Kebiasaan Melihat Diri Sendiri dari Pandangan Orang Lain
Hal terbesar yang kurasakan selama hidup tiga puluj tahun adalah bahwa orang lain tidak begitu tertarik padaku. Kenyataan itu menghampiriku sebagai sebuah kesedihan. Sebab, aku justru memiliki banyak ketertarikan pada orang lain. Namun, dibandingkan dengan orangnya sendiri, dulu sebenarnya aku lebih tetarik pada sosokku dalam pandangan mereka (kesadaran diri yang berlebihan). Walau begitu, akhirnya aku sungguh tertarik pada orang lain. Sekarang aku penasaran ke mana mereka akan pergi, apa yang mereka akan pikirkan, dan bagaimana perasaan mereka. Aku adalah tipe orang yang memuji orang lain pada hari mereka mengenakan pakaian cantik dan langsung sadar saat orang lain mengganti riasan dan gaya rambut. Aku menemukan kelebihan orang lain secepat menemukan kekurangannya. Oleh karena itulah, kadang aku merasa kesepian saat sadar bahwa tidak ada orang yang tertarik padaku. Saat aku tidak suka dengan pakaian yang kupakai, diam-diam tanpa sepengetahuan yang lain (memangnya mereka harus tahu?) aku akan mengganti pakaianku saat jam makan siang; dan saat menyadari pandangan orang lain setelah aku mengubah gaya rambutku, aku akan merasa gugup sesaat, kemudian merasa lega sekaligus sedih saat sadar bahwa pandangarpandangan itu tiba-tiba sudah hilang.
A: Selamat siang, Dok.
P: Bagaimana nafsu makan Anda? Apakah sudah berkurang?
A: Hm…. Ya. Sepertinya lumayan.
P: Apa porsi makan juga berkurang bersamaan dengan berkurangnya selera makan Anda?
A: Terakhir kali, selain makan camilan berlebihan satu kali karena stres, saya makan seperti biasa. Makan saya cukup.
P: Stres yang seperti apa?
A: Hm… yang paling buruk, saya ingin berhenti bekerja.
P: Kenapa?
A: Saya sudah bicara dengan perusahaan tentang kontrak penerbitan buku yang saya lakukan, tetapi mereka melarang dan mengecam saya. Menurut pendapat bos saya, keputusan saya benar-benar tidak dapat dimengerti dan hanya akan mengganggu pekerjaan saya saja. Setelah membicarakan itu dengan bos saya, perasaan saya jadi buruk. Saya tidak mengerti kenapa perusahaan melarang kegiatan kreatif yang dilakukan secara pribadi di luar jam kerja, padahal saya bahkan tidak tinggal di kantor selama 24 jam. Mungkin bisa dibilang, saya sudah membenci perusahaan saya, tiba-tiba saja semua terasa menjengkelkan. Jadi, rasanya saya ingin berkata kepada bos saya, “Ini kebebasan saya. Kalau saya dilarang menerbitkan buku selama bekerja di sini, saya akan mengundurkan diri.”
P: Bukankah seharusnya Anda memikirkan dulu akibat yang akan Anda terima setelah mengundurkan diri dari perusahaan karena itu?
A: Memang seharusnya saya memikirkannya tetapi entahlah. Hari Jumat saja saya sudah tidak masuk kerja karena sakit. Entah apa akibatnya nanti. Pikiran ingin mengundurkan diri sudah menguasai saya. Selain itu, saya benci dengan diri saya yang menunduk murung memikirkan bahwa orang-orang mungkin akan menghina saya, membenci saya, tanpa saya bisa menyampaikan kehawatiran itu dengan jujur. Saya merasa amat kesal karena kekhawatiran itu terus muncul dalam hati saya, hingga berubah menjadi, “Saya harus mengundurkan diri.”
P: Itu berarti lagi-lagi perasaan Anda dengan sendirinya memutuskan untuk ‘jangan perg bekerja’ dengan sedikit ekstrem. Itu bisa saja menjadi pilihan yang akan menghancurkan dir Anda sendiri. Saya paham dengan kesedihan dan kemarahan yang Anda rasakan sekarang, tetapi Anda secara langsung menghubungkan amarah itu dengan keinginan mengundurkan diri. Jadinya, Anda seperti melarang diri sendiri dengan esktrem (dengan sangat bertentangan) “Jangan pergi bekerja. Jangan menulis buku.”
