Berada Dalam Transisi
Saya tertarik dengan topik transisi ketika akan melalui sejumlah perubahan yang sulit, baik batiniah maupun lahiriah. Meskipun telah menanggalkan karier mengajar karena perubahan itu, ternyata akhirnya saya menjadi pengajar dalam seminar berjudul “Berada dalam Transisi”. (Peraturan nomor satu: Ketika dalam transisi, Anda menjadi diri Anda Sendiri, tetapi dengan cara baru.) Kedua puluh lima orang dewasa yang datang ke kursus itu memiliki kondisi yang kacau dan krisis. Saya agak kebingungan. Saya sendiri telah melepas karier dan pindah bersama keluarga ke suatu negara, tempat kami berkumpul dengan beberapa keluarga lain dan membentuk komunitas kecil. Saya telah memikirkan untuk mengubah gaya hidup saya.
Saya membayangkan seminar itu akan menarik, karena mereka semua berasal dari beragam kota lainnya dan memiliki tujuan yang sama untuk memecahkan transisi yang pelik ini. Beberapa penghuni baru kota ini hadir di kelas, tetapi perpaduannya jauh lebih beragam dari itu. Ada pria dan wanita yang belum lama bercerai atau berpisah. Ada pasangan pengantin baru, juga mereka yang menikah lagi, seorang pria berusia dua puluh enam yang memiliki empat anak. Ada seorang janda dan beberapa pria yang baru pensiun. Ada pula istri seorang pensiunan (yang tidak hadir di seminar karena kesehatannya memburuk beberapa minggu setelah pensiun).
Ada seorang wanita yang baru melahirkan anak pertama, seorang pria yang belum lama terkena serangan jantung, dan bahkan seorang pria yang baru-baru ini mendapat kenaikan jabatan kerja. (“Buat apa dia ke sini?” tanya yang lainnya dengan jengkel. “Dia tidak punya masalah.”) Ada tiga atau empat wanita yang baru saja kembali berkuliah setelah beberapa tahun membesarkan anak. Ada dua orang yang belum lama ini dipecat. Dan ada seorang wanita muda yang hidup sendirian untuk pertama kalinya.
Ia penasaran dengan bagaimana kami, orang-orang yang lebih tua darinya, menjalani kehidupan dengan lebih baik “Ketika kita berusia dua puluh tiga, tidak apa-apa jika sedikit kacau,” katanya, “tapi aku ingin kehidupanku sudah terbentuk dengan baik saat aku seusia denganmu.” (Kami semua mengangguk dengan malu dan mengakui bahwa kami pun punya rencana seperti itu dulu.)
Pada mulanya, peserta seminar malu-malu satu sama lain dan berlindung di balik klaim bahwa mereka tidak memiliki banyak kesamaan, (“Kau masih punya pekerjaan.” “Yah, kau lebih beruntung. Pernikahanmu masih utuh.”) Namun, perlahan mereka mulai menemukan bahwa di balik permukaan, situasi yang mereka hadapi sama-sama menantang dan memiliki pengalaman mendasar yang sama. Saat kami mendengarkan mereka berbicara pada malam pertama, ada tiga kesamaan utama di antara kami (1) berada di pengakhiran, diikuti dengan (2) periode kebingungan dan tertekan, yang berujung pada (3) permulaan baru, bagi mereka yang melaluinya sejauh itu.
Tentu saja, respon mereka berbeda-beda ketika kami membahas ketiga fase transisi. Mereka yang memilih untuk membuat perubahan yang telah menempatkan mereka dalam transisi cenderung meminimalkan pentingnya pengakhiran. Memang tindakan mengakui suatu akhir itu sama menyakitkannya dengan mengakui bahwa perubahan yang memicu transisi itu merupakan sebuah kesalahan. Di lain pihak, mereka yang masuk ke dalam transisi secara terpaksa atau tidak disadari, merasa sangat sulit mengakui bahwa suatu permulaan baru dan fase baru dalam kehidupan mereka sedang menanti. Mereka cenderung tidak melihat kebaikan dalam transisi, sama seperti kelompok lain yang menyangkal kondisi tertekan. Namun, mereka semua sepakat bahwa berada di tempat itu sungguh asing dan membingungkan. Mereka berharap keluar dari sana, demi masa lampau yang indah atau dunia baru yang berani, secepat mungkin.
