Perasaan yang Palsu
Emily berjalan menuju lorong kelas yang masih sepi. Seperti biasa gadis itu mengeluarkan siulan andalannya supaya pagi hari di sekolah yang masih sepi ini tidak begitu mencekam dirinya. Pelajaran pertama hari ini dimulai dengan pelajaran sosiologi yang akan membahas tentang konflik sosial dan kawanannya.
Gadis berkuncir satu itu menaruh tasnya tepat di samping kursi yang mejanya tertempel nama Arega Alansyah. Beruntung sistem kursi di kelas Emily bebas. Seluruh siswa di kelas bisa memilih dengan siapa mereka akan duduk, dan itu bisa berganti setiap harinya. Hari ini Emily memutuskan untuk duduk di samping kursi langganan Rega.
Lima belas menit sebelum bel berbunyi Rega masuk ke dalam kelas. Wajahnya sedikit menampakkan ekspresi terkejut melihat Emily yang dengan santainya duduk di samping kursinya. Mungkin memang tidak terlihat seperti masalah yang besar. Namun Rega harus tetap menjauhi Emily demi keselamatan jantung juga hatinya. Meskipun semalam ia mengeluarkan kata-kata yang menurutnya sangat bodoh. Entah mengapa hatinya mendorong dirinya untuk mengatakan hal seperti itu kepada Emily
“Ngapain lo di sini?” Tanya Rega, berusaha terdengar dingin “Menurut lo? Gue nyangkul?” Bukannya menjawab, gadis itu justru meledeknya. Tidak ingin meladeni Rega di pagi hari Emily kembali melanjutkan sesi main ponselnya.
Rega masih enggan menduduki bangku kosong samping Emily yang biasanya ia duduki. Dirinya harus memastikan Emily pindah tempat dari sana. Setidaknya jangan di sampingnya,
“Pindah, jangan di sini,” titah Rega membuat Emily mengernyitkan keningnya.
“Gak mau. Kenapa sih emang kalo di samping gue? Gak bakal berisik selama jam pelajaran kok,” ujar Emily meyakinkan Rega, bahkan gadis itu mengangkat jari kelingkingnya. Mengajak Rega melukan pinky promise seperti beberapa waktu lalu.
“Awas aja lo kalo berisik, gue pites,” sahut Rega dengan wajah galak serta sensinya membuat Emily bingung sendiri. Rega ini sedang PMS atau bagaimana?
Tak lama Pak Dadang selaku guru sosiologi memasuki kelas dan mulai memberi materi hari ini. Benar saja tebakan Emily, pembahasan tentang konflik yang tidak pernah ada habisnya di sosiologi. Konflik individu, konflik antarkelompok, antarkeluarga, dan lain-lain. Berkali-kali gadis itu menguap namun seberusaha mungkin mengecilkan aksi nguapnya karena Rega di sebelahnya seperti sudah siap memitas Emily jika gadis itu bertingkah barang sedikit saja.
“Konflik. Dalam KBBI didefinisikan sebagai percekcokan, perselisihan, atau pertentangan,” Pak Dadang menjelaskan sembari memegang penggaris yang tentu saja dengan mudah akan melayang kepada siapa pun yang berani tertidur pada saat beliau memberi materi.
“Garis besarnya, konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, dan tidak selaras lanjut Pak Dadang.
“Berseberangan, bertentangan, dan tidak selaras. Itu kaya lo sama gue banget,” bisik Rega tepat di samping telinga Emily membuat gadis itu melebarkan matanya dan refleks memukul lengan Rega.
“Emily Taskia.”
Rasanya Emily ingin memiliki kekuatan menghilang atau teleportasi seperti Mr. Gumiho di drama Korea yang ia tonton setiap Sabtu sore. Emily memberanikan diri untuk menatap Pak Dadang yang tadi memanggilnya. Cengiran bodoh tak lupa ia tampilkan karena siapa tau bisa meluluhkan hati Pak Dadang bukan?
“Iya Pak? Hehe…” Rega mengutuk Emily dalam hati karena bisa-bisanya gadis itu menambahkan ‘hehe’ di keadaan yang cukup darurat seperti ini.
Di kursi bagian belakang, Audi sebagai sahabat yang baik dan juga pengertian sibuk mengirimkan doa-doa dalam hati untuk sahabat bodohnya. Doa-doa supaya Emily dihindari dari pertanyaan-pertanyaan keramat yang selalu keluar dari mulut Pak Dadang.
