Di depan wajah tersenyum penuh pencitraan, di belakang penuh tipu-tipu
“AWAAAS!” Junior berseru lantang.
Ayako menoleh.
Junior menunjuk ke depan.
“Astaga!” Ayako berseru tertahan.
Dua roket meluncur ke arah mereka.
“Kembali ke kursi, Thomas-kun. Kencangkan sabuk pengaman!”
Ayako membanting tuas kemudi helikopter, bahkan tanpa menunggu Thomas melompat ke kursi terdekat. Tubuh Thomas terhempas ke samping, menabrak dinding helikopter, hendak terpelanting ke belakang. GREB! Bujang lebih dulu menangkap lengannya. Mencengkeramnya.
WUUUSH! Sikorsky X2 meliuk di udara, berhasil menghindar. Tapi roket itu melengkung, berbelok, kembali mengincar mereka. Ayako menggeram, menekan tombol. Dua flare ditembakkan helikopter ke belakang. Menipu gerakan roket.
BOOM! BOOM! Roket itu meledak menghantam flare tersebut.
Helikopter mereka terbanting hebat.
WUUUSH! Ayako mengatupkan rahang, dua tangannya mati-matian berusaha mengembalikan keseimbangan helikopter.Thomas merangkak ke kursi, saat Sikorsky X2 berputar tidak terkendali. Berusaha duduk, memasang sabuk pengaman.
Lima belas detik yang menegangkan (dan dipenuhi teriakan Salonga, “ASTAGA! ASTAGA!”), kendali helikopter kembali pulih. Ayako membawa Sikorsky X2 terbang mengambang, stabil.
“Dari mana roket itu berasal, Junior?” Bujang bertanya.
Junior menunjuk ke depan.
Lihatlah, di bawah mereka hamparan Iembah luas dengan persawahan menghijau, yang dikelilingi hutan lebat di sisi satunya dan pegunungan tinggi di sisi satunya lagi. Ada sungai yang mengalir di tengah lembah. Dan persis di tengah lembah itu, dikelilingi persawahan, ada sebuah bangunan besar di sana. Ayako juga melihat lokasi yang ditunjuk Junior.
Itu adalah dzong, atau benteng. Bangunan khas negeri Bhutan.
Berada di tepi sungai besar yang jernih berbatu. Bangunan itu berbeda sekali. Dengan dinding menjulang tinggi yang mengelilinginya. Di dalamnya terdapat kompleks rumah, gedung, kuil, kantor, atau apa saja. Dinding batanya dicat putih, dengan garis-garis merah di atasnya. Atapnya lebar, dengan bentuk bertingkat. Jendela-jendela dicat kuning keemasan.
Dulu, dzong digunakan sebagai benteng—sesuai nama harfiahnya. Sebagai pertahanan, sekaligus pusat administrasi kekuasaan. Saat damai, bangunan itu bertransformasi menjadi pusat agama, tempat tinggal biksu, kegiatan sosial, budaya, hingga festival atau perayaan di sekitar distrik, penduduk akan berduyun-duyun datang dari rumah mereka menuju dzong.
Hari ini, dzong adalah kawasan wisata menarik di Bhutan. Ada banyak dzong dengan bangunan megah memesona, apalagi posisinya yang berada di tepi sungai, dengan jembatan beratap, menambah eksotis bangunan tersebut. Itulah kenapa Bhutan dikenal dengan sebutan ’negeri seribu benteng’. Tapi yang satu ini, yang terletak terpencil di lembah dengan gunung-gunung tinggi sekitarnya, seindah apa pun pemandangannya, jelas tidak akan dikunjungi turis mana pun.
BLAR! BLAR!
Ada dua orang yang berdiri di salah satu menara ‘dzong, merekalah yang menembaki helikopter dengan peluncur toket, bazoka—senjata yang sama. Dan sekali lagi melepas tembakan.
”Awas, Nyonya Ayako!” Thomas berseru.
Bujang menatap dua roket yang melesat cepat menujy Mereka.
Ayako mengangguk, dia jauh lebih dari siap menyambut serangan. Dia tidak bisa menghindar. Ayako mengatupkan rahang, menekan tombol di panel kemudi.
BLAR! Sikorsky X2 balas menembak. Roket yang dj tembakkan Ayako melesat menuju roket-roket lawan. BOOM! Meledak, efek ledakannya turut menyambar yang satunya lagi, BOOM! Susul-menyusul, dua ledakan merekah di langit-langit lembah.