Kami memutuskan untuk menelaah ketiga fase transisi ini. Saya mengumumkan bahwa pengakhiran akan menjadi topik sesi kedua seminar. Ini membuat sang ibu baru kesal. “Saya tidak menyuruhnya pergi kuliah,” katanya, “hanya berusaha terbiasa dengan kehadirannya.” Sebenarnya, ia sedang berusaha mengatasi permulaan, bukan akhir. Tentu saja, bayi kecil itu mengagumkan (ia mengulang-ulang pernyataan ini), tetapi ia menghadapi sejumlah masalah kecil. Seberapa lama ia boleh membiarkan bayinya menangis, ia bertanya pada teman-teman sekelasnya, “Bagaimana caranya membujuk sang suami supaya lebih membantu?”
Beberapa menit setelahnya, suasana riuh dengan berbagai saran, dan kami bergeser dari topik tentang akhir dengan cepat. Menariknya, saran kami tidak terlalu berguna, karena ia sudah pernah mendengarnya—bahkan sebagian besar sudah pernah ia baca sebelum bayi itu lahir. Ini membuatnya jengkel, dan menjadi marah, pertama dengan suaminya, kemudian dengan ibunya, yang tidak pernah bercerita bagaimana menjadi seorang ibu. Lalu, ia marah pula pada bayinya, dan terakhir pada kami karena “Kalian hanya duduk manis saja, mengangguk-angguk dan berpura-pura simpati, padahal tidak peduli kalau saya hancur—dan saya benar-benar hancur!”
Jelaslah, kami sudah menjauh dari topik bayi mungil mengagumkan itu, yang sebenarnya membutuhkan sedikit saran. Akan tetapi, sepertinya pembahasan menjadi tidak fokus, karena dalam beberapa menit kemudian, ia berceloteh tentang berbagai hal. Mulai dari kehidupannya, lalu keinginannya memiliki anak. Ja dan suaminya menikah dua tahun sebelum ia hamil. Mereka sangat bahagia. Baik dirinya maupun sang suami sama-sama menginginkan anak. Namun mereka terkejut karena ternyata bayi sangat merepotkan dan menuntut perhatian. “Kami tidak bisa berduaan lagi,” katanya sedih, setelah kemarahannya reda. “Saya sungguh mencintai bayi kami, tetapi ketenangan dan kebebasan yang dulu kami miliki menjadi hilang. Kami tidak bisa pergi kapan pun kami mau atau bahkan menjalani hidup berdasarkan agenda kami sendiri. Kami seolah-olah tidak menjalani kehidupan kami sendiri.”
Wanita ini, yang ingin supaya kami melupakan tentang topik pengakhiran dan masuk ke permulaan, dikonfrontasi dengan dampak beberapa fase pengakhiran dalam hidupnya. Masalah yang tidak bisa kami atasi bersama terbukti tidak terlalu penting ketimbang yang pertama ia akui, karena apa pun yang terjadi pada mereka, situasi yang membayangi itu tetap ada. “Saya tidak mengira akan seperti ini,” katanya, “sekarang, sepertinya saya telah melewati ambang batas dan tidak ada jalan untuk kembali. Kehidupan lama saya sudah hilang. Mengapa tidak ada orang yang mengatakan hal ini? Mereka memberi ucapan selamat atas kehidupan baru, tetapi saya harus meratapi kehidupan lama sendirian.”
