Sabtu, 17 Mei 2025
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
Jakarta Book Review (JBR)

Galaksi Andromeda

Oleh Siti Khotijah
28 Desember 2021
di Nukilan
A A
Galaksi Andromeda

Galaksi Andromeda

Kemeterapi Pertama

Nadia terbangun pukul dua dini hari karena merasa haus, Nadia mencoba membuka lebih lebar matanya, tapi ia malah mendapati ruangannya gelap. Semua lampu dipadamkan, Hanya mengandalkan cahaya dari lampu tidur kecil berbentuk bunga matahari. Nadia mengernyitkan keningnya, bertanya-tanya dari mana lampu tidur itu. Nadia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Menurunkan kedua kakinya hingga rasa dingin lantai keramik menyentuh telapak kaki.

Saat Nadia ingin berdiri, dia mendelik kaget menemukan seorang laki-laki tertidur di atas sofa panjang dengan posisi menghadap ke arahnya. Tangan kanannya ia gunakan sebagai pengganti bantal tidur. Panjang sofa yang tidak bisa menampung besar badannya membuat kedua kakinya tertekuk. Kedua matanya yang terpejam dengan raut wajah tenang membuat Nadia dengan perlahan berjalan mendekat membawa serta bantalnya. Melupakan tujuan awalnya terbangun. Dengan sangat perlahan dan hati-hati, Nadia mengangkat kepala Galaksi kemudian menyelipkan bantalnya. Setidaknya dengan sandaran yang empuk membuat kepala Galaksi tidak akan sakit saat bangun nanti.

Nadia tidak langsung beranjak dari posisinya. Gadis itu malah berjongkok di depan wajah Galaksi dengan dagu bertopang diatas kedua lututnya. Dipandanginya wajah Galaksi dengan jantung berdebar dan perasaan hangat yang menyelimuti hatinya.

“Terima kasih sudah menjadi salah satu orang yang membuat hidup singkat seorang Nadia menjadi lebih berwarna,” bisik Nadia tersenyum sampai garis matanya ikut melengkung.

BACA JUGA:

The Power Of Azan

The Culture Code

Scouting For Boys

Transisi, Memahami Proses Perubahan dalam Hidup

Nadia melirik rambut tebal milik Galaksi. Dengan keberaniannya, Nadia meletakkan telapak tangannya di atas kepala Galaksi. Perlahan Nadia menggerakkan jempolnya mengelus kening Galaksi dengan gerakan pelan yang tergolong lembut. Nadia selalu melakukan hal yang sama pada Haykal saat kakaknya itu sakit dan susah tidur.

“Terima kasih udah ngasih tahu gue rasanya jatuh cinta, Galaksi.”

Nadia tersenyum, senyum tulus yang benar-benar berasal dari dalam hatinya. Dia benar-benar berterima kasih pada Galaksi. Menyukai Galaksi membuat Nadia mengerti seperti apa itu jatuh cinta. Galaksi memberitahukannya banyak hal.

“Terima kasih juga gak kabur setelah tahu gue sakit.”

Setelah puas mengelus rambut dan kening Galaksi, Nadia segera menjauhkan tangannya dari kepala Galaksi kemudian bangkit dari posisinya. Dia kembali berbaring di atas ranjang dengan tangan kanan sebagai pengganti bantalnya. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum ketika menyadari posisinya yang dengan sengaja menyamping berhadap-hadapan langsung dengan Galaksi.

“Selamat malam,” bisiknya di tengah keheningan malam kemudian memejamkan kedua matanya.

Beberapa menit keheningan menyelimuti ruangan. Badan Galaksi tiba-tiba bergerak. Ia mengubah posisinya menjadi telentang disusul dengan kedua matanya yang terbuka. Galaksi mendengar semua yang dikatakan Nadia. Dia sudah terbangun semenjak gadis itu mengubah posisi tangannya, tapi membiarkan kedua matanya tetap terpejam. Kini Galaksi hanya terdiam memandangi langit-langit ruangan Nadia dengan perasaan yang sulit digambarkan. Di satu sisi hatinya terasa mengembang hingga rasanya ingin meledak. Namun di sisi lain ada kecemasan yang teramat besar yang perlahan mulai menggerogoti hatinya,

Pagi-pagi sekali, Ana sudah mendatangi ruangan Nadia dengan satu paper bag besar berisikan makanan kesukaan Nadia. Semua makanan ini ia beli kemarin. Kemudian ia panaskan sebelum berangkat berkunjung. Untungnya Leon mengabari kondisi Nadia saat ini. Jadi, Ana bisa langsung mengawasi kesehatan Nadia.

