Lail dan Maryam telah melupakan kejadian saat badai hujan itu sekembali ke panti sosial. Bagi mereka, kejadian itu tidak terlalu spesial. Mereka hanya mengerjakan tugas sebagai relawan, dan yang lebih penting lagi, mereka melakukanya dengan riang, bersama teman terbaik. Apalagi setiba di kota, ada kejadian yang jauh lebih menarik yang menyita perhatian seluruh penduduk. Malam itu Lail dan Maryam kembali sibuk belajar. Ujian akhir kelas dua belas dan seleksi sekolah keperawatan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu di kamar, buku-buku berserakan. Sementara penghuni lain asyik berkumpul di ruang bersama. Itu persis tiga bulan setelah peluncuran delapan pesawat ulang-alik oleh negara-negara subtropis.
Lail dan Maryam sedang latihan soal aljabar lanjutan ketika terdengar suara ramai di luar.
Tetangga kamar mereka berseru-seru, juga keramaian dari ruang bersama. Penghuni asrama berlarian keluar. Suara kaki mereka terdengar di sepanjang lorong.
Lail dan Maryam saling tatap. Ada apa di luar? Mereka menoleh ke arah jendela.
Maryam berdiri, membuka jendela kamar.
Salju turun.
Itulah yang menjadi muasal keramaian. Satu kristalnya melintasi jendela terbuka, masuk ke dalam kamar, hinggap di atasmeja. Lail menelan ludah, meraihnya. Itu sungguhan kristal salju Menyusul kristal-kristal lainnya, mengambang indah di atas kepala,
Bagaimana mungkin salju turun di kota mereka? Lail dan Maryam saling tatap, tidak mengerti.
Breaking news!
Salju itu tidak hanya turun di kota mereka, tapi hampir di seluruh kota negara tropis. Malam itu keributan melanda dunia. Terutama bagi penentang intervensi lapisan stratosfer. Kecemasan atas pengiriman delapan pesawat ulang-alik itu terbukti sudah.
Intervensi itu memang berhasil di negara-negara subtropis. Tiga bulan setelah anti gas sulfur dioksida dilepaskan, suhu udara di sana meningkat drastis. Udara kembali hangat, matahari muncul, salju mencair, dan musim dingin berkepanjangan berakhir. Tapi di belahan bumi tropis, intervensi itu membuat cuaca menjadi tidak terkendali. Di kota tempat tinggal Lail dan di Ibu Kota, suhu rata-rata masih bertahan di angka lima hingga sepuluh derajat Celsius. Tapi di tempat-tempat lain, suhu turun drastis hingga minus empat derajat. Salju tebal turun.
Besok pagi saat Lail dan Maryam berangkat sekolah, kota telah dilapisi salju tipis satu sentimeter. Awalnya terlihat indah. Tidak terbayangkan salju turun 3 kota yang tidak jauh dari garis ekuator. Tetapi, kemudian penduduk mulai menyadari ada masalah serius yang siap mereka hadapi. Penduduk menatap jalanan, pagar, taman rumput, atap rumah, semua telah putih diselimuti salju.
Dua hari menyusul salju turun, para pemimpin dunia bergegas kembali duduk bersama. KTT Perubahan Iklim Dunia dilanjutkan. Sayangnya kali ini tanpa kehadiran negara-negara subtropis karena mereka telah menarik diri dari pertemuan apa pun.
“Bagaimana kalau kota ini juga mengalami musim dingin ekstrem?” Penduduk membahas soal itu di bus kota, trem, halte, di mana pun. Semua orang terlihat cemas.
“Menurutku salju-salju ini terlihat lucu. Aku tidak keberatan. Jangan cemas, kita tidak akan mengalami musim dingin itu,” yang lain menimpali.
Lail dan Maryam diam menyimak percakapan di atas bus kota rute 12, menuju sekolah mereka.
Lail menghela napas. Dia teringat percakapannya dengan Esok. Apa kabar Esok di Ibu Kota sekarang? Apakah di sana juga turun salju? Apakah sebaiknya dia menelepon Esok? Hampir setahun dia tidak bertemu Esok. Beberapa bulan lagi libur panjang. Apakah Esok akan pulang liburan?
