Ketika Sofia tiba di rumah sore itu, dia terlihat terkejut mendapati Jane ada di sana. “Kau masih di sini?”
“Iya,” jawab Jane. “Aku tidak bisa pulang.”
Sofia bingung. “Kira-kira berapa lama lagi prank ini akan berlanjut? Pasti sudah banyak sekali anggaran yang dikeluarkan sekarang,” bisiknya.
Jane merengut. “Yah, aku tidak bisa menemukan tumahnya.”
“Rumah apa?”
“Rumah Mrs. Sinclair. Di London.”
“Kau pergi ke London?” kata Sofia. Wajahnya jelas terkejut.
Jane mengangguk. “Dengan adikmu.” Dia berusaha tidak merona saat mengatakannya. Tapi gagal. Dia lalu menceritakan pada Sofia tentang pemindahan rumah itv dari tata kota London, perampokan, dan tangga jalan yang “memakan” orang.
Sofia menuangkan anggur untuk dirinya sendiri dan mengangguk. “Kau bertahan dengan penyihir sebagai latar belakang ceritamu, ya?”
Jane mengangguk. “Aku lihat novel-novelku di toko buku,” katanya.
“Oke, tentu saja.” Dia duduk di meja dapur dan menenggak segelas anggur itu sekaligus. Dia menghela napas panjang, lalu menggoyang-goyangnya bahunya, kemudian mengangguk. “Aku aktris profesional. Aku bisa bertahan dengan alur seperti ini hingga besok. Yang mana?” Keenam novel Jane masih tergeletak di meja. Sofia mengambil Persuasion dan memegangnya di depan Jane. “Apa kau tadi lihat yang ini?”
Ada dua hal yang terjadi pada novel itu yang kemudian menjadi topik utama diskusi mereka dan mendorong mereka untuk merencanakan tindakan selanjutnya.
Pertama, buku itu bergetar dan berubah menjadi debu di tangan Sofia. Jane terkesiap. Sofia menjerit.
Kedua, debu itu saling berkumpul lalu hilang tanpa bekas di udara. Kedua wanita itu lagi-lagi bereaksi yang sama seperti sebelumnya.
Jane menatap tangan kanan Sofia yang masih terbuka dan kosong, hanya ada kehampaan di tempat buku kecil itu tadi berada. Sofia juga menatap tangannya dan menuangkan segelas anggur lagi dengan tangan lainnya. Dia menghabiskan anggurnya sambil terus memelototi tangannya yang sempat memegang novel tadi. “Kau lihat apa yang terjadi?” tanya Sofia, berusaha tetap tenang.
“Bukunya menghilang,” jawab Jane, sama tenangnya.
“Tadi ada benda padat di tanganku. Sekarang sudah tidak ada lagi.”
“Aku melihatnya dengan baik,” kata Jane, suaranya mulai gemetar.
“Baguslah,” kata Sofia. “Aku pikir sudah berhalusinasi. Kau bisa menjelaskan apa yang sudah terjadi?” Dia Mengintip ke bawah meja.
“Aku tidak tahu,” kata Jane. Memang benar. Kepalanya seperti berputar. “Apa yang kau lakukan?” “Mencari bukumu di bawah meja,” jawab Sofia terus berusaha. “Mungkin aku menjatuhkannya.”
“Kau tidak menjatuhkannya,” kata Jane.
“Mungkin jika aku melakukan ini…” Sofia menggoyangkan tangannya dan menarikan jemarinya “.. bukunya akan kembali.” Dia membalik tangannya. Bukunya tidak kembali. Dia mengitari ruangan itu. Jane mengikutinya bolak-balik dan jadi pusing karenanya.
“Ayo, kita mulai lagi dari awal,” kata Sofia. Lagi-lagi dengan nada tenang. “Apakah CGI mampu membuat buku menghilang?” “Aku tidak tahu apa itu maksudnya,” jawab Jane. “Tentu saja. iPads bisa melakukan banyak hal keren belakangan ini, tetapi komputer pun tidak bisa menghilangkan molekul,” kata Sofia. “Dan kita tidak sedang berhalusinasi karena mabuk, kau melihatnya juga. Apa kau mabuk?” Jane menggeleng. Sofia berhenti bola balik dan menggebrak meja. “Aku akan bertanya sekarang dan aku harap kau menjawab dengan jujur,” katanya.
“Lanjutkan,” jawab Jane.
“Apakah kau aktris peniru Jane Austen atau bukan, yang berperan untuk adegan kamera tersembunyi yang dirancang oleh produser film yang aku bintangi?” Dia menatap mata Jane lekat-lekat.
“Bukan,” jawab Jane. “Apa yang kau lakukan?”
