SESULIT AIR DI GURUN
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (Al-Quran, Surat Muhammad ayat 7)
Zuraida Zainuddin tersungkur dalam tangisnya, ayah yang senantiasa memeluknya dengan hangat kini terbujur kaku, dingin, tak bergerak. Diguncang sekuat apa pun, tak ada tanggapan. Zuraida memekik, “Ayah kenapa, ayah kenapa, Nek? Kenapa ayah, Tek? Ayah jangan mati. Ayah!”
Tangis anak berusia 10 tahun dalam musibah kematian adalah sembilu yang mengiris kantong air mata. la duduk malepok, dalam simpuh yang tak sempurna di depan jenazah ayahnya, Zainuddin Labay El Yunisy. Adik Zuraida, Tanius Mathran Hibatullah Zainuddin, baru berusia 7 tahun, belum mengerti, tapi demi melihat uninya menangis, ia ikut menangis pula. Dua anak kecil di depan jenazah ayahnya sendiri, menangis, lantas apa yang hendak dikatakan padanya?
Pelayat yang menyemut diam. Mereka berbincang seperti berbisik, membicarakan bagaimana nasib dua anak itu kelak. Mereka tak percaya, tokoh hebat di kota mereka meninggal dunia ketika usianya sedang menanyak. Padang Panjang lindap seketika, sebab yang meninggal Syekh pendiri Diniyyah School, kakak Rahmah El Yunusiyyah. Almarhum masih muda belia: 34 tahun. Mumbang jatuh, kepala jatuh (pepatah Melayu, yang artinya yang kecil mati, yang tua mati),
Zuraida, anak kecil yang baru tahu akan kematian itu, justru menemukan peristiwa pertama pada ayah kandungnya, la dipeluk ibunya Sawiyah, lalu dipeluk eteknya, dipeluk nenek, tapi tetap saja ia terisak-isak. Kian dibujuk, ia kian terisak, hal serupa juga terjadi pada adiknya. Lambat-laun kedua bocah itu lelah, akhirnya tertidur. Keduanya dipangku oleh dua orang pria sampai ke makam.
Di antara pelayan tampak Haji Karim Amrullah dan anaknya, murid dari Zainuddin Labay di Diniyyah School, bernama Abdul Malik Karim Amrullah, juga guru-guru Madrasah Diniyyah Li al-Banat atau Diniyyah Puteri, dan murid Thawalib Padang Panjang, serta tokoh adat kota kecil itu. Tampak pula Rahmah dan kawannya, Siti Nanisah Djawana Basjir. Kematian sang kakak bagi Rahmah bukan sekadar duka keluarga, tapi tali gantungan cita-citanya yang telah putus. Zainuddin baginya bukan pula sekadar kakak tapi juga guru. Sosok sang ayah ada pada Zainuddin.
Sosok itulah yang pergi begitu cepat. Rahmah tak bisa berpikir, sebab selama ini Zainuddinlah yang selalu membantunya. la terpukul karena empat sebab. Pertama, ia sayang sekali pada kakaknya, kedua, almarhum sebagai ganti ayah, tempat mengadu, dan ketiga, karena uminya juga terpukul. Keempat, karena Rahmah belum kokoh benar ‘berjalan’ menjunjung beban seberat Diniyyah Puteri ini. Rahmah masih sangat mengharapkan bantuan kakaknya.
Zainuddin bagai lebah yang lincah, terbang dengan tariannya. Tarian maut lebah, bermil-mil mengepakkan sayap kecilnya, hanya untuk mencari ladang bunga. Lebah pekerja ini, kembali pulang melalui jalur yang sama. la akan memberi tahu kawan-kawannya, nun di sana ada ilmu, ada bunga yang mesti diambil. la menari di depan sarangnya, itulah tarian lebah yang dahsyat itu. Zainuddin yang bagai lebah itu, ia pulang membawa jalan untuk siapa saja agar bisa mendapatkan saripati bunga ilmu pengetahuan.
