Penetapan, Keadilan (Ta’dil) dan Penetapan Kejahatan (Tajwir)
Apabila seseorang bertanya, “Apakah Allah berkuasg dengan kelembutan-Nya jika Dia melakukan hal ity terhadap orang-orang kafir lalu mereka akan beriman?”
Jawabannya, “Ya.” Dalil itu menunjukkan bahwa Allah berkuasa terhadap para hamba-Nya yang beriman untuk melakukan tindakan yang apabila Dia melakukannya, pasti mereka akan berubah menjadi orang-orang yang melampaui batas di bumi.
Allah swt. berfirman, “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi,” (QS. asy-Syira [42]: 27) Allah juga berfirman, “Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu,” (QS. az-Zukhrif [43]: 33), maksudnya, satu dalam kekufuran. Kemudian Dia melanjutkan, “Tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi ramah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka pijak.” (QS. az-Zukhrif [43]: 33)
Ketika Allah Mahakuasa untuk melakukan sesuatu yerhadap makhluk yang beriman dan bila hal itu benarpenar Dia lakukan, mereka semua akan kufur. Begitu pula jika Dia melakukannya terhadap makhluk yang kafir, pasti mereka akan beriman. Jika Dia kuasa untuk membuat mereka mampu beriman, berarti Dia juga kuasa membuat mereka semua akan beriman bila benar-benar Dia melakukannya terhadap mereka.
Jika orang itu bertanya, “Kalau demikian, jika Allah tidak melakukan sesuatu terhadap orang-orang kafir yang dapat membuat mereka beriman kepada-Nya, apakah itu artinya Dia telah bersikap pelit terhadap mereka?”
Jawabannya, “Pelit merupakan sikap pelaku (fa‘il) yang tidak mengerjakan apa yang wajib dia lakukan. Adapun jika yang dilakukan itu hanya berupa keutamaan (bukan kewajiban), orang yang melakukannya dianggap sebagai sosok yang utama ketika dia melakukan keutamaan itu, tetapi dia tidak wajib melakukannya. Itulah sebabnya, berkenaan dengan semua perkara yang sifatnya “keutamaan” (tafadhul) sifat pelit tidak dapat disematkan pada sosok yang dapat melakukannya, tetapi ternyata tidak dilakukannya.”
Apabila mereka bertanya, “Kalau demikian, ketika Allah tidak melakukan sesuatu terhadap orang-orang kafir yang itu dapat membuat meroka beriman kepada Nya, apakah itu berarti Dia menghendaki kedunguan dan kekufuran mereka?” Jawabannya, “Ya!” Mengenai masalah ini kami sudah menjelaskannya pada bagian sebelumnya.
MASALAH
Setelah itu, katakan pada mereka, “Jika dikatakan ketika Allah tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat orang-orang kafir beriman, itu artinya Dia menghendaki kerusakan mereka. Lantas mengapa kalian menging. kari bila Dia menciptakan mereka dan Dia tahu bahwa mereka akan kufur, berarti kekufuran mereka memang dikehendaki oleh-Nya?”
Kalau mereka berkata, “Sosok yang menginginkan kebodohan adalah sosok yang bodoh.” Sepatutnya dikatakan kepada mereka, “Bukankah Pencipta yang mengetahui makhluk ciptaan-Nya akan kufur tidak dapat dinyatakan bodoh disebabkan makhluk-Nya itu, sebagaimana halnya penciptaan makhluk-Nya (yang kufur) itu juga bukanlah sebuah kebodohan? Lantas mengapa kalian mengingkari ketika Pencipta menghendaki mereka menjadi bodoh maka Dia tidak dapat disebut bodoh?” Kami telah membahas masalah ini pada bagian sebelumnya.
MASALAH
Apabila seseorang bertanya, “Apakah Allah boleh me’ nyakiti anak-anak di akhirat?”
Jawabannya, “Allah swt. boleh melakukan itu dan jika Dia benar-benar melakukan itu, Dia tetap dengan sifat adil-Nya. Demikian halnya, semua yang Dia laxukan atas kejahatan yang diancam dengan hukuman tak berujung, tindakan hewan-hewan yang saling menaklukkan; pemberian nikmat kepada sebagian mereka tanpa sebagian yang lain; penciptaan yang Dia lakukan terhadap mereka disertai pengetahuan-Nya bahwa mereka akan kufur.