“Coba kamu sebutkan perbedaan apa saja yang memicu konflik, minimal tiga. Kalo gak bisa… keluar kamu dari kelas Bapak,” perintah Pak Dadang dengan nada tegasnya sembari memukul-mukul pelan penggaris kayu ke telapak tangannya yang sudah mulai keriput.
Kaki Emily di bawah meja terus bergerak ke sana kemari karena gelisah. Bahkan sampai Rega menyenggol sebelah kakinya untuk diam, baru gadis itu diam. Otaknya terus memikirkan jawaban dari pertanyaan yang Pak Dadang berikan. Bagaimana bisa Emily menjawabnya? Pak Dadang saja belum menjelaskan bagian itu, juga Emily bukan Siswa yang akan belajar di malam hari untuk mempersiapkan pelajaran yang akan dipelajari esok.
Mata gadis itu bergerak melirik ke sana-kemari, masih terus berpikir. Sedikit terkejut ketika dari bawah meja perlahan menggenggam telapak tangan Emily. Ketika ia ingin protes Rega justru mengencangkan genggaman itu seolah menyuruh Emily untuk tetap diam.
Perlahan Rega membuka telapak tangan Emily. Lalu pria itu menggerakan jari telunjuknya di atas tangan Emily. Awalny Emily tidak mengerti apa maksudnya. Namun setelah paham bahwa Rega mengeja huruf-huruf yang merupakan jawaban dari pertanyaan Pak Dodo, Emily tersenyum senang.
“Perbedaan… Fi…sik?” Ujar Emily pelan.
“Ya betul. Satu, perbedaan fisik. Lalu?”
Rega kembali menggerakan jarinya di atas telapak tanga Emily. “Perbedaan kebudayaan,” gadis itu terus mencoba mengeja setiap huruf yang Rega tulis di telapaknya.
“Perbedaan…” Emily menatap Rega dengan maksud supaya Rega mengulang gerakan tangannya di telapak tangan Emily. Namun Rega tidak mengerti apa maksud tatapan gadis itu, sampai Emily melotot pun Rega masih tetap tidak mengerti.
“Heh, Emil. Kok kamu toh ya malah melototin Arega kaya gitu,” tegur Pak Dadang melihat Emily yang masih memelotot Rega sampai akhirnya pria itu mengerti apa maksud gadis di sebelahnya.
Rega kembali menggerakkan tangannya. Kali ini dengan tempo yang lebih lambat. “Perbedaan… pola… perbedaan pola perilaku?”
“Ya betul, perbedaan pola perilaku. Terima kasih, Emily.”
Embusan napas lega tidak hanya dirasakan oleh Emily tetapi juga Rega yang duduk di sebelahnya dan juga Audi yang duduk di beberapa kursi bagian belakang. Emily mendekatkan tubuhnya ke arah Rega seraya membisikkan ucapan kata terima kasih kepada laki-laki itu. Tanpa Emily sadari, jantung Rega berdetak lebih cepat dari biasanya. Rega mendorong pelan tubuh Emily supaya sedikit menjauh darinya karena Rega tidak menyukai debaran jantung itu.
Empat puluh menit menegangkan akhirnya berhasil dilewatkan oleh murid kelas XI IPS 2 dengan baik. Beberapa anak memilih untuk pergi ke kantin, beberapa lainnya pindah posisi ke pojok kelas entah untuk tidur atau bergosip ria. Beberapa memilih untuk bertahan di kursi mereka masing-masing, seperti Emily contohnya.
Gadis itu sibuk mencoret-coret kertas gabutnya tanpa mempedulikan Rega yang sedari tadi belum beranjak dari duduknya. Pria itu memilih untuk memandangi Emily yang terlihat sangat serius dengan kertasnya. Sedikit mendekat, Rega membaca tulisan apa yang kali ini Emily torehkan untuknya.
Senyuman tipis tercetak di wajah dingin Arega Alanya. Menatap Emily lalu pria itu berkata, “Iya… lo juga, kalo capek istirahat ya?” Ujar Rega disusul oleh kekehan beratnya.
Entah sihir apa yang Emily Taskia simpan sampai-sampai dengan mudah mengubah mood Rega yang tadi pagi sangat tidak ingin Emily duduk di sampingnya. Justru sekarang pria in merasa sedikit senang karena kertas tidak penting milik gadis itu. Emily terlonjak kaget mendengar suara Rega yang terasa begitu dekat dengannya.
“Lo! Kaget tau!” Omel Emily dengan wajah galaknya. Membalik kertasnya lalu Emily kembali menatap Rega. “Sana ke kantin!” Usir Emily.