Melihat serangannya gagal, dua orang di atas menara tersebut bergegas memasang roket lagi di bazoka mereka,
“Kita sepertinya sudah berada di wilayah kawasan mereka.” Bujang berseru, dia melepas sabuk pengaman.
“Benar. Kita sudah berada di dalam koordinat tanah yang dijual.” Thomas ikut melepas sabuk pengaman—yang baru saja dia pasang beberapa detik lalu.
Disusul oleh Junior. Ini ronde berikutnya pertarungan seru. Salonga menghela napas, nasib, sekali lagi dia harus melewati momen menyebalkan ini. Hanya bisa berpegangan erat, memejamkan mata. Dia tambah kesal, karena dia tidak bisa menembak siapa pun untuk melampiaskan kesalnya, sementara yang lain bertarung dengan seru.
Helikopter masih terbang mengambang di langit-langit lembah. Suasana menegangkan menyergap pekat. Bujang, Thomas, dan Junior mengambil kembali senjata mereka.
Tapi Ayako menggeleng, “Kita tidak akan bertarung, Bujang-kun, Thomas-kun. Kita datang hendak bicara baik-baik.”
Masalahnya, pihak di bawah sana jelas tidak tertarik bicara. Dua orang di atas menara telah selesai mengisi ulang bazoka. Mereka mengarahkan pelontar roket itu ke Sikorsky X2.
Ayako mendengus. Ini mulai menyebalkan. Kenapa orang-orang ini tidak bisa diajak bicara baik-baik? Dia bisa mendaratkan helikopter, meminta diantar bertemu dengan Roh Drukpa XX.
BLAR! BLAR! Bazoka itu telah ditembakkan.
Dua roket melesat cepat menuju Sikorsky X2.
Ayako menekan tombol di panel kemudi.
BLAR! Roket meluncur dari helikopter. BOOM! Menghantam roket lawan. Ledakan besar bersama gumpalan asap pekat kembali merekah di atas persawahan. Ayako menghela napas pelan, itu roket terakhir yang dipasang di helikopter.
Sikorsky X2 masih mengambang.
“Kita tidak bisa hanya menunggu, Sensei.” Bujang berteriak dari belakang, dia telah memanggul senjata AK47, ”Mereka ‘jelas tidak akan membiarkan kita lewat.”
Ayako masih berhitung. Sementara dua orang di bawah sana kembali mengisi bazoka.
“Pilihannya hanya dua, Sensei. Kembali, balik kanan, menyiapkan strategi lain. Atau terus maju, bertarung.” Bujang berteriak lagi—mendesak, agar Ayako membuat keputusan.
Ayako mengangguk, baiklah, dia memajukan tuas kemudi helikopter, Sikorsky X2 meluncur ke depan, dengan kepala lebih rendah dibanding ekor. Dia akan melewati benteng ini, terus maju, menuju ke jantung kawasan markas ‘Teratai Emas’
Persis helikopter memasuki jarak tembak AK-47 itu, Ayako membanting kemudi, helikopter berbelok, Memberikan Bujang sudut tembak yang baik. Mereka harus melumpuhkan dua orang di atas menara sebelum melepas roket lagi.
TRATATAT! TAT! TAT! TAT!
Bujang menembak. Peluru AK-47 menyiram menara juga dinding-dinding dzong. Dua tukang pukul itu terjungkal. Jatuh ke bawah sana.
TRATATAT! TAT! TAT! TAT!
Terdengar suara tembakan. Itu bukan dari Bujang, melainkan, bermunculan belasan tukang pukul Iain di bawah sana, di halaman dzong, mereka mengacungkan senjata yang sama, AK-47, balas menembaki. Sambil berteriakteriak marah.
Ayako menggeram. WUUUSH, Sikorsky X2 lincah segera menambah ketinggian, menjauh, peluru mendesing di bawah helikopter. Dzong ini jelas salah satu benteng milik kelompok ‘Teratai Emas’, mereka punya pasukan di bawah sana. Masalah mereka tidak hanya dua orang yang memegang bazoka, tapi puluhan lain yang terus bermunculan. .
Helikopter menjauh, menjaga jarak tembak AK-47.
Junior mengarahkan bazokanya.
“Apa yang akan kau lakukan?” Thomas bertanya.