Salju tidak turun setiap hari, masih satu kali setiap dua minggu. Tipis, ketebalan satu sentimeter. Tapi hanya soal waktu akhirnya menjadi tebal dengan frekuensi lebih rapat.
Lail dan Maryam tidak sempat mencemaskan salju yang turun di kota. Mereka tidak sempat menonton berita di televisi yang setiap hari dipenuhi diskusi tentang perubahan iklim dunia. Lail juga tidak sempat memikirkan banyak hal tentang Esok. Ujian akhir kelas dua belas dan seleksi sekolah keperawatan telah menanti. Mereka fokus belajar siang-malam menyiapkan diri.
Dua ujian itu berhasil dilewati dengan baik oleh Lail dan Maryam.
Pengumuman kelulusan kelas dua belas mereka terima di sekolah. Papan pengumuman digital menuliskan ratusan nama yang lulus, ada nama Lail dan Maryam di urutan keenam dan kerujuh. Mereka tertawa lebar, sementara teman-teman yang lain ramai bersorak, saling memberikan selamat.
Sorenya, dengan masih diliputi sukacita lulus dari sekolah, Lail dan Maryam tiba-tiba dipanggil ke ruang kantor Ibu Suri. Seperti biasa, eskpresi dingin pengawas panti membuat dada mereka berdetak lebih kencang. Apakah mereka telah melakukan kesalahan?
“Kalian berdua terpaksa dikeluarkan dari panti sosial,” Ibu Suri berkata dingin.
Wajah Lail pucat. Dikeluarkan? Bahkan Maryam yang selalu cuek dengan kabar buruk ikut pucat.
“Apa salah kami, Bu?” Maryam tidak terima, bertanya dengan intonasi sesopan mungkin daripada membuat masalah baru. Mereka lulus dari sekolah dengan nilai sangat baik, apakah itu sebuah kesalahan? Kenapa mereka mendadak dikeluarkan? Hukuman paling berat bagi pelanggar peraturan.
Ibu Suri memandang Lail dan Maryam bergantian dengan tatapan tajam.
Lail bahkan hampir menangis. Bagaimana jika dia sungguhan dikeluarkan? Akan tinggal di mana? Mereka tidak punya keluarga di kota ini.
“Kalian dikeluarkan karena kalian diterima di sekolah keperawatan. Kalian harus tinggal di sana, asrama sekolah keperawatan. Jadi, dengan terpaksa, aku harus mengeluarkan kalian.
Lail dan Maryam belum mengerti. “Lima belas menit lalu, aku baru saja menerima pemberirahuan dari sekolah keperawatan. Aduh, lucu sekali melihat wajah kalian.” Ibu Suri tertawa.
Wajah pucat Lail berangsur memerah. Maryam menepuk dahi, berseru. Dia sudah menduga Ibu Suri sengaja mengerjai mereka.
Ibu Suri terkekeh, membuat tubuh besarnya berguncang-guncang.
Berita mereka berdua diterima sekolah keperawatan menyebar ke seluruh panti. Kamar Lail dan Maryam sepanjang sisa malam tidak habis dikunjungi penghuni panti sosial. Mereka berdatangan mengucapkan selamat.
“Kapan kalian pindah?” salah satu penghuni panti bertanya, anak perempuan berusia dua belas tahun, yang tinggal di lantai enam.
“Setelah liburan panjang. Kenapa kamu bertanya? Jangan-Jangan kamu merasa kehilangan, ya?” Maryam nyengir lebar.
“Tidak juga sih. Aku bertanya hanya untuk memastikan kapan bisa menempati kamar kosong kalian. Bosan di lantai enam, Aku harus naik-turun tangga tinggi sekali setiap hari.”
Lail tertawa melihat Maryam yang kesal—melotot mengusir anak itu segera pergi.
Dengan dua kabar baik itu, praktis sudah tidak ada lagi yang perlu dicemaskan Lail dan Maryam, kecuali masa liburan panjang itu sendiri. Mereka akan melewati libur panjang selama sebulan. Mereka punya banyak waktu kosong sebelum pindah ke asrama baru.