Semua itu merupakan bentuk keadilan dari-Nya dan Allah tidak dapat dinyatakan buruk ketika Dia menjatuhkan azab pada mereka untuk selama-lamanya. Sebagaimana Dia juga tak dapat dinyatakan buruk kalau ternyata Dia mengazab orang-orang beriman dan justru memasukkan orang-orang kafir ke dalam surga. Kita hanya menyatakan Dia tidak mungkin melakukan semua itu, semata-mata karena Dia sendiri telah mengabarkan kepada kita bahwa Dia akan menghukum orang-orang kafir, sementara Dia tak mungkin berdusta pada apa yang Dia kabarkan.
Dalil ini menunjukkan apa pun yang Allah lakukan itu boleh dilakukan-Nya sebab Dialah yang Maha Memiliki lagi Maha Menundukkan. Dia sama sekali bukan Dzat yang dimiliki oleh pihak lain. Sebagaimana tidak ada siapa pun di atas-Nya yang menetapkan kebolehan, perintah, atau larangan. Juga tidak ada siapa pun yang menetapkan rupa tertentu bagi-Nya serta batasan-batasan pada-Nya.
Dengan demikian, berarti tidak ada satu pun yang buruk dari-Nya. Suatu hal menjadi buruk bagi kita katena kita melanggar batasan yang telah ditetapkan-Nya, atau karena kita melakukan sesuatu yang dilarang. Ketika diketahui Allah swt. sama sekali bukan Dzat yang dimiliki siapa pun, sebagaimana Dia juga tidak berada di bawah perintah siapa pun, maka tidak ada satu pun yang buruk dari-Nya.
Jika orang itu berkata, “Kebohongan dinyatakan buruk karena Allah menyatakan buruk.” Jawabannya, “Benar seperti itu. Apabila Dia menyatakan kebohongan itu baik, kebohongan menjadi sebuah kebaikan. Bahkan, bila Dia memerintahkan untuk berbohong, perintah-Nya itu tidak boleh ditentang.”
Apabila mereka berkata, “Kalau demikian, apakah itu berarti kalian membolehkan Dia berbohong sebagaimana halnya kalian membolehkan Dia untuk memerintahkan kebohongan?” Jawabannya, “Tidak semua yang Dia perbolehkan berarti boleh pula Allah disifati dengan kesanggupan berbohong. Tidakkah Anda melihat perintah yang Allah berikan, seperti shalat, tunduk, dan bergerak, tetapi Dia tidak boleh melaksanakannya karena semua itu mustahil bagi-Nya.
Demikian pula tidak boleh bagi-Nya untuk berbohong, bukan karena itu buruk bagi-Nya, melainkan karena Dia mustahil melakukannya. Dia tidak boleh disifati dengan kesanggupan untuk berbohong, sebagaimana Dia juga tidak boleh disifati dengan kesanggupan untuk bergerak atau menjadi bodoh.
Kalau saja boleh bagi seseorang untuk meyakin) bahwa dia menyifati Allah dengan kesanggupan untuk berbohong, tetapi Dia tidak boleh disifati dengan ke sanggupan untuk menjadi bodoh. Kemudian, tidak ada pembeda antara itu, maka boleh juga bagi seseorang untuk memutarbalik pernyataan tadi, yaitu dengan megakini Allah dapat disifati dengan kesanggupan untuk menjadi bodoh. Namun, Dia tidak boleh disifati dengan kesanggupan untuk berbohong. Ketika semua itu tidak poleh, berarti pernyataan mereka batal.”
Apabila seseorang berkata, “Apabila Allah memerintahkan kita untuk shalat, shalat kita itu adalah berbagai gerakan yang kita lakukan ketika kita melaksanakannya. Sementara sosok yang bergerak (mutaharrik) disebut bergerak karena terjadinya gerakan pada dirinya. Seseorang disebut sebagai pemaki dan pembohong karena dia memaki dan berbohong, bukan karena hal-hal tersebut ada pada dirinya.”
Tanggapan atas pernyataan di atas adalah sebagai berikut.
Alasan yang membuat kita membolehkan Allah berbohong—Mahatinggi Allah dari hal seperti itu dengan ketinggian yang sebesar-besarnya—adalah ketika Dia memerintahkan kebohongan itu. Sehingga menjadi wajib bagi segala sesuatu yang Dia perintahkan untuk boleh bagi-Nya memiliki sifat dengan sesuatu itu. Ketika Dia memerintahkan kita untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu, maka kita bergerak dengan gerakan yang sudah diperintahkan. Atau memerintahkan shalat yang kemudian kita laksanakan, maka boleh bagi-Nya untuk melakukan itu pada Diri-Nya dengan melakukan gerakan-gerakan yang kemudian Dia lakukan. Atau melakukan Shalat yang kemudian Dia laksanakan shalat tersebut: terkecuali ketika mereka menyatakan apabila Allah boleh memerintahkan pihak selain Dia untuk berbohong maka mengapa Dia tidak boleh berbohong yang membua pihak selain dia menjadi pelaku kebohongan dengan itu; sebagaimana ketika memerintahkan pihak selaip Dia untuk melaksanakan shalat, maka boleh bagi-Ny untuk shalat dengan shalat yang membuat pihak selain Dia disebut sebagai pelaku shalat (mushalli).