Rega menatap Emily dengan tatapan meremehkan. “Lo siapa ngatur? Suka-suka gue lah mau tetep di sini atau ke kantin,” jawaban Rega berhasil membuat Emily kesal hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk meninggalkan Rega di kelas dan pergi ke kantin mencari Audi.
Seperti biasa, pada jam istirahat pertama kantin cukup ramai. Bahkan kadang sangat sulit mencari tempat duduk karena meja juga kursi yang terbatas. Menyelusuri setiap bagian kantin untuk menemukan Audi, Emily akhirnya memutuskan untuk mengantre bubur ayam terlebih dahulu. Jangan salah, bubur ayam di kantin Martajaya rasanya bukan main, belum lagi harganya yang sangat affordable dengan kantong remaja SMA.
“Bu, aku ambil sama sate ususnya ya satu,” ujar Emily.
Gadis itu mengeluarkan uang delapan ribu rupiah untuk membayar total makanannya. Baru saja ia akan melangkah pergi dari konter bubur, tiba-tiba saja sebuah tangan menahan lengannya, ternyata Malik.
“Eh? Kenapa, Lik?” Tanya Emily dengan wajah heran melihat Malik yang tiba-tiba saja menahan lengannya. Malik masih tetap diam tidak menjawab. Pria itu justru menaruh sehelai tisu di atas mangkuk bubur milik Emily.
“Ini pake tissu, biar gak ada debu,” jawab Malik pada akhirnya sambil tersenyum. Emily masih memproses apa yang baru saja terjadi. Malik akhir-akhir ini kelakuannya aneh sekali.
“Ohiya. Makasih ya,” tanpa berlama-lama Emily memutuskan untuk menghilangkan dirinya dari pandangan Malik. Kembali berjalan menelusuri kantin mencari keberadaan Audi Syafina yang entah mengapa sangat sulit ditemukan.
“Nah… tuh dia si kampret,” gumam Emily melihat Audi dan Defa yang duduk di meja kantin paling ujung.
“Heh gue cariin ke mana-mana juga. Taunya mojok,” kesal Emily sembari mendudukkan dirinya di bangku kosong samping Defa yang sibuk memotong ayam krispi miliknya.
“Dih? Ini kan baru istirahat pertama, kok lo udah makan berat aja sih?” Bukan Emily Taskia namanya jika gadis itu tidak memprotes berbagai macam hal. Entah yang Defa makan, yang Defa lakukan, bahkan sampai yang Defa kenakan. Sampai Defa berasumsi, kalau Emily tidak protes itu tandanya sudah perfect.
“Protes aja lu? Ini tuh gua laper. Lagian lu juga makan bubur, itu termasuk berat,” sahut Defa.
“Tapi kan bubur ini jatuhnya buat sarapan pagi. Lah kalo lo? Gue yakin pasti tadi pagi udah sarapan di rumah kan? Iya kan? Dasar perut karet,” Emily Taskia memang sepertinya sangat ingin mendapat tampolan di wajah. Audi sedari tadi sudah memberikan tatapan tajam kepada keduanya bermaksud untuk menghentikan perdebatan konyol yang entah di mana ujungnya.
“Sekali lagi lo berdua ribut gak jelas, gue siram lo berdua pake kuah baso,” ancam Audi sambil mengangkat mangkok basonya yang masih terlihat penuh dan panas.
Tidak mau merusak kulit cantiknya karena siraman kuah baso, Emily memilih diam dan melanjutkan sesi makan bubur, sambil memikirkan tentang Rega. Ternyata berada di samping Rega sedekat itu mampu membuat Emily mencium aroma tubuh Rega yang sangat maskulin. Belum lagi jari-jarinya mengetuk-ngetuk kecil di meja selama pelajaran berlangsung. Bukannya mengganggu, menurut Emily itu terkesan lucu, Lalu perlakuan baik Rega yang dengan senang hati menolongnya dari Pak Dadang tadi, ah, hati Emily benar-benar tersentuh,
“Mil, nanti malem jadi kan nginep di rumah gue? Pertanyaan Defa membuyarkan semua lamunan Emily akan Rega. Gadis itu berdecak malas sambil melirik Defa.
“Hm,” jawab Emily singkat.
“Emang lo pada mau nginep ngapain?” ‘Tanya Audi dengan nada yang biasa saja tentunya. Gadis itu sudah terbiasa dengan kehidupan nomaden sosok Emily yang terkadang tinggal di rumahnya sendiri dan kadang di rumah Defa.
“Mau pesta miras,” jawab Defa dengan jari metalnya seolah-olah itu adalah hal yang keren.
