketika melakukannya, dia membuka pandangan yang benar-benar baru untuk penelitian dan harapan yang benar-benar baru bagi para penderita kelainan sumsum tulang belakang.