Apabila mereka bertanya kepada kami tentang hal ini, sehingga ini menjadi sesuatu yang tak dapat diingkari. Yaitu ketika seorang pelaku shalat (mushalli) melaksanakan shalat dengan terjadinya shalat pada dirinya, sebagaimana halnya pelaku gerak (mutaharrik) disebut sebagai pelaku gerak karena terjadinya gerak pada dirinya; adalah wajib ketika setiap bagian dari seorang manusia jika terjadi shalat pada dirinya, untuk disebut sebagai pelaku shalat.
Sebagaimana bila pada setiap bagian darinya bergerak, maka dia disebut sebagai pelaku gerak (mutaharrik)
Selanjutnya, tanyakan pada mereka, “Apabila Allab swt. boleh shalat bagi pihak selain Dia, lalu Dia men jadi pelaku shalat dengan shalat yang Dia lakukan itu, lantas mengapa Dia tidak melakukan kehendak tertentu bagi pihak selain Dia yang dengan itu Dia menjadi pelaku kehendak (murid), atau melakukan pembicaraap tertentu yang dengan itu Dia menjadi pelaku bicara (mutakallim)?”
Apabila mereka menjawab, “Pihak yang berbicara dan berkehendak menjadi demikian karena dia bicara dan melakukan kehendak”; maka katakan pada mereka, “Mengapa kalian mengingkari seseorang sebagai ‘pelaku shalat’ karena dia shalat pada dirinya, sebagaimana seseorang yang disebut sebagai pelaku gerak karena dia melakukan gerak pada dirinya?”
Jika orang itu berkata, “Terkadang ada seseorang di antara kita yang bergerak tanpa dia melakukan nya.” Maka selayaknya katakan kepadanya, “Dan kadangkadang ada juga seseorang di antara kita yang berkehendak dan berbicara tanpa dia melakukan kehendak dan berbicara, seperti seorang pencinta yang tengah mencintai kekasihnya dengan cinta yang teramat sangat; atau seperti orang yang berbicara ketika sedang tidur; atau orang yang berbicara saat sedang pingsan dengan pembicaraan yang dia sendiri tak mampu mengelakkannya.”
Apabila orang itu berkata, “Cinta seorang pencinta bukanlah cinta yang sebenarnya, sebagaimana kehendaknya juga bukanlah kehendak yang sebenarnya.” Katakan pada mereka,’ “Demikian pula halnya bicaranya orang yang sedang jatuh pingsan atau orang yang sedang tidur bukanlah pembicaraan yang sebenarnya. Sebagaimana bicaranya orang yang sedang terjaga pun bukan pembicaraan yang sebenarnya dan kehendak seorang pencinta bukanlah kehendak yang sebenarnya. Ini semua adalah Sesuatu yang seluruh orang mampu melakukannya.”
Setelah itu, katakan pada mereka, “Apabila seseorang disebut sebagai pelaku shalat (mushalli) kareng terjadinya shalat pada dirinya, berarti menurut kalian seseorang tidak disebut sebagai pelaku ketundukan (khadhi’) disebabkan terjadinya ketundukan pada diri orang itu. Karena ketundukan hanya terjadi di dalam hati, sedangkan seseorang hanya disebut pelaku ketundukan jika dia tunduk dengan segenap lahir-batinnya.”
Jika kemudian mereka mengeklaim bahwa hati yang menjadi pelaku ketundukan dan pelaku kekhusyukan, kami nyatakan mereka harus menerima ketika disebutkan bahwa lisan itulah sebenarnya yang disebut pelaku bicara (mutakallim), seperti halnya sebenarnya yang menjadi pelaku kehendak (murid) adalah hati.
Apabila mereka menyatakan bukanlah pelaku ketundukan (khadhi’) dengan terjadinya ketundukan pada dirinya seseorang, hendaklah dikatakan kepada mereka, “Jika Allah memerintahkan kita untuk tunduk, berarti menurut kias yang kalian lakukan adalah wajib bagi-Nya untuk tunduk juga.”
