Sepuluh Hal yang Perlu Kita Ketahui Tentang Ilmu Mantik
1. Definisi (al-Hadd)
Hal pertama yang harus kita ketahui dari suatu ilmu yang akan dikaji tentunya adalah ta’rif atau definisi. Dengan mengetahui definisi suatu ilmu, kita akan tahu persoalan apa saja yang akan dikaji dalam ilmu tersebut. Di samping kita juga akan diberikan gambaran sejauh mana manfaat dari ilmu yang akan kita kaji itu.
Ada dua jenis definisi yang bisa kita gunakan untuk memperkenalkan suatu ilmu. Pertama, definisi yang menekankan objek kajian (bil hadd). Kedua, definisi yang lebih menekankan aspek kegunaan (bir rasm). pengetahuan lain yang
Definisi Berdasarkan Objek Kajian (Bil Hadd)
Dilihat dari sudut objek kajiannya, biasanya Ilmu Mantik diartikan sebagai: “ilmu yang membahas tentang pengetahuan yang berupa tashawwur (gambar) dan tashdiq (pembenaran), yang sudah diketahui, sebagai jalan yang dapat mengantarkan kita menuju pengetahuan tashawwur dan tashdiq lain yang belum diketahui.” (Al-’ilm al-ladzî yabhats ‘an al-mâ’lûmât at-tashawwuriyyah wa at-tashdîqiyyah min haitsu kauniha tuwasshilu ilâ majhûlin tashawwuriyyin wa tashdiqiyyin)
Ada dua kata kunci untuk memahami definisi di atas, yaitu kata tashawwur dan kata tashdiq. Apa itu tashawwur? Dan apa itu tashdiq? Biasanya, bahasan mengenai dua istilah ini dijadikan satu bab secara tersendiri. Setelah ulasan mengenai sepuluh aspek ini selesai, kita akan menjelaskan dua istilah tersebut dalam pembahasan yang akan mendatang.
Tapi, untuk sementara, agar kita mudah memahami definisi di atas, secara sederhana kita bisa memaknai tashawwur itu sebagai gambaran kita atas sesuatu tanpa ada unsur penghukuman. Pengetahuan yang berupa tashawwur (mâ’lûmât at-tashawwuriyyah) artinya ialah pengetahuan yang hanya berupa gambaran.
Misalnya, ada orang menyebut kata Arsenal. Kemudian terbayanglah dalam benak Anda sebuah klub terbaik Liga Inggris yang memiliki banyak pemain hebat itu. Nah, dalam bahasa Ilmu Mantik, pengetahuan Anda tentang Arsenal yang sekadar gambaran, dan tidak disertai penghukuman itu namanya tashawwur (concept/gambaran). Karena di sana Anda hanya membayangkan saja, tidak menyertakan atribut apa-apa.
Tapi, ketika Anda tahu bahwa “Arsenal itu adalah tim terbaik di Liga Inggris’, misalnya, atau “Arsenal itu adalah tim yang penuh prestasi dan Anda mengamini itu, maka pengetahuan Anda yang sudah diserta penghukuman itu namanya tashdiq (assentment/pembenaran).
Jadi, tashawwur itu ialah pengetahuan kita terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman, sedangkan tashdiq adalah pengetahuan kita terhadap sesuatu beserta penghukuman atasnya baik secara afirmatif maupun negatif (bi an-nafyi aw al-itsbât).
Nah, objek kajian Ilmu Mantik itu ialah segala jenis pengetahuan yang berbentuk tashawwur dan tashdiq itu, yang pada akhirnya akan mengantarkan kita kepada bentuk tashawwur dan tashdiq lain yang belum kita ketahui hakikat dan kebenarannya. Singkatnya, tugas utama IImu Mantik ialah mengantarkan kita dari pengetahuan yang sudah kita ketahui—baik berupa tashawwur maupun tashdiq—menuju pengetahuan lain yang belum kita ketahui.
Misalnya, yang sering dijadikan contoh dalam buku-buku mantik ialah kata manusia (al-insân). Kita tahu tentang manusia. Dia adalah makhluk yang memiliki badan, ruh, akal, mata, telinga, kaki, dan lain sebagainya. Tapi, hakikat manusia itu sendiri belum kita ketahui sebelumnya (majhûl).
