Awal Rasa
Berhari-hari Rendy tidak menyapa Ajeng Jessica, tapi pria itu akan selalu mengirimkan pesan saat jam makan tiba kepada Ajeng. Isinya pun hanya sekadar ‘makan’ ya hanya itu tidak ada yang lain. Kalau Ajeng membalas pesannya, Rendy akan mengabaikannya, dan kembali mengirim pesan yang sama kala jam makan datang.
“Aaaaaa nyebelin! Salah gue apa sih?” Runtuk Ajeng setelah membaca pesan makan siang Rendy.
“Gue tau ya lo males ngomong, tau! Tapi salah gue apa sampe lo marah kaya gini sama gue? Hah? Hah?” Taro dan Nada kompak saling menatap. Nada memijat pangkal hidungnya sendiri sedangkan Taro meletakkan telapak tangannya ke jidat Ajeng.
“Lo demam? Ketempelan? Apa emang gak waras?”
“Diam lu!”
Taro mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah menghadapi ingkah Ajeng.
“Mau lo susul gak si Rendy? Ruangannya dua kelas dari sini,” tawar Nada.
“Gue susul pun dia ngehindarin gue Nad masalahnya,” Rambut Ajeng jadi sasaran rasa frustrasinya. “Kita beberapa hari lalu baik-baik aja, bahkan mika tempat makanan Rendy tuh masih ada di kos gue!”
“Artinya dia udah gak mau deket lo alias lo di-ghosting hahaha!” Bukannya prihatin Taro malah tertawa lebar, ia baru berhenti saat Ajeng menunjukkan rasa kesalnya lewat ekspresi yang masam di wajahnya.
“Kalau gue di-ghosting, gak mungkin Rendy tiap jam makan ngingetin gue! Wee!”
“Cih manja banget lo diingetin makan segala, kaya lo bakal lupa makan aja kalau gak diingetin. Kalau Rendy seharian lupa ngingetin lo makan, lo gak makan gitu? Bagaimana kalau Rendy lupa sebulan? Busung lapar lu, Jeng!” Sudah ditebak setelah pernyataannya itu Taro akan mendapat tamparan di kepalanya dan berakhir dengan pertikaian kecil kekanakan ala Ajeng dan Taro seperti biasa.
“Ah, kenapa gak bikin alasan aja ngembaliin mika tempat makanannya, Jeng?” Sela Nada di tengah pertarungan saling cubit dan ledek Taro dan Ajeng.
Taro suka dengan kepintaran Nada, tapi ia benci ide-ide cemerlangnya mendekatkan Ajeng dan Rendy. Nada ini bukan mendukungnya malah mendukung Rendy? Eh ya wajar sih, Nada saja belum tahu kalau Taro menyimpan rasa pada Ajeng Jessica.
“Ah bener juga, nanti pulang kuliah gue samperin deh ke kontrakannya, gak mungkin Rendy kabur Jugakan kalau gue udah di sana?” Ajeng menaik-naikkan alisnya.
“Ehm!” Taro berdeham keras.
“Rumahnya Rendy di mana? Gue anterin! Gue tungguin! Terus gue yang anter pulang, lagian gak boleh cewek sendiri ke sarang penyamun!”
Nada dan Ajeng kompak memberi pandangan lelah dengan sahabat lelaki mereka itu.
“Lu kenapa sih?”
“Aduh, aduh Nad!” Tidak biasanya Nada menjewer Taro seperti anak SD yang tidak potong kuku hingga meringis sakit dan mengusap daun telinganya.
“Gue cerita gebetan gue yang punya riwayat bad boy lo gak ada tuh kaya gini? Pilih kasih lo antara gue sama Ajeng, giliran Ajeng aja ke kontrakan Rendy langsung dikatain sarang penyamun segala? Dikata Ajeng Putri Jasmine?” Sebal Nada, sayangnya yang diomelin malah menyengir lucu hingga mata sipitnya menghilang.
“Wuih siapa bilang, Nad? Gue diem-diem memperhatikan Io dengan anak teknik mesin itu, Nad. Siapa lagi namanya? Ah Ewakso Fatah-Fatah—”
“Fattahila, Tar!” “lya, Fattahila, Aku menjagamu dari jauh sahabatku.” Taro menempel lucu di pundak Nada dan Ajeng ikut menempel di pundak Taro seperti anak tengah dan anak bungsu membujuk kakak sulungnya yang sedang merajuk.
“Eh, gue balik dulu kalau kaya gitu.” “Gue anterin gak ke sarang penya—eh ke kontrakan Rendy?!”
“GAK!” Ajeng dan Nada kompak menjawab.
“Kenapa?”
Nada melirik Taro seram. “Gak! Lo pokoknya anterin gue beli penggars Terus kita ngopi bahas tugas—”
“Tapi Nad, Ajeng… bagaimana?” Tunjuk Taro pada punggung Ajeng yang semakin menjauh.