Junior mengangkat bahu. Menembak ke bawah, apalagi
“Tidak, Junior!” Thomas menggeleng.
Junior menatap datar, kenapa tidak? Senjata ini bisa menembak dari jauh, lebih jauh dari jangkauan AK-47.
“Kau akan merusak bangunan indah itu. Jangan gunakan bazoka. Itu bisa meruntuhkan dinding bangunan yang bersejarah di bawah sana.”
Apa urusannya? Junior kembali membidik, matanya terpicing.
BLAR! Roket meluncur deras ke bawah sana.
Beberapa detik kemudian, BOOM! Salah satu dinding dzong runtuh. Bongkahan batu bata, semen, berhamburan. Orang-orang di bawah sana kocar-kacir.
“Astaga, Junior!” Thomas menepuk dahinya.
Junior sudah jongkok, memasang lagi roket di ujung bazoka.
Demi melihat dzong mereka rusak, orang-orang di bawah sana memutuskan keluar dari dzong, berlarian menyeberangi jembatan kayu, melintasi pematang sawah, mendekat. Seperti air bah, mereka memutuskan mengejar helikopter.
TRATATAT! TAT! TAT! TAT!
Mereka mulai menembaki helikopter. Peluru-peluru dengan kaliber 7,62 mm itu menghiasi langit-langit lembah, berhamburan.
TRATATAT! TAT! TAT! TAT!
Peluru mendesing di samping, atas, bawah_helikopter. Salah satu kaca depan helikopter pecah berhamburan, Ayako merunduk. Atap helikopter robek, cahaya matahari menembus, menyiram wajah Salonga yang masih memejamkan mata.
“Nyonya Ayako!” Thomas berteriak.
Ayako menggeram. Orang-orang di bawah sana benar-benar keras kepala. Dia menarik tuas kemudi, WUUSH, Helikopter itu menambah ketinggian, sekali lagi berusaha terbang menjauh ke luar jarak tembak AK-47.
BLAR! Junior melepas tembakan bazoka.
BOOM! Roket meledak menghantam jembatan kayu atas sungai. Membuatnya runtuh. Tukang pukul yang ada di atasnya terjerembap ke dalam sungai. Berseru-seru marah,
’Astaga, Junior! Kau merusak bangunan bersejarah! Jembatan indah itu hancur!”
Junior menyeringai datar. Tapi itu efektif, bukan? Lihat, sebagian orang-orang di bawah sana tidak bisa lagi mengejar mereka.
Thomas mendengus, tapi tidak berkomentar lagi, dia menoleh ke depan, berseru, “Apa yang kita lakukan sekarang, Nyonya Ayako?”
”Sensei, kita bisa memilih rute lain, terbang memutar menghindari dzong ini!” Bujang balas berseru lebih dulu.
Ayako menggeleng, tidak perlu memutar, dia bisa terbang lebih tinggi melewati tembakan AK-47, menembus pertahanan dzong. Tapi masalah ini tidak sesederhana itu. Tidak ada yang tahu apa yang menunggu di depan sana. Mungkin lebih banyak bangunan dzong, dengan senjata berat melawan serangan udara. Juga di sisi-sisj lain pegunungan, dengan sejarah panjangnya, kelompok ‘Teratai Emas’ tidak akan membiarkan kawasan mereka bisa ditembus siapa pun.
Di bawah sana, sebagian orang-orang yang berhasil melintasi jembatan kayu sebelum runtuh, semakin dekat, berlarian di atas pematang sawah, sambil terus menembakkan AK-47 meskipun pelurunya hanya separuh jalan, mengenai udara kosong.
Baiklah, Ayako menarik tuas kemudi. Menambah ketinggian helikopter. Dia hendak terbang melewati dzong. Sayangnya, kepala helikopter baru mendongak sedetik
BLAR! BLAR! BLAR!
Orang-orang di bawah sana mendadak melepas tiga tembakan bazoka.
“Astaga! Mereka masih ada yang membawa senjata peluncur roket!” Bujang berseru. Sejak tadi dia menatap tajam ke bawah sana, Bujang tidak melihat senjata itu, selain dua orang di menara yang telah berhasil dilumpuhkan. Dari mana senjata itu?
Tidak sempat memikirkan pertanyaan itu, ada masalah yang lebih mendesak.
“NYONYA AYAKO!” Thomas berteriak.
Dinukil oleh Jakarta Book Review