Nah, agar kita mampu memperjelas gambaran kita mengenai manusia, maka tugas Ilmu Mantik ialah mencari gambaran-gambaran (tashawwurât) yang sudah kita ketahui tentang manusia untuk menjelaskan sisi yang belum kita ketahui tentang manusia.
Misalnya kita tahu bahwa manusia itu termasuk salah satu jenis hewan. Dia juga bergerak, berjalan, makan, minum, dan sebagainya. Lalu, setelah kita telaah lebih jauh, ternyata ada satu hal yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya, yaitu berpikir.
Maka, setelah kita mengetahui sekian banyak tashawwur (gambaran) tentang manusia itu, kita simpulkanlah di akhir bahwa manusia itu adalah hewan yang berpikir (al-Hayawân an-Nâthiq). Contoh dalam pengetahuan yang disebut tashdiq. Misalnya ada pernyataan bahwa “Muhammad Saw. itu adalah nabi”. Tapi, kita kan tidak pernah tahu apakah pernyataan ini benar atau tidak? Dengan kata lain, pernyataan tersebut masih majhûl (belum diketahui), terutama bagi orang yang tidak mengimani Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi.
Lalu apa tugas Ilmu Mantik? Sama halnya dengan contoh tashawwur di atas. Tugasnya ialah mengulas hal-hal yang dapat membuktikan kebenaran pernyataan di atas.
Karena contoh di atas berbentuk proposisi (qadhiyyah), maka jalan untuk membuktikan kebenarannya harus melalui proposisi lain yang dirangkai dalam sebuah qiyâs (silogisme). Misalnya, pembuktian kebenaran pernyataan di atas kita buktikan melalui rumusan silogisme sebagai berikut:
Premis minor: Muhammad Saw. mengaku sebagai nabi dan membawa mukjizat.
Premis mayor: ‘Setiap orang yang mengaku nabi dan membawa mukjizat adalah Nabi.
Konklusi: Muhammad Saw. adalah nabi.
Kesimpulannya, dari sudut objek kajiannya, Ilmu Mantik adalah ilmu yang mengulas tentang informasi-informasi yang sudah kita ketahui—baik yang berbentuk tashawwur maupun tashdiq—sebagai jalan yang dapat mengantarkan kita kepada pengetahuan lain yang belum kita ketahui.
Definisi Berdasarkan Kegunaan (Bir Rasm)
Definisi yang paling populer dan paling mudah adalah definisi yang kedua ini. Ilmu Mantik itu ialah “alat pengatur nalar yang kalau dipatuhi akan mampu menjaga kita dari kesalahan berpikir” (âlatun qânûniyyatun ta’shimu murâ’atuhâ adz-dzihna ‘an al-khatha’ fî at-tafkîr).
Singkatnya, Ilmu Mantik adalah ilmu yang membahas tentang aturan dan kaidah-kaidah berpikir, yang kalau kita indahkan kaidah-kaidah tersebut, niscaya kita akan selamat dari kesesatan berpikir.
Sampai di sini mungkin akan muncul pertanyaan: Betulkah kaidah-kaidah tersebut akan menjamin kita dari kesalahan berpikir? Jawabannya belum tentu. Karena bisa jadi ada orang yang salah dalam memahami kaidah tersebut atau tidak mengindahkannya sama sekali.
Ilmu ini hanya akan menjaga kita dari kesalahan berpikir kalau Seandainya kaidah-kaidah yang dibakukannya itu kita patuhi dan kita pahami dengan benar. Itulah alasan kenapa dalam definisi di atas dicantumkan kata murâ’atuhâ (pematuhan atasnya). Karena bisa jad ada orang yang mengetahui kaidah, tetapi dia tidak mematuhinya. Jika itu yang terjadi, besar kemungkinan dia akan terjebak dalam kesalahan berpikir (logical fallacy).