Maryam beberapa kali bertanya kepada Organisasi Relawan, apakah mereka punya penugasan baru untuk mengisi waktu liburan. Petugas di markas menggeleng, hujan salju turun di mana-mana, tidak ada jenis penugasan yang cocok. Mereka membutuhkan relawan yang telah lulus pelatihan spesialis.
Sementara itu Lail sibuk memikirkan apakah Esok akan pulang libur panjang kali ini. Apakah mereka bisa bertemu setelah setahun lebih? Bagaimana dia akan menghabiskan libur panjang tanpa bertemu dengan Esok? Lail hendak berkunjung ke rumah Wali Kota, mungkin istri Wali Kota atau Claudia tahu apakah Esok akan pulang atau tidak. Tapi setelah dipikirkan berkali-kali, itu bukan ide yang baik. Keluarga angkat Esok mungkin bertanya-tanya kenapa dia ingin tahu. Lail juga tetap tidak berani mengambil inisiatif menghubungi Esok.
Setelah memikirkan beberapa alternatif, sepertinya dia punya cara terbaik mencari tahu apakah Esok akan pulang atau tidak liburan panjang kali ini. Toko kue.
Siang iu, sepulang dan markas Organisasi Relawan, sekali lagiMaryam datang ke sana untuk bertanya apakah ada penugasan untuk mereka, dan dijawab belum ada. Setelahnya, Lail mengajak Maryam yang masih bersungut-sungut ke toko kue ibu Esok. “Apa susahnya mereka memberikan penugasan kepada kita?
Relawan lain yang baru lulus pelatihan dasar juga sudah ditugaskan,” Maryam mendengus.
“Mereka punya perhitungan sendiri, Maryam. Karena kita tidak tahu apa alasannya, bukan berarti keputusan mereka keliru. “Aku tidak mau menghabiskan waktu sebulan liburan hanya duduk diam di panti sosial. Aku butuh udara segar setelah belajar habis-habisan. Dan omong-omong, kita akan ke mana, Lail?”
“Kamu akan senang mengujunginya, Maryam. Refreshing seperti yang kamu bicarakan.’
“Tapi kita ke mana dulu?”
“Mengunjungi kenalanku saat di tenda pengungsian dulu. Nanti juga kamu akan tahu.”
Mereka naik bus kota rute 12, turun di halte ujung jalan pusat kuliner kota, berjalan kaki.
Wajah Maryam masih terlihat masam. Dia masih mengomel sepanjang jalan, kecewa, karena petugas markas sudah enam kali menolak permintaan penugasan. Mereka bukan anak kecil. Usia mereka sudah delapan belas tahun. Hanya karena belum memiliki spesialisasi, bukan berarti mereka relawan amatiran.
“Tersenyumlah, Maryam. Atau rambut kribomu tambah mengembang,” Lail menggoda.
Maryam mengembuskan napas, menatap toko-toko makanan di sepanjang jalan. Sore hari pukul empat cahaya matahari senja menyiram jalanan, terlihat indah. Tambahkan aroma makanan yang menyergap hidung. Maryam mulai tersenyum tipis.
“Aku tidak tahu bahwa kota kita punya pusat jajanan sebagus ini!
“Itu karena kamu terlalu banyak bicara di bus kota, tidak memperhatikan jalan.” Lail tertawa.
Maryam mengangkat bahu, Dia memang lebih suka mengobrol.
Mereka tiba di depan toko kue.
“Kue?” Kening Maryam terlipat. “Kamu mengajakku ke toko kue?”
“Ini bukan toko kue biasa, Maryam. Ayo masuk.”
“Apanya yang bukan? Ini toko kue. Aku bosan menghias kue. Aku sudah putus hubungan dengan kue.”
Lail tertawa. “Siapa yang menyuruhmu menghias kue? Kita mengunjungi kenalan lama. Kamu akan senang berkenalan dengannya. Seseorang yang sangat mencintai kue sepanjang usianya.
Maryam mengalah, melangkah masuk. Suara lonceng di daun pintu terdengar lembut.