“Ya gak gimna-gimana? Biarinlah dia ngurusin sendiri percintaannya. Lagian lo kok kaya menghalangi Ajeng gitu ngejar Rendy?”
Nada mengerjap sejenak mencerna situasi.
“Ah! Jangan bilang lo suka—”
“Hem, gue suka,” potong Taro ‘tnpa ragu, rasanya sudah waktunya Zhenadatahu rasanya pada Ajeng berbeda.
“Rendy?” Nada menutup mulutnya tidak percaya.
“Beneran? Serius? Rendy? Lo suka Rendy? Pantes lo—” Tidak sempat Nada melanjutkan kalimatnya, bibirnya sudah dipukul pelan oleh Taro yang kesal karena tebakan sahabatnya itu.
“Ya kali masa Rendy, Nad?”
“Ya kali masa Ajeng, Tar?” Sekali lagi Nada mencerna situasinya, matanya membulat karena terkejut, mulutnya menganga dan ditutup kedua tangannya.
“LO NAKSIR AJENG? SEJAK KAPAN?”
“Gak tau! Pokoknya gue suka! Dan ini rahasia, cuma Tuhan Yesus, gue, dan lo yang tahu. Paham?”
Entahlah, Taro juga tidak paham. Mungkin karena melihat makhluk itu tiap hari tersenyum bodoh, tertidur di kelas, bersemangat mengerjakan tugas yang tidak ia pahami, pokoknya segala tingkah Ajeng Jessica jadi manis di matanya! Sejak itu Taro sadar hatinya telah jatuh.
Gerbang dengan tulisan ‘Kalau anda tidak bisa tutup pintu, tidak usah buka pintu, silakan terbang saja’ menyambut Ajeng. Sejak kapan tulisan itu dipajang di sana? Apa sejak Rendy bilang kalau sepatunya hilang karena dicuri akibat gerbang kontrakan yang tidak ditutup? Entahlah.
Ajeng memperbaiki rambutnya yang berantakan karena helm ojek online yang dipakainya tadi. Merapikan pakaiannya dan melihat mika makanan dalam paperbag yang dipegangnya, semuanya sudah lengkap kini tinggal—
“Anjirlah, yang ide bikin bale bambu di belakang kontrakan, kan lo Lucas Satria Arifin!” Wajah orang yang mengomel itu tidak asing bagi Ajeng, itu Haikal.
“Tapi gue kan bawa bambunya. Gue yang ngambil bambunya, sendiri tau! Lo lagian cuma mukul palu beberapa baris aja. Pokoknya lo yang bayar, Kal!” Ucap ia yang paling menjulang tinggi diantara, semuanya.
“Udah — udah Bang jangan berantem perkara makanan doang biar Leo yang bayar.”
Tujuh pemuda yang keluar dari gerbang kontrakan itu langung menatap Ajeng penuh tanya. Siapa nih cewek? Penguntit salah satu penghuninya? Peminta sumbangan? Atau jangan-jangan maling sepatu? Tapi kecurigaan hilang seketika begitu Nareshta dan Haikal mengenalinya
“Ajeng! Ajeng, Kal, mi ayam, Malino, cemcemew Rendy!” Ajeng menyengir canggung dan menggaruk pipinya, sementara Haikal menepuk tangan paham.
“Walah, masuk, masuk, Jeng. Cari Rendy kan?”
“Hehe iya, Rendy-nya… ada?”
“Ada, kita habis bikin bale bambu di belakang kontrakan. Loh lurus aja, ada jemuran, belok kanan dikit. Rendy masih di situ tuh” Nareshta mengarahkan.
“Kalian mau ke mana?”
“Capek, Jeng. Laper habis kerja keras buat bale bambu. Mau minum es kelapa muda sama siomai di depan. Mau titip gak?” Tawar Haikal. “Mumpung Leo yang bayar.”
“Hehe gak usah, Kal. Gue cuma sebentar mau ngembaliin mika makanan aja. Kalau gitu, gue masuk ya? Selamat minum es kelapa sama siomai,” pamit Ajeng meninggalkan para penghuni Dream House saling berbisik jahil. Ajeng tahu Rendy dan dialah yang akan jadi topiknya.
Seperti petunjuk Nareshta, Ajeng berjalan lurus dan berbelok kanan melewati jemuran dan benar saja Rendy masih di sana memalu beberapa bagian bale bambu handmade delapan penghuni Dream House.
“Kok masih di sini, penjual siomainya jam lima udah pulang loh.” Kalimat Rendy sejenak berhenti begitu melihat Ajeng di hadapannya.
“Ngapain ke sini? Kenapa gak bilang dulu?”
Ajeng menyerahkan paperbag di tangannya “Ngembaliin mika. Makasih makanannya.”