Sofia sudah duduk dan menenggelamkan kepalanya di antara lututnya. “Aku sedang berusaha tenang agar kepalaku tidak meledak. Sebaiknya kau berusaha juga.”
Jane menempatkan kepalanya di lututnya. Tengkoraknya terasa terbakar. Dia tidak pernah melihat hal semacam itu terjadi. Tentu saja jika pengalamannya menjelajahi waktu itu masuk dalam definisi yang sama.
“Jelaskan padaku, kalau begitu kau mengira dirimu siapa?” kata Sofia setelah beberapa saat.
“Aku Jane Austen,” jawab Jane.
“Begitu, ya? Well, sepertinya menaruh kepalaku di antara lututku tidak menghasilkan apa-apa.” Sofia kembali duduk tegak. “Aku akan kembali ke taktik pertamaku” Dia menuangkan anggur untuk ketiga kalinya, lalu menunjuk Jane. “Kau hendak mengatakan kalau ini bukan CGI? Kau menjelma di antara tirai-tirai?”
“Aku tidak tahu apa itu si-ji-ai.”
“Kau ingin aku percaya kalau kau adalah Jane Austen – penulis yang hidup dua ratus tahun lalu?”
“Iya,” jawab Jane. “Seperti yang aku katakan sebelumnya.”
“Novelis yang menulis Northanger Abbey. Film adaptasi ambisius dan terkutuk yang aku bintangi itu?”
“Walau aku hanya memahami sedikit dari perkataanmu, aku yakin jawabannya iya.”
“Dan kau ada di sini, bagaimana caranya?”
“Aku mengucap mantra, dan—”
“Si penyihir, lobak, dan sebagainya,” kata Sofia sambil melambaikan tangan. “Jadi itu benar?”
“Ya.”
“Saat kau menjelma di antara tirai. Apa yang terjadi padamu?”
“Sulit menjelaskannya,” jawab Jane. “Kira-kira minrip dengan yang terjadi pada bukuku.”
“Butiran debu dan menghilang?”
“Ya,” kata Jane.
Sofia mengangguk. “Jadi kau bukan aktris? Bukan avatar?”
“Sepertinya bukan.”
“Kau bukan kartun?”
“Setahuku bukan.” Jane kemudian mulai paham, bahwa selama mereka bersama, Sofia Wentworth menunjukkan berbagai peristiwa yang berbeda dari kenyataannya “Jadi tadinya kau tidak percaya?” tanya Jane. “Saat aku mengatakan namaku Jane Austen.”
“Kukira kau aktris,” kata Sofia. “Aktris yang buruk,” imbuhnya.
“Apa sekarang kau percaya padaku?”
Sofia menghabiskan anggurnya. Jane menanti jawaban
“Aku tadinya mengira kalau kau adalah aktris yan dikirim untuk mengerjailku, sehingga aku berencana untuk menjadikannya sebagai ajang agar aku terlihat bagus dan bisa mengembalikan suamiku ke sisiku. Aku berharap kemunculanmu yang tiba-tiba dan hilangnya bukumu hanya tipu daya drama.” Sofia menghela napas.
“Masalahnya. Ini yang paling aneh. Debu berubah menjadi manusia. Permisi sebentar.” Sofia berdiri dan mencari botol anggur kedua. Dia membuka botol itu dan mengisi gelasnya lagi. Lalu dia membuka pintu depan. Jane mengikutinya. Sofia mendongak ke arah langit yang berbintang dan menyesap anggurnya. Dia menelannya perlahan. Jane takut Sofia akan pingsan, karena dia terlihat tersedak dan berhenti bernapas, tetapi dia kembali menghabiskan anggurnya. Dia kembali masuk.
“Jadi, singkatnya begitu. Kau adalah Jane Austen. Kau membaca mantra yang didapat dari penyihir dan kemudian menghilang dari masamu, kemudian muncul di antara tirai-tirai. Hentikan aku jika ada yang terlewat.”
Jane diam saja.
“Apakah ada ruginya jika aku percaya padamu dan menerima cerita ini sebagai kebenaran?”
“Aku hanya melihat keuntungan,” kata Jane.
Sofia mengangguk. Dia bangkit dan berdeham. “Aku mewakili semua orang: selamat datang di abad kedua puluh, Jane Austen.”
“Bukankah sekarang abad ke-21?”
“Benar. Lalu apa rencanamu selagi di sini?” tanya Sofia. “Mencari jalan untuk pulang,” jawab Jane.
“Masuk akal.” Sofia mengendikkan bahunya. “Karena semua sudah terjawab, ada pertanyaan selanjutnya.”
“Apa itu?” kata Jane.
“Kenapa novel yang ditulis olehmu menghilang begitu saja?”