Satu pukulan pelan berhasil mendarat dengan mulus di kepala Defa. “Gue sama Defa mau melakukan eksperimen ke wine koleksian punya Om Tito,” kali ini Emily menjawab dengan nada antusiasnya.
Audi hanya menatap dua manusia di hadapannya dengan tatapan aneh, juga lelah. Aktivitas yang dilakukan Defa dan Emily memang selalu jauh dari kata jelas dan bermanfaat, pikirnya.
Rega membuka pintu rumahnya perlahan. Sepi, seperti biasa. Setelab 2 hari yang lalu sang papa membentaknya habis-habisan karena tidak bisa lolos seleksi, Papa pergi dari rumah seperti biasa. Tidak pulang. Sampai tadi pagi pun Rega tidak melihat Papa. Anak laki-laki itu melangkahkan kaki menuju kamar, tempat paling aman di rumahnya. Namun langkahnya tertahan ketika Mami memanggil namanya. Menyuruh Rega untuk kembali turun ke ruang keluarga.
“Kenapa, Mi?” Tanya Rega sambil mendudukkan dirinya di salah satu bagian sofa yang kosong. Mami tidak menjawab. Mami justru menyerahkan map yang berisi berkas-berkas kepada Rega.
Perlahan pria itu membuka map berwarna hijau tua yang ternyata berisi berkas-berkas perceraian antara kedua orang tuanya. Rahang tegasnya mengeras, wajahnya merah, emosi siap meledak namun sekuat tenaga Arega Alansyah menahan luapan emosinya.
“Harus ya pisah?” Hanya pertanyaan itu yang mampu keluar dari mulut Rega.
Mami menatap Rega dengan tatapan berkaca-kaca. Hatinya begitu sakit melihat sang anak kesakitan seperti itu. Terlihat jelas dari mata Rega bahwa dirinya tersakiti. Namun apa boleh buat? Semua yang ada di dalam rumah itu tersakiti, dan menurut Mami, jalan satu-satunya untuk menyembuhkan luka yang tertanam di dalam diri mereka adalah dengan cara berpisah. Sementara Mami tidak pernah tau bahwa sang anak memiliki pandangan berbeda. Anak laki-laki itu menganggap bahwa semua luka akan sembuh jika mereka saling menerima dan saling memaafkan.
“lya, harus,” Mami berusaha menarik semua oksigen yang berada di sekitarnya.
“Selama ini… kita bertahan cuma buat kamu, Ga,” lanjut Mami. Tatapan mata Rega beralih menatap Mami yang dengan Mudah mengatakan hal itu.
“Kalau bertahan karena aku, kenapa gak selamanya aja? Kenapa gak selamanya aja bertahan dan jadiin aku alasan? Bisa kanP” Wajah anak itu terlihat frustrasi. Jelas sekali dirinya belum Siap menerima ini semua.
Mami mengusap kepala Rega penuh sayang. “Gak semudah itu, Arega…” Air matanya turun melihat anaknya yang sekuat tenaga menahan emosi, anak laki-lakinya yang ternyata belum siap menerima keputusannya.
“Selama ini, Mami tahan semua ini sendiri…begitu juga Papa… kita tersiksa dengan ini semua, Rega,” Rega masih setia mendengarkan.
“Seperti yang kamu tahu, Mami dan Papi terjadi hanya karena keinginan Opa kamu, Nak. Kita memang gak bisa bersatu, kita memang bukan untuk satu sama lain.”
“Sidangnya minggu depan, sampai minggu depan Mami ada di rumah Eyang Uti. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungin Mami ya, Nak. Mami pergi dulu,” setelahnya kecupan singkat mendarat di kening Rega yang tetap bergeming.
Mami menyeret kopernya menuju mobil lalu setelahnya melesat dengan cepat menuju rumah Eyang, meninggalkan Rega dengan kesendiriannya. Kesendirian yang paling dirinya benci, kesendirian yang ditemani dengan sepi. Melangkah menuju kamar, pria itu berganti pakaian setelahnya. Mengambil rokok yang selalu tersedia di laci lalu duduk diam di balkon kamar yang menampung angin malam kota Jakarta.
Pikirannya berjalan ke sana kemari, bahkan berlari. Bertanya-tanya mengapa Tuhan mendaratkan dirinya di dunia, mengapa garis takdir seolah-olah gemar sekali menusuknya. Apa salahnya? Mengapa kata perpisahan seolah-olah kata yang biasa bagi kedua orang tuanya. Mengapa tidak ada satu put dari mereka yang menanyakan pendapatnya akan perpisahan?