Apabila mereka menyahut, “Tidak, karena Dia memberlakukan ketundukan terhadap pihak selain Dia.” sepatutnya dikatakan kepada mereka, “Seperti itu pula halnya ketika Dia memerintahkan kita untuk berbohong, maka boleh bagi-Nya untuk memberlakukan kebohongan untuk pihak selain Dia.”
Apabila mereka menyatakan, “Pembohong berdusta (kadzib) karena dia berbohong,” Katakan pada mereka hal yang serupa dengan itu berkaitan dengan pelaku ketundukan (khadhi’). Jika kemudian mereka berkata, “Pelaku ketundukan (khadhi’) tidak menjadi demikian karena terjadinya ketundukan pada dirinya, bukan pula karena dia melakukannya (ketundukan),” katakan pada mereka yang serupa itu berkenaan dengan pelaku kebohongan.” Setelah itu, katakan pada mereka, “Apabila Allah memerintahkan kita untuk bergerak, bukankah boleh Dia menjadikan kita semua sebagai pelaku gerak (mutaharrik)?”
Apabila mereka menjawab, “Ya”, katakan pada mereka, “Jelaskan kepada kami, bukankah kalian meyakini bila shalat merupakan rangkaian gerakan, sementara seseorang baru dapat disebut sebagai pelaku gerak karena terjadinya gerakan pada dirinya. Berarti seseorang baru dapat disebut demikian bila shalat terjadi pada dirinya. Benarkah demikian?”
Apabila mereka menjawab, “Ya”, katakan pada mereka, “Kalau demikian, berarti adalah wajib bila seseorang patuh dengan melakukan gerakan yang Allah perintahkan kepadanya, untuk kemudian dia disebut sebagai pelaku kepatuhan (tha’i) karena kepatuhan terjadi pada dirinya. Sebagaimana halnya seseorang dapat disebut pelaku gerak karena terjadinya gerakan pada dirinya. Benarkah demikian?”
Apabila mereka menjawab pertanyaan itu dengan jawaban, “Ya,” katakan pada mereka, “Kalau demikian, berarti sebagian manusia ada yang menjadi pelaku ketaatan (tha’i) dan sebagian lagi menjadi pelaku kemaksiatan (‘ashi) jika terjadi kemaksiatan pada dirinya. Benarkah seperti itu?”
Untuk menjawab pertanyaan itu, mereka pasti akan menjawab, “Ya.” Karena itu, katakan pada mereka, “Kalau demikian, lantas mengapa kalian mengingkari sebagian manusia ada yang menjadi pelaku bicara (mutakallim), sedangkan sebenarnya pelaku bicara yang sesungguhnya adalah lisannya. Ada sebagian manusia yang menjadi berpengetahuan (‘alim) dan berkehendak (murid), sementara sebenarnya yang berpengetahuas dan berkehendak adalah hatinya.”
Apabila mereka berkata, “Ketika gerak merupakat ketaatan, maka pelaku gerak dapat disebut seperti itu disebabkan terjadinya gerakan pada dirinya. Tetapi pelaku ketaatan tidak dapat disebut pelaku ketaatan disebabkan terjadinya ketaatan pada dirinya, alih-alih menjadi pelaku ketaatan dengan berbuat taat.”
Tanggapan atas pernyataan itu, “Mengapa kalia mengingkari ketika gerakan-gerakan shalat terjadi sebagai shalat, sementara seseorang disebut pelaku gerak disebabkan terjadinya gerakan pada dirinya. Sehingga seseorang disebut sebagai pelaku shalat karena dia melaksanakannya, bukan karena shalat terjadi pada dirinya?”
Apabila mereka menjawab seperti itu, katakan pada mereka, “Apabila kita diperintahkan shalat, sedangkan Allah tidak mungkin melaksanakan shalat, berarti adalah suatu keharusan bila kita diperintahkan untuk berbohong, Dia tidak boleh berbohong. Namun, Dia boleh memberlakukan kebohongan pada kita, sebagaimana boleh juga bagi-Nya untuk memberlakukan shalat pada kita, sementara Dia tidak boleh melaksanakan shalat. Jadi, nyatakanlah yang seperti ini berkenaan dengan kebohongan.”
Selanjutnya, katakan kepada mereka, “Apabila kita diperintahkan untuk bergerak, lalu Dia menjadikan bagi kita gerakan-gerakan yang dengan gerakan-gerakan itu kita bergerak, seperti itu pula bila Dia memerintahkan kita untuk berbohong, tidak mustahil bagi-Nya untuk memberlakukan kebohongan yang dengan perintah itu kita berbohong.”
Penasaran dengan kelanjutan penjelasannya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian buku bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.