Ketika membuka pintu, orang yang pertama kali dilihat Ana adalah Galaksi. Cowok itu sedang berbaring di sofa sambil bermain game di ponselnya, masih mengenakan seragam sekolah. Tidak ada kehadiran Nadia di sini. Ana meletakkan paper bag-nya di atas meja lalu duduk di sofa sengle dekat Galaksi.

“Nadia ke mana?” Tanyanya.

Belum sempat Galaksi menjawab, Nadia sudah lebih dulu muncul dari balik pinta kamar mandi. Matanya memicing melihat Galaksi masih di sini. Seharusnya dia sudah berangkat ke sekolah dari tadi.

“Udah jam berapa ini, Gal!” Tegur Nadia berjalan menuju ranjangnya.

“Masih jam tujuh,” sahut Galaksi enteng. Ana melotot. Enak banget  nyautnya.

“Mending berangkat sekarang daripada telat. Macet, kan” Bujuk Nadia. Awalnya Galaksi tidak ingin pergi ke sekolah karena Nadia sendirian, tapi Nadia bersikeras agar Galaksi masuk gekolah karena dia sudah kelas 12. Tidak baik kalau keseringan membolos.

“Jadi gue diusir nihP” Galaksi menoleh ke arah Nadia.

“Bukan begitu,” geram Nadia frustasi. “Lo juga udah pake seragam. Berangkat sana!”

Galaksi mengedikkan bahunya acuh, “Bisa diganti, kok. Apartemen deket.”

Nadia memejamkan kedua matanya. Berusaha meredam kekesalannya karena keras kepala Galaksi. Kalau Galaksi di sini seharian bersamanya, bagaimana Nadia harus membentengi hatinya? Ana yang sedari tadi diam bersikap seperti penonton mulai bergerak mengeluarkan tempat makan warna-warni miliknya.

“Gimana kalo kita makan dulu. Aku lapar,” Ana menyeletuk diiringi cengiran lebar di wajahnya. Nadia mendengus sebal. Ditambah lagi Galaksi yang mengubah posisinya menjadi duduk. Siap memberantas makanan yang sedang disajikan Ana.

“Kak Ana, Galaksi harus sekolah,” Nadia seperti seorang ibu yang memarahi sang kakak yang menghasut sang adik.

“Habis makan gue sekolah, kok,” sahut Galaksi menerima piring yang diberikan Ana. Nadia yang melihatnya semakin melotot.

“Kak Ana!” Seru Nadia membuat Ana yang sedang memberikan sayur capcai ke piring Galaksi menoleh kaget.

“Galaksi mau sekolah! Dia udah telat. Kak Ana kenapa jadi agasih dia makan, sih?”

“Pamali udah niat mau makan, tapi gak jadi. Kalo ada apa-apa di jalan gimana gara-gara gak jadi makan?” Ana dengan santainya kembali menambahkan lauk ke piring Galaksi.

Memang pada dasarnya perut Galaksi tempat penampungan. Dia menerima dengan senang-senang saja. Dia juga tadi hanya sempat minum susu kotak saat pulang untuk mandi ke apartemennya.

“Enak, kan?” Tanya Ana saat melihat Galaksi makan dengan lahap.

“Enak banget,” sahut Galaksi mengacungkan jempolnya, Nadia hanya bisa mendengus melihat tingkah Galaksi dan Ana.

“Kamu udah minum obat?” Ana beralih menatap Nadia yang duduk bersila di atas ranjang. Tidak ada infus yang menancap di tangannya karena Nadia tidak memerlukannya.

Nadia hanya perlu pengawasan beberapa hari ini. Ana juga sudah menggunakan koneksinya untuk bisa memantau kesehatan Nadia beberapa hari di sini. Untungnya Nadia bukan gadis yang terlalu keras kepala. Dia masih menurut dengan Ana asalkan Ana tidak menyinggung-nyinggung soal apa pun penyebab Nadia menghilang.

“Udah,” sahut Nadia agak ketus. Dia lalu membaringkan badannya dengan posisi membelakangi kedua orang yang sedang makan dengan lahap itu. Galaksi menghabiskan nasi dan lauk di piringnya tanpa sisa. Padahal Ana memberikan nasi dan lauk tiga kali lipat dari porsi makannya. Ana sampai berdecak kagum dengan porsi makan Galaksi yang luar biasa.

“Perut udah kenyang. Tinggal tidur, deh,” Galaksi menyeletut santai seraya menyenderkan punggungnya dengan kedua mata terpejam. Ana langsung memukul kencang betis Galaksi hingga cowok ini mengaduh kesakitan.

Bangun kamu! Sekolah sana!”

“Udah telat,” sahut Galaksi sambil mengusap-ngusap betisnys gang terasa nyeri dan panas sekaligus.