2. Objek Kajian (al-Maudhû’)
Poin kedua ini sudah penulis singgung di atas. Bahwa yang menjadi objek kajian utama Ilmu Mantik ialah semua pengetahuan yang berbentuk tashawwur dan tashdiq (al-Ma’lumât at-Tashawwuriyyah wa at-Tashdîgiyyah) yang sudah kita ketahui sebagai jalan yang dapat mengantarkan kita pada pengetahuan lain—baik tashawwur maupun tashdiq—yang sebelumnya tidak kita ketahui.
Misalnya Anda mendengar sebuah agama bernama Islam, dan Anda belum tahu makna atau definisi yang tepat untuk kata tersebut. Jika kita ingin mengetahui hakikat Islam, maka tentu hal yang pertama kali kita lakukan ialah mengumpulkan informasi yang kita tahu seputar Islam. Informasi itu ada yang berbentuk tashawwur (concept), ada juga yang berbentuk tashdiq (assentment).
Nah, tugas IImu Mantik itu, sekali lagi, ialah mengantarkan Anda dari pengetahuan yang sudah diketahui itu menuju pengetahuan lain yang belum Anda ketahui. Dari tashawwur yang sudah diketahui menuju tashawwur lain yang belum diketahui. Dari tashdiq yang sudah diketahui menuju tashdiq lain yang belum diketahui. Dan untuk sampai ke sana, tentunya kita membutuhkan panduan dan kaidah-kaidah yang benar.
3. Kegunaan (ats-Tsamrah)
Sebagian dari manfaat atau kegunaan ilmu ini sudah saya singgung pada tulisan pertama. Bahwa ilmu ini mengajarkan kita kaidah-kaidah berpikir yang benar. Dengan mengetahui kaidah berpikir yang benar maka kita juga bisa bertindak dan berucap dengan benar, tidak asal-asalan.
Ilmu ini juga mengajarkan kita untuk berpikir secara sistematis dan mendalam. Dengan cara berpikir seperti ini, niscaya kita tidak akan mudah terjebak pada hasutan dan pemahaman-pemahaman radikal. Kita tidak akan menjadi orang yang mudah terprovokasi, mudah menghakimi, dan merasa benar sendiri. Cara berpikir seperti ini tentu sangat kita butuhkan. Apalagi kita hidup di tengah terpaan hoax dan fitnah yang kadang menimbulkan perdebatan yang tidak sehat.
Dengan mempelajari ilmu ini, kita juga bisa menjadi orang yang kritis sekaligus tidak mudah menghakimi orang yang berbeda paham. Selama ini kita mudah termakan oleh hasutan dan berita-berita yang tidak benar. Nah, dengan mendalami Ilmu Mantik, kita akan dididik untuk menjadi orang yang berpikiran matang dan tidak mudah menerima sesuatu yang belum pasti benar.
Selain itu, yang tak kalah penting, ilmu ini juga dapat memperteguh keimanan kita melalui akal. Jika selama ini kita memercayai keberadaan Tuhan, kenabian Nabi Muhammad Saw, kewahyuan al-Qur’an, dan sebagainya, melalui teks-teks suci, maka dengan Ilmu Mantik kita bisa memperteguh keyakinan kita dengan bersandar pada dalil-dalil yang rasional.
4. Kelebihan (al-Fadhl)
Persoalan yang dibahas dalam setiap disiplin ilmu pasti terdiri dari dua hal yang saya sebutkan tadi, yakni tashawwur dan tashdiq. Apa pun ilmu yang Anda pelajari, pasti persoalan yang dibahas tidak akan keluar dari dua konsep itu. Misalnya Anda belajar ilmu politik.
Lalu di sana, misalnya, Anda menemukan kata demokrasi. Nah, pengetahuan Anda tentang demokrasi itu namanya tashawwur (concept). Sekarang bagaimana caranya agar Anda memiliki pemahaman yang tepat tentang konsep demokrasi itu? Apa itu demokrasi? Kaidahnya hanya bisa Anda pelajari dari Ikmu Mantik.