Dia pula yang mati muda. Pada usia yang baru bertunas. Dahan-dahannya sedang kuat tempat adik-adiknya bergantung. Dahan tempat anak dan istrinya berpegang. la tempat bermain bagi anaknya. Batangnya untuk bersandar. Semua terhenyak, tak tentu yang akan disebut.
Murid-muridnya kehilangan guru yang kalau di jalan bagai harimau demam itu, namun jika dalam kelas, aduhai. la menggenggam keempat sudut kelas. la berjalan-jalan dengan langkah kecil. Tiap katanya ada tekanan, tiap tekanan ada gerakan tubuh, tiap gerakan tubuh itu, ia bergegas ke depan menuliskannya. la hapal nama-nama muridnya, ia menyapa seperti mamak menyapa ponakannya. Kelas Zainuddin adalah kelas yang sempurna, kelas yang membuat peserta didik tak disuruh pun segera mencatat.
Bagi Rahmah sang kakak lebin dari semua itu. Ia teringat kini tatkala tanah kuburan kakak masih merah, rumput belum tumbuh di sana, ia berjanji agar membuat almarhum bangga. Belum lama berselang, menjelang pergantian tahun, la sudah bertekad, madrasah inii ‘oleh kaum putri untuk kaum putri.’ Kapal telah berlayar, pantang surut ke belekang. Melihat gelagat sekolah ini, maka seorang tokoh datang mengulurkan bantuan, apalagi melihat Rahmah jungkir-balik, namun justru bantuan itu ia tolak. Ia yakin pada dirinya, pada kemampuan, dan pada jalan yang diberikan Tuhan.
“Usul ini amat dihargai oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalang ini sampai tanah tepi, dan manakala kelak tenaga putri tak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh pengharapan akan memohon kembali usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut diserahkan pengharapan kami ini.” Inilah jawaban Rahma atas uluran tangan orang lain.
Sebenarnya Rahmah sedang bicara, “Beri kami kesempatan”, sebab jika sudah ikut donatur dari kaum — apalagi yang berpengaruh—apalagi dalam jumlah banyak dan kemudian dibawa ke organisasi, maka ketika itu, selesai sudah cita-cita Rahmah untuk menolong kaumnya, membantuan yang datang tidak bermaksud untuk meruntuhkan cita-cita itu. Rahmah ingin berusaha sekaligus membuktikan bahwa perempuan Minang bisa!
Semua itu tergiang lagi. Mendengung di telinganya, justru saat kakaknya dipanggil Tuhan. Kini, ya kini, apa yang terjadi, saat Zainuddin telah tiada? Apakah itu akan mematahkan semangatnya?
“Jangan, Rahmah, kita harus bisa,” kata kawan-kawannya sesama pengurus, guru dan kawan sama sekolah, ketika Rahmah bertanya pendapat mereka, beberapa hari setelah kakaknya tiada.
“Karena sokongan kalian semua, walau sesulit air di gurun, aku akan terus berusaha,” jawab Rahmah.
Dan, ia memang akan segera melintasi gurun gersang. Kini ia harus benar-benar mengandalkan diri seutuhnya. Murid-murid sudah diasramakan, agar mereka nyaman belajar, menjauh dari intai-intaian mata pria yang sudah berbini. Di asrama segala kebutuhan dijamin oleh Rahmah, dari uang sekolah yang tak cukup, ditambah dengan uang pribadinya. la menyewa sebuah bangunan berlantai dua untuk keperluan itu.
Lembaga pendidikan klasikal dengan sistem penjenjangan begini, uang sekolahnya terukur, itu antara lain yang membedakan dengan sistem kholaqgoh. Rahmah sudah tahu, uang tak cukup, maka tak lama setelah kepergian kakaknya ia ‘bergerilya’ ke berbagai daerah di Sumatera Barat, juga daerah tetangga. la pergi dengan beberapa orang ke Aceh, Sumatera Timur, Siak di Riau dan Jambi. Siak adalah daerah kaya raya, sultannya baik hati.