Kesan pertama selalu penting, dan Maryam terdiam melihat rak dipenuhi kue. Toko kecil itu selalu menawan hati pengunjung dengan jenis kue yang jarang ada. Aroma kue yang khas memenuhi langit-langit. Dinding-dinding toko dihiasi lukisan terlihat serasi.
Ibu Esok keluar dari balik meja kasir. Kursi rodanya bergerak tanpa suara.
’Lail?”
“Selamat sore, Bu,’ Lail tersenyum, menyapa.
“Aduh, Ibu sampai kaget.” Ibu Esok tersenyum lebar. “Apa kabarmu, Nak?”
“Baik, Bu. Oh, aku membawa teman. Maryam, teman sekamarku di panti sosial.”
Sore itu Lail dan Maryam menghabiskan waktu membuat kue bersama ibu Esok. Meski awalnya Maryam terlihat enggan, tapi menyaksikan ibu Esok yang telaten, penuh kasih sayang, menyiapkan bahan-bahan dari atas kursi rodanya, membuat adonan, terlihat sekali amat mencintai kue, tanpa menyadarinya, Maryam mulai ikut membantu. Sambil bercakap-cakap, mereka tertawa mendengar gurauan ibu Esok.
Tidak terasa satu jam lebih mereka menyelesaikan kue itu. Terpotong beberapa kali karena suara lonceng pintu terdengar, ada pengunjung yang hendak membeli kue. Maryam menyeka dahi yang keringatan. Dia asyik sekali menyelesaikan menghias kue besar itu.
“Bagaimana? Kamu suka?” Lail menyikut lengan Maryam saat ibu Esok di luar.
“Jangan ganggu aku. Aku sedang konsentrasi.” Maryam membungkuk, sedang menyelesaikan bagian atas kue, finishing, membangun kastel, lengkap dengan naga-naganya.
Kue pesanan untuk acara ulang tahun itu selesai. Maryam mencuci tangannya di wastafel, meninggalkan Lail dan ibu Esok berdua.
“Apa kabar Esok di Ibu Kota, Bu?” tanya Lail. Sejak tadi dia menunggu momen terbaik untuk bertanya.
“Baik. Esok sehat”
“Apakah Esok akan pulang liburan ini?”
Ibu Esok menggeleng. “Esok sibuk sekali di kampusnya, Lail. Entahlah apa yang sedang dia kerjakan di sana. Beberapa hari lalu dia menelepon Ibu, bilang dia tidak bisa pulang”
Wajah Lail langsung menunduk, kehilangan separuh kesenangan saat membuat kue.
‘Kamu jangan sedih, Nak.” Ibu Esok menyentuh lengan Lail tersenyum. Lail menggeleng, berusaha balas tersenyum.
Saat Maryam kembali dari wastafel, Lail bergegas mengalihkan topik percakapan.
Mereka pulang saat ibu Esok bersiap menutup toko.
“Sering-sering main ke toko, Lail, Maryam.” Ibu Esok mengantar mereka hingga pintu depan.
Lail dan Maryam mengangguk, mulai berjalan kaki menuju halte di ujung jalan. Mereka naik bus kota rute 12, kembali ke panti sosial. Cahaya matahari senja menyiram kota, menimpa gumpalan salju.
Wajah Lail terlihat lesu sepanjang perjalanan.
“Aku tahu siapa ibu itu, Lail,” Maryam berbisik. Bus kota penuh oleh penduduk kota yang pulang dari kantor, kembali ke rumah.
Lail menoleh.
“Dia bukan sekadar kenalan biasa di tenda pengungsian, bukan?”
“Apa maksudmu?” Lail pura-pura tidak mengerti.
“Dia ibu dari anak laki-laki yang menaiki sepeda merah. Anak laki-laki yang membuatmu kehujanan, anak laki-laki yang mebuatmu meninggalkanku, di acara pelantikan relawan, dan yang membuatmu sering melamun. Iya, kan?”
Maryam menyeringai, mengedipkan mata, menggoda Lail.
Lail hendak membantah.
“Aku berani bertaruh tebakanku benar,” Maryam berkata lebih dulu demi melihat wajah yang bersemu merah.
Bus kota rute 12 terus melaju melintasi jalanan kota. Maryam cengar-cengir melihat wajah Lail yang merah padam.