Lalu ada pernyataan: demokrasi itu merugikan rakyat. Pengetahuan Anda yang mengatakan bahwa “demokrasi itu merugikan rakyat” itu namanya tashdiq (assentment). Pernyataan ini benar atau salah? Kalau benar, bagaimana Anda membuktikan kebenaran pernyataan tersebut? Dan kalau salah, bagaimana cara membuktikan kesalahannya? Itulah yang dipelajari dalam Ilmu Mantik.
Karena itu, IImu Mantik berguna bagi semua ilmu. Setiap ilmu pasti selalu membutuhkan yang namanya ta’rîf. Dan untuk membangun ta’rîf yang tepat, seperti yang saya katakan pada tulisan sebelumnya, hanya bisa dilakukan jika kita mempelajari IImu Mantik.
Dalam buku-buku Islam klasik, kita juga sering disuguhi oleh perdebatan panjang para ulama. Tanpa memahami Ilmu Mantik, kita akan kesulitan untuk membedakan mana argumen yang bisa dipercaya, dan mana argumen yang sulit diterima. Mana argumen yang kuat, dan mana argumen yang lemah.
Tanpa Ilmu Mantik kita tidak akan tahu mana qiyâs yang benar, dan mana qiyâs yang salah. Mana yang argumen yang sesuai dengan kaidah-kaidah rasional, dan mana yang tidak. Singkatnya, IImu Mantik sangat berguna dalam memahami semua ilmu, tak terkecuali ilmu-ilmu agama.
5. Kaitannya dengan Ilmu-ilmu yang Lain (an-Nisbah)
Secara konseptual, Ilmu Mantik tentu berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain. Tapi, jika dilihat dari objek kajiannya, ilmu ini jelas memiliki kaitan yang erat. Setiap ilmu, seperti yang saya singgung di atas, itu pasti terdiri dari kumpulan konsepsi dan proposisi. Sedangkan dua hal tersebut merupakan objek utama dalam kajian Ilmu Mantik.
Kita tak akan mampu membangun konsepsi dan proposisi yang benar kalau kita tidak mempelajari kaidah-kaidahnya. Dan kaidah-kaidah tersebut dikaji dalam IImu Mantik. Dengan demikian, meski secara konseptual (bi’tibar mafhumihi) ilmu ini berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain, tetapi topik utama yang menjadi pembahasan utama dalam ilmu ini akan ditemukan dalam ilmu-ilmu yang lain.
Ilmu Mantik ini termasuk ilmu normatif (ilm mi’yâriy), bukan jlmu deskriptif (ilm washfiy). Ilmu normatif artinya ialah ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya (kamâ yajibu an yakûn) bukan menjelaskan sesuatu sebagaimana adanya (kamâ kâna). Karena itu, IImu Mantik memberikan penjelasan tentang bagaimana seharusnya kita berpikir dengan benar. Dan hal itu tentu akan kita butuhkan ketika kita mempelajari ilmu-ilmu yang lain.
6. Peletak Dasar (al-Wâdhi’)
Ada yang berkata bahwa orang yang pertama kali menggunakan Ilmu Mantik itu adalah Aristoteles. Tapi, kalau kita mau lebih teliti, sebetulnya Aristoteles bukan orang pertama. Ilmu ini sudah dikenal sejak zaman Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato. Bahkan, sebagian sejarawan mengatakan bahwa ilmu ini juga sudah dikenal dalam peradaban Timur, seperti India dan Cina.
Aristoteles adalah orang yang pertama kali mensistematisasi dan mengkodifikasi, bukan menginovasi. Setelah itu, beberapa abad setelahnya ilmu ini dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Kindi, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan ulama-ulama lain. Perlu dicatat, bahwa Aristoteles hanya meletakan prinsip-prinsip dasarnya saja.
Buku-buku mantik yang ada di tangan kita sekarang kebanyakan sudah diimprovisasi oleh para sarjana Muslim. Karena itu, keliru besar jika ada yang berkata bahwa ilmu ini sudah tidak penting lagi untuk dikaji. Karena selain bersentuhan dengan Aristoteles, dalam ilmu ini kita juga akan bersentuhan dengan al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Farabi. Ibnu Rusyd, dan para raksasa intelektual Muslim lainnya.