Rahmah dilepas dengan sendu oleh ibunya, muridnya, dan oleh majelis guru. Ketika la pergi, dia hanya ‘nekat’ berjalan. Di mana ada usaha di sana ada jalan. Berhari-hari, tak pulang-pulang, bulan-bulan, terus dan terus. Ia pun berjalan menemuiorang-orang terkemuka, terutama ulama. Rahmah sedang mengejar takdir dengan ikhtiarnya.
Inilah perjalanan di gurun gersang itu, melelahkan secara fisik dan jiwa. Sebagai ustadzah ia memberikan pengajian di banyak surau dan berdiskusi dengan sejumlah ulama. Rahmah menawarkan pola pendidikan baru bagi wanita Melayu sebagai pewaris kebudayaan tinggi, sebagai ibu bagi kaum muslim masa depan. la meyakinkan orang, omong kosong menggapai kemerdekaan, omong kosong mendidik anak-anak kalau ibunya terbelakang, buta huruf dan jadi ‘komoditi’ laki-laki saja.
la bagai burung kelana, menikam angin dalam hujan, kakinya lecet karena berjalan jauh, wajahnya tirus dan hitam, tubuhnya ringkih dihimpit penat. la naik pedati, dokar, dan jika peruntungan baik, ada mobil menempuh jalan yang berlobang bagai kubangan kerbau. Matanya cekung, kurang tidur. la bermalam di mana saja, di rumah tokoh masyarakat,
di rumah ulama, di rumah petani, bahkan di kedai nasi. “Saya takkan menyerah,” katanya pada salah seorang muridnya yang ikut. Tekadnya kuat seperti pedang Jenderal Muslim Tariq bin Ziyad yang menaklukkan Spanyol pada 711Masehi itu. Setiap langkahnya menjauh dari Padang Panjang, sesering itu pula ia ingat sekolahnya. Sesering itu pula tekadnya tambah kuat. Upayanya untuk menghidupi sekolah yang ia dirikan, tak tertirukan oleh siapa pun.
Akhirnya wanita yang berjalan di jalan setapak, jalan pedati, di lebuh berpasir, dan berlubang di bukit-bukit di sebagian banjaran Bukit Barisan itu pulang dalam puncak lelah yang tak tertahankan. la sakit. Anehnya hanya beberapa hari, Rahmah sembuh sudah. Matanya kini berbinar, ia telah kembali ke rumahnya dan kembali ke Diniyyah, yang ia pelihara bagai anaknya sendiri.
Etek Amah telah pulang. Murid-muridnya menaruh rasa hormat yang tak terbeli. Mereka seperti melihat ibunya sendiri pulang ke rumah. Kerja pun dimulai. Kampus Diniyyah dibangun dengan hati, oleh tangannya sendiri, oleh tangan kawan-kawannya, murid-muridnya. Sesuatu yang dibuat dengan hati, terasa sampai ke hati dan akan menyentuh hati orang lain. Angin pun berkisar, tak lagi bertiup buruk pada Rahmah. Seluruh rakyat Padang Panjang menyebut Diniyyah sebagai “Sikolah Etek Amah”.
Sebutan itu merangkul Diniyyah ke dada mereka. Ada rasa memiliki, cinta, dan senang. Cobalah ganggu Etek Amah, ganggulah sekolahnya, ibu-ibu Padang Panjang akan menyising kodeknya, kaum bapak akan menggulung kain sarung dan mengikatkan di pinggang. Mereka akan tegak berdiri memagar sekolah kebanggaan mereka, meski tak semua orang menyekolahkan anaknya ke sana.
Diniyyah Puteri, sekolah muslimah klasikal pertama di bumi Indonesia itu, sudah punya fondasi yang kuat, namanya terdengar sampai ke negeri jiran, Tanah Semenanjung Malaysia.*
Penasaran dengan kelanjutan? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.