Sebenarnya, tidak demikian. Karena setelah ia menyampaikan unek-uneknya, sekitar enam orang pun ikut mengungkapkan pengalaman mereka dengan versinya masing-masing, Lalu, mengapa sulit sekali mengutarakannya? Bagi sebagian orang, menceritakan hal sedih atau marah, tidak terlihat “menyenangkan’ melainkan memalukan. Sebagian lainnya merasa bingung dan malu karena tidak mampu mengatur pengalaman hidup sehari-hari dengan lancar—dalam bayangan mereka, orang lain bisa melakukannya dengan mudah. Untuk semua alasan ini, mereka kesulitan membicarakan dampak tak terduga dari suatu pengakhiran dalam kehidupan mereka. Dan sikap tidak mengakui akhir itu mengganggu kemampuan mereka untuk maju menuju permulaan yang baru.
Kita sampai pada peraturan nomor dua: setiap transisi berawal dari pengakhiran. Kita harus melepas kebiasaan lama sebelum mengambil yang baru. Tidak hanya lahiriah, tetapi juga batiniah, tempat kita menyimpan keterkaitan-keterkaitan kita dengan orang dan tempat, yang mendefinisikan siapa kita. Begitulah, kita hidup di kota baru, tetapi kepala kita penuh dengan kenangan lama: lokasi restoran Cina di tempat lama (dan jam bukanya di malam hari), nomor telepon kawan lama, toko sepatu mana yang menjual stok untuk ukuran anak-anak, dan kapan dokter cuti. Tidak heran, rite of passage favorit, di mana kelompok ini memfasilitasi transisi seseorang dari suatu fase kehidupan ke fase berikutnya, tidak jarang disertai ritual untuk membersihkan pikiran dari kenangan dan informasi lama.
“Kita basanya gagal menemukan apa yang kita butuhkan untuk pengakhiran, hingga kita membuat sebagian besar perubahan eksternal untuk memenuhi apa yang dibutuhkan.”
Demikianlah, di rumah baru atau dalam pekerjaan baru atau relasi baru, kita terbangun dan melihat bahwa kita belum melepas ikatan-ikatan lama. Atau yang lebih buruk lagi, kita tidak melihat fakta itu, sekalipun masih bergerak ke ritme kehidupan yang lama. Kita seperti tiram yang terus-terusan membuka dan menutup cangkang mengikuti jadwal arus di perairan lamanya, setelah ia dipindahkan ke dalam tangki laboratorium atau dapur restoran.
Mengapa melepaskan begitu sulit? Ini pertanyaan yang membingungkan, terutama jika kita sedang berhadapan dengan perubahan. Sangat menakutkan saat kita menyadari bahwa sebagian diri kita masih tersangkut ke masa lalu. Kita lalu berpikir, apakah perubahan itu ide yang buruk? Mungkinkah kehidupan yang lama (terlepas dari semua yang kita ketahui) adalah yang terbaik untuk kita dan yang baru adalah sebuah kekeliruan?
Pertanyaan ini sering muncul ketika seseorang berada dalam situasi yang tidak membahagiakan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang akhirnya memutus tali yang mengikatnya, dalam rutinitas membersihkan rumah dan antar-jemput anak dengan mengambil pekerjaan paruh-waktu, atau karyawan kantor yang bosan dan mendapat kesempatan untuk bergabung dengan perusahaan yang baru dibentuk—orang-orang ini tidak menduga akan merasakan bahwa peran lamanya sulit ditanggalkan. Dan orang-orang yang jauh dari orang tua atau saudara kandung selama bertahun-tahun tidak akan menyangka akan sangat terguncang dengan kematian mereka. Bagaimana kita bisa merasakan kehilangan ketika menikah setelah lama kesepian, atau menerima warisan setelah berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup, atau meraih ketenaran setelah lama berkarier untuk mencapainya?
Seorang komedian radio, Bob Burns (Arkansas Traveler) sering menceritakan kisah menyantap ransum tentara untuk pertama kalinya setelah delapan belas tahun ibunya biasa menghidangkan gorengan yang kaya-lemak. Seminggu penuh menyantap makanan hambar ala tentara, ternyata cukup untuk mengobati penyakit yang tanpa disadari diidapnya, maag. Akan tetapi, alih-alih merasa lega dengan perkembangan ini, Burns berlari ke apotek, sambil menekan perut, ia berteriak, “Dokter, dokter! Tolong! Aku seperti mau mati!”