“Gak usah alasan!” Delik Ana. “Sana berangkat

Galaksi mendengus pelan. Pandangannya beralih pada punggung Nadia yang tampak tenang. Ada perasaan takut dan cemas yang menyelimuti hatinya.

“Dia gak papa. Saya yang jamin,” Ana tersenyum lembut pada Galaksi. Ana tidak yakin sebenarnya, ada hubungan apa antara Nadia dan cowok yang diketahuinya bernama Galaksi ini. Mungkin teman dekat atau lebih. Ana hanya bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dari cara mereka berdua memandang satu sama lain.

Akhirnya, dengan perasaan yang mulai sedikit tenang, Galaksi beranjak dari sofa. Setidaknya, Ana adalah dokter pribadi Nadia. Ana tidak akan mungkin membiarkan hal buruk terjadi.

Siangnya, Nadia sudah pindah ke Rumah Sakit Medika untuk menjalani kemoterapi setelah dibujuk oleh Ana dan Juli, dokter yang sementara waktu merawat Nadia. Ana dan Leon sudah mengurus semua hal yang berkaitan dengan administrasi untuk menjalani pengobatan di sini. Ana tetap akan menjadi pendamping Nadia meskipun ia tidak bisa sepenuhnya mengontrol pengobatan Nadia di sini. Sebab rumah sakit ini bukanlah tempat di mana Ana bertugas. Untungnya dokter Nadia di sini adalah seniornya waktu di universitas.

Rencananya hari ini setelah mendapatkan hasil tes darah, Nadia akan menjalani pemasangan kateter. Meskipun terlihat santai, tapi Nadia tidak bisa menghalau berbagai macam pikiran dan bayangan-bayangan tentang proses kemoterapi yang akan ia jalani. Nadia tahu bagaimana efek samping dari kemoterapi yang akan ia jalani, tapi Nadia lebih takut kalau kemoterapi yang dijalaninya tidak berhasil menghambat pertumbuhan sel kanker di dalam tubuhnya.

Tok tok tok… “Masuk.”

Hal pertama yang Nadia lihat saat pintu ruangannya terbuka lebar adalah satu buket besar bunga matahari yang menutupi setengah badan seseorang. Dari perawakannya jelas bukan Ana, Dia seperti laki-laki karena tinggi badannya jelas bukanlah tinggi badan perempuan Indonesia.

“Siapa ya?”

Dia melangkah masuk, mendekati Nadia yang menatapnya tanpa berkedip dengan sorot penuh kewaspadaan. Dia berhenti tepat di depan Nadia lalu menurunkan buket bunga di tangannya hingga menampakkan jelas wajah yang sedari tadi tersembunyi.

“Bang Arga!” Pekik Nadia.

‘Laki-laki dengan seragam loreng kebanggaannya itu tersenyum lembut memandang Nadia. Dia meletakkan buket bunga di nakas lalu memeluk Nadia yang sudah dibanjiri air mata.

“Kenapa baru datang?” Kata Nadia di sela-sela tangisnya. “Maafin Abang, ya?”

Nadia mengangguk kemudian melepaskan pelukannya. Ia menyapukan lelehan air matanya di lengan seragam pria ini. Dia Arga, kakak sepupunya yang berprofesi sebagai tentara. Arga adalah orang yang paling dekat dengan Nadia di antara sepupu-sepupunya yang lain. Arga memperlakukan Nadia seperti adik kandungnya sendiri karena Arga sendiri adalah anak bungsu dari tiga bersaudara.

“Tahu dari mana aku di sini?” Tanya Nadia setelah tangisnya reda. Arga duduk di sisi ranjang Nadia.

“Dari Leon.” “Abang lama banget tugasnya.”

Arga terkekeh. Kalau dipikir-pikir dia memang sudah sangat lama tidak bertemu dengan Nadia. Mungkin 2 tahun lebih mengingat saat terakhir bertemu Nadia masih terlihat seperti anak-anak. Sekarang, adik kecilnya ini sudah tumbuh menjadi gadis cantik.

“Maaf, ya?”

Nadia mengerucutkan bibirnya. “Maaf terus, deh. Gak capek apa?”

Arga menggeleng. Pandangannya tak beralih dari wajah pucat Nadia. Melihat kurusnya tubuh Nadia saat ini membuat dadanya terasa ditikam ribuan batu. Dulu Nadia tergolong anak perempuan yang memiliki badan cukup berisi. Terakhir mereka bertemu juga Arga masih ingat pipi Nadia yang masih begitu tembam. Rasa bersalah perlahan mulai menyelusup ke dalam hatinya.

“Abang udah makan?”

“Udah tadi sebelum ke sini.”

“Kenapa masih pake seragam?” Tanya Nadia menarik-narik pelan lengan seragam Arga.

“Selesai lapor Abang langsung ke sini. Belum sempet pulang.”