7. Nama (al-ism)
Mengapa ilmu ini dinamai Ilmu Mantik? Kata “manthiq” adalah bentuk mashdar mîm dari kata kerja nathaqa-yanthiqu, yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan berbicara. Dengan demikian, dari sudut kebahasaan, manthiq berarti pembicaraan (al-kalam).
Lalu apa hubungannya antara kata tersebut dengan ilmu yang membahas tentang kaidah berpikir ini? Apa hubungannya antara kalam dengan berpikir? Tentu ada. Ketika Anda berpikir, sebetulnya akal Anda sedang “berbicara” sekalipun tidak mengeluarkan suara. Antara kalam yang kita ucapkan dengan makna yang kita pikirkan, tentunya memilikj kaitan yang sangat erat.
Makanya ilmu ini dinamai manthiq, seolah-olah mengisyaratkan “pembicaraan” nalar kita ketika kita berpikir. Nah, agar pembicaraan nalar kita itu terstruktur, maka dibuatlah kaidah-kaidah tertentu sebagai tuntunan. Dan kaidah-kaidah tersebut bisa Anda temukan dalam ilmu ini.
Selain dinamai Ilmu Mantik, dalam bahasa Arab, ilmu ini juga dinamai ‘Ilmu al-Mîzân, ‘Ilmu al-Ulûm, “Ilmu Qawânîn al-Fikr, ‘Ilmu al-Istinbath, dan nama-nama lainnya. Secara khusus, Ilmu Mantik yang akan kita pelajari ini sering disebut sebagai manthiq qadîm (logika klasik). Beberapa sarjana kadang menyebutnya dengan istilah manthiq aristhî (logika Aristotelian), dinisbatkan kepada peletak dasar-dasarnya, yakni Aristoteles. Kadang disebut juga sebagai manthiq shûriy (logika formal). Semua itu merujuk pada satu disiplin ilmu yang sama.
8. Sumber Pengambilan (al-Istimdâd)
Dari mana ilmu ini diambil? Tentu bukan dari al-Qur’an, Hadits ataupun teks-teks suci lainnya. Sumber pengambilan Ilmu Mantik hanyalah akal. Meskipun tingkat kecerdasan akal manusia itu bertingkat-tingkat, tetapi ada hukum-hukum akal yang—baik disadari atau tidak—sudah menjadi kesepakatan bersama. Hukum-hukum yang disepakati itulah yang kemudian dijadikan dasar-dasar utama dalam Ilmu Mantik.
9. Hukum Mempelajari Ilmu Mantik (al-Hukm)
Para ulama berselisih mengenai hukum mempelajari ilmu ini. Pertama, kelompok yang mengharamkan. Dua nama yang sering disebut dalam barisan pertama ini ialah Imam Nawawi dan Ibnu Shalah. Keduanya adalah Ahli Hadits terkemuka dalam dunia Islam.
Tapi, harus dicatat, bahwa pengharaman itu tidak bersifat mutlak. Artinya, pengharaman itu hanya berlaku bagi kalangan tertentu dan yang diharamkan juga hanya bagian tertentu saja. Yang diharamkan oleh mereka itu ialah mantik yang memang sudah terkontaminasi dengan gagasan para filsuf yang sudah menyimpang, Dan larangan itu cukup beralasan jika ia ditujukan kepada orang-orang yang tidak punya dasar-dasar keimanan yang kokoh.
Jika Ilmu Mantik yang dimaksud adalah Ilmu Mantik yang sekarang dikaji di pesantren dan kampus-kampus Islam, saya yakin mereka juga tidak mungkin mengharamkan. Fatwa keharaman tersebut harus dilihat dari konteks yang mengitarinya. Kita harus tahu apa yang menjadi dasar keharamannya, juga harus tahu kepada siapa fatwa itu ditujukan.
Lagi pula, sekalipun benar bahwa mempelajari ilmu ini haram, niscaya orang yang memandang haram itu, mau tidak mau, harus mempelajarinya terlebih dahulu. Karena itu, pada akhirnya, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan, keduanya akan “dipaksa” untuk mempelajari ilmu ini.