Kita merasa kehilangan tak terduga, yang jarang kita sadari, karena kita akhirnya mengidentifikasi diri dengan kondisi kehidupan kita. Siapa diri kita ditentukan oleh peran dan relasi kita, juga hal-hal yang kita sukai dan yang tidak kita sukai. Akan tetapi, ikatan-ikatan itu sebenarnya lebih dalam lagi. Keseluruhan diri kita—gaya personal yang menjadikan kita mengenali “kamu” sebagai kamu dan “aku” sebagai aku—terbentuk di dalam dan dikembangkan agar sesuai dengan pola kehidupan tertentu. Keluhan-keluhan yang kita ungkapkan juga bagian dari gaya itu.
Mendengarkan Marge mengadukan Jack yang tidak perhatian, atau mendengarkan Jack mengungkapkan betapa ia tidak pernah diberi kesempatan untuk menunjukkan karyanya di tempat kerja, kita akan berpikir kalau mereka akan melompat kegirangan jika ada kesempatan untuk perubahan. Namun, Jack kemudian membawa pulang bunga, dan Marge berkata, “Ada apa? Aku tahu, pasti ada yang tidak beres!” Benar saja, Jack mendapat tugas penting dan akhirnya memiliki kesempatan untuk memperoleh perhatian yang ia dambakan, walaupun ia menemukan beberapa hal yang keliru dalam perjanjian itu.
Jack mungkin berkata kepada Marge (atau bos kepada Jack), “Betul, ‘kan? Kau tidak benar-benar ingin berubah. Kau suka mengeluh, tetapi ketika mendapat kesempatan, kau mengacaukannya atau ketakutan.” Itu separuh betul—tetapi hanya separuh. Hasrat menginginkan memang wajar, begitu pun hasrat untuk berubah. Situasi transisional membawa
paradoks ini ke permukaan dan memaksa kita untuk melihat sisi negatif dan positif dari situasi kehidupan itu.
Ada berbagai cara untuk memfasilitasi transisi. Itu semua diawali dengan kesadaran untuk melepaskan masa lalu, merupakan pengalaman yang sulit dan menakutkan. Ketika proses melihat transisi dengan pandangan baru, atau dengan beragam pemahaman tentang fase transisi. Juga proses pengembangan keterampilan baru untuk menegosiasikan bagian berbahaya dj sepanjang “wilayah antah berantah” yang memisahkan situasi kehidupan yang lama dengan yang baru. Namun sebelum itu bisa dilakukan, Anda perlu memahami cara diri Anda dalam menghadapi akhir.
Salah satunya dengan merenungkan fase-fase akhir dalam hidup Anda. Tengoklah masa kecil Anda dan kenanglah pengalaman-pengalaman pertama yang menyangkut akhir, yang bisa Anda ingat. Sebagian mungkin terasa besar dan berat—kematian keluarga, misalnya; yang lainnya mungkin penting bagi Anda, tetapi tidak bagi yang lain—perpisahan dengan orang tua yang akan melakukan perjalanan, kematian hewan peliharaan, atau kepindahan teman. Berjalanlah terus dalam sejarah kehidupan Anda, dan catatlah pengakhiran (ending) yang bisa Anda ingat.
Sebagian bersifat fisik; lainnya melibatkan relasi di dalam dan luar keluarga. Sebagian berhubungan dengan tempat, kelompok sosial, hobi, minat, atau olahraga; lainnya mencakup tanggung jawab, pelatihan, ataw pekerjaan. Sebagian pengakhiran mungkin sulit digambarkan. Tanda-tanda yang tampak juga tidak banyak, tetapi menyisakan luka yang abadi. Contohnya adalah berakhirnya kepercayaan, atau berakhirnya ketidakbertanggungjawaban, atau berakhirnya keyakinan terhadap agama. Berapa banyak pengakhiran semacam ini yang bisa Anda gali dari ingatan Anda?