“Nadia, satu jam lagi kamu udah masuk ruang operasi. Nan…. ups, sorry.”

Nadia maupun Arga sama-sama menoleh ke arah sumber suara yang ternyata adalah Dokter Juli. Wanita itu terpaku di depan pintu dengan pandangan lurus ke arah pria berseragan loreng yang kini sudah beralih berdiri di samping Nadia.

Sorot matanya yang lembut membuat Juli tak bisa mengalihkan pandangannya. Ditambah lagi dengan tubuh tegap nan gagah yang terbalut seragam lorengnya itu. Ana tak kuasa menahayn matanya untuk tidak menatap Arga. Lelaki itu terlalu menggoda untuk diabaikan.

“Kak Juli kenalin, ini Bang Arga. Kakak sepupu aku, celetuk Nadia membuat Juli mengerjapkan kedua matanya lalu melemparkan senyum tipis. Dengan kontrol wajah yang sudah profesional, Juli berjalan menghampiri Nadia.

“Hasil tes darah kamu bagus. Jadi, nanti siang udah bisa mulai pemasangan kateter. Bentar lagi ada suster yang bawain makanan,” jelas Juli. Gerak-gerik Juli tentu saja tak lepas dari pandangan Arga. Dokter berwajah manis ini sampai salah tingkah sendiri dibuatnya.

“Kak Juli, udah makan?” Tanya Nadia yang dijawab gelengan oleh Juli.

“Kebetulan Abang juga belum makan. Kita makan bareng, ya di sini.” “Ha?!”

Arga agak terkejut mendengar perkataan Nadia. Apalagi disusul kedipan genit dari gadis ini. Dia sih tidak masalah makan lagi, tapi melihat respons yang dikeluarkan dokter manis ini membuat Arga jadi bertanya-tanya. Kenapa harus sekaget itu? Mereka cuma makan bersama bukan tidur bersama.

“Tapi aku harus visit pasien lain.”

“Ini kan jam makan siang,” nada suara Nadia mulai merengek. Juli melirik Arga dan Nadia bergantian. Alasan Juli yang ingin mengunjungi pasien lain memang benar, hanya saja bukan sekarang. Juli masih memiliki waktu satu jam sebelum melakukan visit. Juli hanya tidak ingin mempermalukan dirinya nanti di depan tentara. Apalagi tentara seganteng ini. Benar-benar idaman Juli.

“Tunggu di sini. Saya belikan nasi padang di depan,” putus Arga membuat Nadia berseru senang dan Juli menipiskan bibirnya pasrah. Bagaimana bisa menolak kalau seluruh badannya lebih memihak untuk mengiyakan makan bersama dengan tentara ganteng. Kesempatan gak datang dua kali, Juli.

SendShareTweetShare
Sebelumnya

I Want Ti Die But I Want To Eat Tteokpokki 2

Selanjutnya

Another Seyra

Siti Khotijah

Siti Khotijah

Redaktur Jakarta Book Review

TULISAN TERKAIT

The Power Of Azan

The Power Of Azan

18 April 2022
The Culture Code

The Culture Code

7 April 2022
Scouting for Boys

Scouting For Boys

5 April 2022
Transisi, Memahami Proses Perubahan dalam Hidup

Transisi, Memahami Proses Perubahan dalam Hidup

4 April 2022
Selanjutnya
Selanjutnya
Another Seyra

Another Seyra

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Mengupayakan Keadilan di Bumi  [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

Mengupayakan Keadilan di Bumi [Timbangan atas Buku “Just Earth” Tony Juniper ]

23 April 2025
Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

Paus Fransiskus: Antara Keberanian, Kasih, dan Visi Masa Depan

22 April 2025
Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

Perginya Pengusung Agama yang Ekologis Penuh Kasih [Obituari Paus Fransiskus]

22 April 2025
PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

PELAN TAPI SUKSES; FILOSOFI KUNGKANG MIRIP “OJO KESUSU”

21 April 2025
menemukan cinta

PELUKAN HANGAT BAGI YANG “TERSESAT”, PENAT, DAN INGIN MENEMUKAN CINTA

21 April 2025
Ksatria JEDI Bernama Farhan Helmy dan Sepenggal Kisah tentang Pembiayaan Inovatif untuk Disabilitas dan Lansia

JEDI Knight Farhan Helmy and a Story of Innovative Financing for the Disability and Elderly

21 April 2025

© 2024 Jakarta Book Review (JBR) | Kurator Buku Bermutu

  • Tentang
  • Redaksi
  • Iklan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Masuk
  • Beranda
  • Resensi
  • Berita
    • Berita Utama
    • Berita Buku
  • Kolom
  • Pegiat Buku
  • Ringkasan
  • Kirim Resensi

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In