Kedua, kelompok yang membolehkan. Ilmu ini boleh dikaji sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Dengan syarat bahwa yang mempelajarinya adalah orang-orang yang mampu menjaga keimanannya. Jika tidak, maka, menurut kelompok ini, tidak boleh.
Kekhawatiran semacam ini kadang didasarkan pada sebuah asumsi keliru bahwa mantik itu sama dengan filsafat. Padahal, mantik itu satu hal, sedangkan filsafat adalah hal lain. Mantik itu hanya ilmu ala Umu Mantik tidak ada kaitannya dengan Darwinisme, Marxisme, Komunisme, dan ideologi-ideologi sejenisnya yang sering dianggap sesat. Ilmu Mantik tak lebih dari sekadar kaidah berpikir. Karena itu tak ada yang perlu dikhawatirkan ketika kita ingin mempelajari ilmu ini.
Ketiga, kelompok yang menganjurkan dan mewajibkan, Berbeda halnya dengan dua kelompok di atas, kelompok terakhir ini memandang bahwa hukum mempelajari IImu Mantik itu dianjurkan atau diwajibkan—untuk kalangan tertentu—dengan wajib kifayah, Ulama seperti Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr ad-Din ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Taqiyuddin as-Subki, dan ulama-ulama lainnya, berada di barisan ini.
Bahkan, ulama yang terakhir disebut ini menulis dalam satu bukunya bahwa IImu Mantik itu merupakan salah satu ilmu terbaik dan yang paling bermanfaat dalam segala bidang kajian (min ahsan al-ulûm wa anfa’ihâ fi kulli bahtsin). Lebih jauh, as-Subki menyatakan bahwa orang yang memandang Ilmu Mantik sebagai sebuah kekufuran, atau keharaman, adalah orang bodoh yang tidak mengetahui hakikat kufur maupun halal dan haram. Karena IImu Mantik pada dasarnya hanyalah ilmu yang berusaha untuk mengatur cara kita berpikir.
10. Masalah-Masalah yang Dikaji (al-Masâ’il)
Dalam buku ini, kita akan mengkaji banyak hal. Karena mantik itu merupakan ilmu, maka pada lembaran-lembaran awal kita aka! disuguhkan pembahasan tentang makna ilmu. Apa itu ilmu? Bagaiman para logikawan (manâthiqah) memaknai ilmu? Bagaimana proses manusia dalam memperoleh ilmu itu?
Lalu kita akan membahas tentang dua macam ilmu yang disebut sebagai ilmu hushûliy dan ilmu hudhûriy. Apa perbedaan antara kedua ilmu itu? Dan mana di antara keduanya yang menjadi fokus pembahasan Ilmu Mantik? Selanjutnya ada uraian tentang konsep tashawwur dan tashdiq, yang sedikit-banyak sudah penulis singgung sebelumnya. Setelah itu pembahasan dalâlah (signifikasi). Kemudian taqsîm al-alfâzh (pembagian lafazh), kulliy-Juziyy, mafhûm-mâshadaq.
Lalu ada pembahasan mengenai kulliyât khamsah, sebagai unsur-unsur yang merangkai ta’rif. Dan terakhir adalah pembahasan mengenai ta’rif itu sendiri. Di samping pembahasan tambahan tentang apa yang disebut sebagai qismah, dengan segala macam dan contoh-contohnya. Ini adalah bagian pertama. Biasanya bagian pertama ini disebut dengan istilah tashawwurât (konsepsi-konsepsi).
Sedangkan bagian kedua dikenal dengan istilah tashdîqât (proposisi-proposisi). Di sana ada pembahasan tentang macam-macam propisisi (anwa’ al-qadhâyâ). Kemudian ada pembahasan tentang istidlâl, dengan kedua macamnya. Di sana juga kita akan membahas tentang beberapa konsep penting seperti tanâqudh, tadhâdd, aks mustawî, muwajjahat, dan puncaknya ialah pembahasan tentang qiyâs (silogisme), dengan segala macamnya. Semua itu akan kita kaji satu persatu secara bertahap.
Dinukil oleh Jakarta Book Review