“Sama-sama,” Rendy masih mengabaikan Ajeng dan asyik dengan palunya. Gadis itu memilih duduk di atas bale bambu yang baru saja jadi itu.
“Siapa yang suruh duduk?”
“Capek Ren bediri terus.”
“Kenapa gak pulang aja?”
Ajeng melengkungkan bibirnya tanda sedih begitu mendengar kalimat pengusiran halus dari Rendy itu.
“Gak boleh gue ke sini memang?” Rendy tidak menjawab.
“Lo tanya kenapa gue gak bilang dulu sebelum ke sini? Ya karena gue tahu kalau gue bilang dulu, lo pasti banyak alasan buat menghindar dari gue. Gue salah apa sih sampe lo kaya gini?” Suara Ajeng mulai bergetar. Ia bangkit dari duduknya menarik pergelangan tangan Rendy agar pemuda itu memandangnya.
“Apa sih, Jeng?”
“Lo yang apa? Lo gak suka gue deketin? Kalau lo gak suka kenapa lo selalu ngirimin gue pesan tiap jam makan? Kenapa lo bilang gue boleh GR? Kenapa Ren? Orang bego kaya gue juga tahu lo peduli sama gue!” Ucap Ajeng dengan nada emosinya.
“Kenapa lo ngehindarin gue? Salah gue apa, Ren?”
Mata gadis itu mulai berkaca dan Rendy scketika panik melihatnya, Apa Ajeng tidak tahu kalau air mata perempuan itu senjata yang bisa menghancurkan hati lelaki apalagi kalau ia juga tersangka cairan itu menetes ke pipi?
“Hhhhh gue minta maaf kalau gue punya salah sama lo, Ren” Ajeng mulai terisak, pupil mata Rendy bergerak panik dibuatnya,
“Je.. Jeng, jangan nangis, Jeng. Lo…lo kenapa nangis sih? Jangan nangis!” Rendy berusaha meraih wajah Ajeng dan menghapus air mata di pelupuknya sebelum jatuh ke pipi.
Ajeng meninju pelan dada Rendy, “Jangan ditanya-tanya kalau cewek nangis, nanti makin nangis bego hueeee!” Tangis Ajeng jadi makin keras, untung teman kontrakan Rendy sedang memburu abang siomai. Kalau tidak, Rendy sudah pasti dituduh yang tidak-tidak karena membuat anak perempuan orang menangis seperti ini.
Tidak tega juga rasanya bagi Rendy melihat Ajeng seperti sekarang. Pemuda itu berinisiatif mengambil satu kausnya di jemuran. Seperti paman yang baik menghapus air mata hingga ingus keponakannya yang menangis karena terjatuh dari sepeda dengan kausnya.
“Udah dong nangisnya Jeng, yah?” Bujuk Rendy, ia bahkan mengelus sayang puncak kepala Ajeng. Gadis itu mulai tenang, meski masih mengatur napasnya. Hidungnya merah, begitupun matanya. Siapa sih yang tega membuat gadis cantik menjadi jelek karena menangis begini? “Sini”
“Hm?” Bingung Ajeng melihat Rendy telah melebarkan kedua tangannya.
“Sini gue bilang! Mau datang sendiri atau gue tarik?” Ajeng masih mengedip tidak paham dengan pilihan yang ditawarkan
Gue disuruh ke mana sik sebenarnya?
Tidak lama Ajeng sadar ke mana Rendy menyuruhnya pergi kala wajahnya bersentuhan dengan dada pemuda arsitektur itu, ternyata Rendy menyuruhnya ke pelukannya. Pelukan yang membuat Ajeng seketika menghentikan tangisnya.
“Gue udah gak nangis. Sekarang mau gak cerita kenapa lo ngehindarin gue?” Mereka berdua sudah duduk namun pelukan itu belum lepas, lebih tepatnya Ajeng tidak mau melepasnya.
“Gue gak tega ketemu lo,” jujur Rendy.
Ajeng kebingungan. Kenapa tidak tega coba? Perasaan Ajeng sudah sehat setelah pingsan tempo hari. la juga cuma didiagnosis maag bukan kanker usus. Kenapa setidak tega itu Rendy menemuinya?
“Loh kenapa?”
Rendy menatap gadis itu dengan sedikit emosi.
“Lo bisa gak stop pura-pura gak apa-apa? Pura-pura semua di hidup lo baik-baik aja, gue gak tega Jeng!” Suara Rendy pelan tapi pelukannya semakin erat.
“Denger lo teleponan sama bokap lo tempo hari, gue yakin lo sakit pura-pura bahagia kaya gitu. Kenapa gak lo keluarin aja benci lo ke dia? Lo boleh benci sama orang yang ngekhianatin dan bohongin lo kaya bokap lo, Jeng! Boleh.”
Ajeng merasa dibungkam, Rendy begitu peduli padanya meski semua yang ia utarakan adalah kebohongan.