A: Sebenarnya ini juga masih terlatu dini bagi saya karena saya baru empat bulan pindah divisi, jadi mungkin bisa dibilang saya tidak punya ambisi untuk bekerja? Tidak semua rencana dan ide saya diterima, dan saya hanya perlu mengerjakan buku yang diserahkan kepada saya. Semua orang terlihat sibuk dan hanya saya saja yang tidak. Saya tidak tahu harus melakukan apa. Kebosanan? Tidak ada ambisi. Kelesuan? Perasaan semacam itu… lagi-lagi menghampiri saya.
P: Saat kekecewaan Anda besar seperti sekarang, tentu saja Anda hanya bisa melihat segalanya secara negatif. Saat ini Anda lebih memilih untuk melihat sisi buruk dibandingkan dengan sisi baik. Semakin Anda pikirkan, pikiran Anda akan jadi semakin negatif. Agar bisa berpandangan lebih positif, bukankah lebih baik mengesampingkan situasi yang kita alami barang sejenak dan mencoba memahami situasi yang dialami oleh orang lain?
A: Bagaimana caranya memahami situasi orang lain?
P: Bagaimana, ya. Situasinyakan, terjadi di lingkungan perusahaan, jadi…. Tidak adakah yang bisa Anda lakukan? Yang jelas, kalau Anda memutuskan untuk mengundurkan diri tanpa mencoba memahami berbagai situasi yang terjadi di perusahaan, keputusan Anda bisa menjadi sebuah pengorbanan diri.
A: Pengorbanan? Saya tidak menganggap pengunduran diri sebagai sebuah pengorbanan, kok?
P: Bukankah awalnya Anda bermaksud untuk terus bekerja di perusahaan itu? Jadi, bisa saja pemikiran, “Pekerjaan ini membosankan dan tidak dapat kukerjakan dengan baik, jadi aku harus berhenti” muncul hanya untuk membenarkan pilihan Anda untuk mengundurkan diri.
A: Apa saya terlalu mementingkan perasaan saya?
P: Kelihatan sedikit mementingkan perasaan.
A: Ngomong-ngomong, ini terjadi minggu lalu, dan perasaan itu masih belum reda meski sudah tiga hari berlalu.
P: Karena itu amarah….
A: Lalu, kenapa saya jadi sangat membenci perusahaan saya?
P: Dalam situasi yang serupa, siapa pun akan marah. Akan tetapi, setiap orang punya reaksi yang berbeda terhadap situasi yang serupa, dan keputusan yang diambil pun berbeda tergantung kepentingan masing-masing.
A: Sebenarnya apa itu “kecaman’? Saya tidak mengerti kenapa saya merasa sangat takut dikecam.
P: Sepertinya Anda terus mengecam diri sendiri seraya memikirkan makna ‘kecaman’. Anda berpikir bahwa diri Anda memang seperti yang dikatakan orang lain, Anda melihat diri sendiri dengan pandangan orang lain, seakan Anda telah menjadi mata mereka. Bahkan emosi Anda terasa tanpa henti, tanpa ada penyaring di antaranya dan secara refleks Anda jadi terlalu memperhatikan pandangan orang lain. Kalau sudah begitu, meski Anda memiliki kelebihan ataupun sisi yang berharga, Anda akan membuang kelebihan itu dengan tegas karena pengaruh orang lain. Pada saat Anda mulai merasa terlalu memperhatikan pandangan orang lain, sebenarnya Anda boleh menjadi sedikit lebih egois, mengikuti kata hati, dan memilih arah yang penting bagi Anda.
A: Padahal, tidak ada yang mengecam maupun mengatakan hal buruk apa pun kepada saya, tetapi pemikiran seperti, “Sepertinya seseorang akan mengkritikku di kantor, sepertinya mereka akan membenciku” tetap bermunculan. Saya merasa gelisah dan lelah sendiri.
