Ketika Rasulullah ditanya oleh Aisyah ra, tentang pandemi, beliau bersabda: “Ta’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman”. Pada saat wabah melanda, siapa saja yang menahan diri di rumah dengan bersabar serta mengharapkan ridha ilahi, kata Rasulullah, akan memperoleh pahala seperti orang yang mati syahid.
Mitigasi wabah atau pandemi itu tidak dimulai dari masker, vaksin, atau obat. Yang paling utama adalah perspektif yang benar tentang pandemi itu. Pandemi adalah wabah kiriman Allah dan akan berhenti saat Allah menyudahinya. Tidak mungkin terjadi ada wabah abadi hingga menghabiskan umat manusia. Dalam tiga tahun ia akan berhenti, entah karena imunitas masal, ditemukan obat, atau hilang dengan sendirinya.
Pemahaman kedua adalah tentang apa yang harus dilakukan. Bila dicermati, perintah Nabi di saat ada wabah adalah mengisolasi diri. Yang di luar area wabah tak boleh masuk, dan yang di dalam tak boleh keluar.
Rasulullah berkata kepada Abdurrrahman bin Auf ra. “Apabila kalian mendengar itu terjadi di suatu tempat, maka janganlah kalian datangi tempat itu, dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian sedang berada di situ, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjadi dasar keputusan Umar bin Khatab ketika membatalkan diri memasuki Syam ketika negeri itu tengah dilanda wabah.
Sebagaimana menghadapi bala dan penyakit lainnya, yang dikedepankan haruslah kesabaran, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah. Tak perlu parno. Hadis di atas menancapkan kesadaran rububiyah bahwa ta’un tidak akan mengenai siapa pun selain yang sudah dipilih oleh Allah sendiri. Kesadaran seperti ini penting agar orang tidak panik dan akhirnya memicu penyakit sampingan.
Thaun bukan barang baru dalam khazanah literasi Islam. Tema ini sudah pernah diangkat oleh Syamsuddin Muhammad bin Ali Ash Shalihi dalam Tuhfan an Nujaba’ bi Ahkam ath Ta’un wa al Waba’, lalu Ibnu Najim dalam Risalah fi ath Ta’un wa al Waba’, serta Al Hattab ar Raniri al Maliki dalam Umdah ar Rawin fi Ahkam ath Thawa’in.
Namun yang paling komprehensif adalah kitab yang ditulis oleh Syaikhul Islam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani (1372-1449 M) ini. Dari judul asli Badzlul Ma’un fi Fadzlith Ta’un, kitab ini disajikan dalam bahasa Indonesia oleh Turos Pustaka dengan judul “Kitab Wabah & Ta’un dalam Islam”.
Nama Ibnu Hajar tak asing lagi di telinga para santri, karena kitab karangannya, Bulughul Maram, menjadi referensi kitab hadis di semua sekolah agama Islam di nusantara ini. Ia juga penulis kitab Fathul Bari, Tahdzib at Tahdzib, dan Nukhbatul Fikr.
Imam Ibnu Hajar adalah pelaku langsung wabah black death yang melanda Mesir pada abad ke-15. Wabah penyakit pes ini merenggut nyawa jutaan orang di berbagai belahan dunia, termasuk tiga putri Imam Ibnu Hajar sendiri.
Saat itu sangat minim informasi tentang ta’un dan dunia kedokteran belum semaju sekarang. Maka banyak dari sahabat yang meminta Imam Ibnu Hajar mengumpulkan hadis-hadis tentang ta’un dan menjelaskannya kepada publik.
Karena serangan wabah yang menggila, naskah ini tidak bisa langsung jadi. Imam Ibnu Hajar menulisnya dalam dua tahap, yang pertama yaitu pada tahun 819 H/1416 M, kemudian dilanjutkan kembali hingga selesai pada tahun 833 H/1430 M.
Saat itu publik benar-benar gagap menghadapi ta’un. Reaksi masyarakat saat itu adalah berdoa bersama dengan berkumpul di suatu tanah lapang seperti halnya salat istisqa’. Hal ini berakibat fatal. Korban yang awalnya hanya 40an orang langsung naik drastis mencapai seribu orang dan terus menyebar tak terkendali.
Buku 370 halaman ini cukup komprehensif melihat wabah dari perspektif agama. Dimulai dari hal ihwal ta’un, hukum keluar atau masuk wilayah ta’un, syariat yang perlu dilakukan setelah terjadinya ta’un, dan fenomena ta’un dari masa ke masa.
Ta’un didefinisikan sebagai penyakit yang menyerang banyak orang di banyak tempat dalam satu waktu. Jenis penyakitnya tidak dikenal dan menyebabkan banyak kematian. Makna ta’un lebih sempit dari sekedar wabah pada umumnya. Kalau wabah bisa dimaknai secara umum sebagai penyakit yang menyerang banyak orang, atau endemi. Sedangkan ta’un adalah wabah dari jenis penyakit yang baru dikenal, atau pandemi.
Menurut Ibnu Hajar, dalam ta’un ada aspek serangan jin, sehingga korban tidak hanya mendapat penyakit fisik semata, tetapi juga kena serangan batin.
Namun pada saat yang sama, ta’un adalah rahmat bagi kaum mukminin, sehingga dalam kesulitan selalu ada kebahagiaan dan harapan. Terdapat hadis-hadis yang menerangkan bahwa ta’un adalah gerbang kesyahidan. Pahala syahid tidak selalu diraih dalam pertempuran, tetapi juga dari ta’un. Nabi bersabda, “Sesungguhnya kebanyakan para syuhada di kalangan umatku adalah orang-orang yang mati di atas kasur.”
“Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena ta’un, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa bangunan, dan orang yang mati di jalan Allah.” (HR. Al Bukhari)
Setelah mengidentifikasi ta’un sesuai ajaran Islam, berikutnya adalah menjalani protokol. Konsep karantina adalah berdiam diri sambil bertafakur bahwa semua ini dari Allah. Selebihnya adalah ikhtiar secara manusiawi agar wabah tersebut bisa segara hilang. Di antaranya dengan bermasker, menjaga jarak, dan menjaga diri dari hal-hal yang disarankan oleh tabib (dokter).
Sejarah ta’un mencatat empat kejadian besar yang pernah melanda. Di antaranya: (1) Ta’un Syirawaih, terjadi di Madinah pada masa Rasulullah SAW; (2) Ta’un Amwas, terjadi pada masa Umar bin Khatab RA; (3) Ta’un Jarif, terjadi pada tahun 69 H/689 M; dan (4) Ta’un Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Selain keempat ta’un besar tersebut, masih ada beberapa ta’un yang skalanya tidak besar.
Judul Buku: Kitab Wabah dan Taun
Judul Asli: Badzlul Ma’un fi Fadzlith Ta’un
Penulis: Ibnu Hajar al-Asqalani
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Islam
Tebal: 396 halaman
Edisi: Hard Cover, cet 1 Agustus 2020
ISBN: 978-623-7327-42-4