P: Jika kecaman keras itu berasal dari orang-orang yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan kita, kita bisa mengabaikannya karena kita tidak mendengar kecaman itu secara langsung. Saat mendengarnya secara langsung pun, semua kecaman yang mereka lontarkan, entah untuk menjelek-jelekkan kita atau tidak, pada akhirnya tetap menjadi tidak berarti bagi kita walau kita sudah pasti akan merasa kesal awalnya. Sebaliknya, jika orang yang membenci kita adalah orang yang sangat kita sukai, kita pasti akan sangat terluka. Kedua hal ini perlu dibedakan. Sepertinya, Anda harus lebih jujur dengan perasaan sendiri, dan lebih fokus memandang diri sendiri alih-alih memikirkan pandangan orang lain, karena sepetinya Anda menganggap pandangan Anda sama dengan pandangan orang lain. Sosok kita bagi setiap orang bisa berbeda. Menyesuaikan sosok kita dengan tipe yang disukai oleh setiap orang tanpa disadari, membuat kita menghabiskan energi yang seharusnya untuk orang yang benar-benar kita suka dan menyukai kita—karenga terlalu memikirkan semua orang, dan orang yang kita sukai mungkin akan merasa sedih karenanya. Lalu, lagi-lagi kita akan menyesal karena kita tidak bisa melakukan hal baik untuk orang yang kita sukai. Tidak akan jadi masalah besar, meski kita memisahkan mana hubungan yang berarti dan mana yang tidak, dengan sedikit lebih egois. Karena semua orang juga memisahkan mana hubungan yang berarti bagi mereka. Selain itu, Anda bisa secara tegas mengurutkan pilihan Anda berdasarkan prioritas agar bisa mempertahankan sedikit keuntungan, atau me ngurangi kerugian dan memperoleh banyak keuntungan dari pilihan yang Anda ambil. Saat menentukan suatu pilihan, biasanya pilihan terakhir Anda pasti berasal dari beberapa pilihan ‘lakukan atau tidak’. Pilihan itu sama seperti ringkasan laporan mediasi atau negosiasi ringkasan tanpa menjelaskan proses yang terjadi di dalamnya. Jadi, walau sebenarnya Anda bisa menyelesaikan cukup banyak pekerjaan, Anda menolaknya mentah-mentah. Anda berpikir, ”Ah, pekerjaan ini memuakkan dan tidak penting. Kau saja yang kerjakan semuanya.” Penolakan itu kemudian menjadi kebiasaan, dan mungkin Anda akan menemukan diri Anda sudah tertinggal jauh di belakang setelah waktu berlalu. Kalau sudah begitu, Anda pun akan kehilangan kebebasan. Saya cukup memahami_ kemarahan dan kekecewaan Anda. Akan tetapi, saya harap Anda tidak terlalu merugikan diri sendiri karena amarah.
A: Apa saya membuang terlalu banyak pilihan?
P: Ya.
A: Anda benar. Perasaan saya seperti itu, “Pekerjaan ini memuakkan dan tidak penting, jadi lebih baik berhenti saja.”
P: Mungkin Anda akan menyesal saat telanjur meluapkan perasaan yang terlintas di hati menjadi tindakan. Walau akhirnya Anda sudah menulis surat pengunduran diri, menurut saya lebih baik Anda tetap pergi bekerja dan melarutkan diri dalam pekerjaan, sambil mencari tahu apa yang akan Anda lakukan berikutnya.
A: Saya tidak ingin pergi bekerja.
P: Kalau begitu, Anda bisa memikirkan rencana yang harus dijalankan selanjutnya. Saya harap Anda percaya kepada kekuatan nalar.
A: Saat pikiran saya menuju ke arah radikal begini, Saya jadi sering berpikir buat apa saya hidup kalau jadinya sampai begini. Soalnya, meski ada hal-hal yang membahagiakan, saya masih harug berperang dengan pemikiran radikal itu untuk mendapatkan rencana selanjutnya dan sepertinya kekhawatiran-kekhawatiran itu masih lebih besar dibandingkan kebahagiaan. Saat perasaan saya diselimuti amarah, saya jadi ingin mati saja, Orang-orang di kantor, sepertinya semua larut dalam pekerjaan. Semua lembur…. Hanya saya yang tidak, hanya saya yang pulang kerja seperti biasa, dan sering mengambil cuti tahunan. Saya sering tidak masuk saat sakit, jadi saya pikir tentu saja orang-orang tidak suka dengan saya. Saya tidak ingin bekerja terlalu giat di kantor.
P: Tanpa Anda sadari, Anda telah masuk ke dalam hati orang-orang itu, memperkirakan apa yang akan mereka pikirkan dan membicarakannya seakan itu adalah pikiran Anda. Itu sebabnya Anda merasa bersalah dan rasa bersalah itu muncul sebagai sebuah kemarahan. Orang yang dengan sendirinya berpikir bahwa diri mereka cantik tidak akan terpengaruh saat seseorang mengkritik penampilannya. Di lain pihak, jika kita merasakan kekurangan pada bagian tertentu, tetapi seseorang malah menjadikan kekurangan itu sebagai candaan, tentu saja bagi kita itu bisa jadi bukan candaan melainkan trauma. (Aku tidak begitu paham apa yang dikatakan Dokter).