Pukul 20.45: Izinkan Aku Menangis demi Dia, Ibu!
Aku menyeka mataku yang mulai mengembun.
Tidak. Aku tak akan pernah menangis, Ibu. Walaupun dulu sebelum pergi kau mengizinkan aku untuk menangis demi dia.
Ibu memang tahu segalanya. Bahkan sebelum kematiannya datang menjemput, Ibu sempat mengatakan kalimat dan senyuman ganjil itu. Dulu aku tidak mengerti apa maksudnya. Sekarang aku baru mengerti. Paham.
Berbagai kejadian menyakitkan siap menjemputku secara beruntun bulan-bulan berikutnya. Kejadian yang terkait dengan kembalinya Kak Ratna dalam kehidupan dia. Aku sekarang mengerti mengapa Ibu mengizinkan aku menangis demi dia, tidak untuk yang lain.
Ah, Ibu tahu sejak awal. Aku menyukainya. Menyukai malaikat penolong kami. Bahkan sejak kami masih suka duduk di depan rumah kardus menunggu dia datang. Menatap bulan sepotong yang indah dari sela-sela pohon linden.
Aku menghela napas. Sudah lama sekali aku tepekur di lant dua toko buku terbesar kota ini.
Mengenang semuanya.
Hujan semakin menggila di luar. Di sinilah aku dulu menata ke luar jendela bertiga dengannya. Sebelum esoknya kembali ke Singapura. Di sinilah aku merasa setidaknya masih punya sepotong tempat yang berharga, remah-remah dari Kak Ratna. Dan itu cukup untuk membantuku menyelesaikan bulan-bulan akhir senior high school-ku. Bulan-bulan yang berat.
Karena setiap saat, entah itu saat di kelas, entah saat di dorm, saat mandi, saat hendak tidur, saat makan, saat apa saja, aku sempurna membayangkan dia.
Dia yang di belakangnya berdiri Kak Ratna.
Pernahkah kalian menonton film yang jagoannya baru datang pada detik-detik terakhir? Ketika kekasihnya akan maju entah melakukan atau menerima apa, pasangan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang di detik-detik yang menentukan itu (dengan cara spektakuler pula). Melalui sebuah adegan lambat yang memesona, semua penonton terkesima. Bersorak menyambut kedatangan sang jagoan! Dan pasangannya sambil berdenting air mata maju ke medan laga entah melanjutkan apa yang akan dikerjakannya.
Itulah yang terjadi padaku saat graduation day.
Setelah berjuang habis-habisan di ujian terakhir, akhirnya aku berhasil melampui 0,1 digit si nomor satu selalu. Tipis sekali. Aku mendapatkan predikat terbaik. Kepala Sekolah SMA-ku menyerahkan penghargaan kristal pohon lime kepadaku. Dan saat aku akan menerimanya, dia masuk terburu-buru ke dalam ruangan auditorium. Berseru melambai. Mengesankan.
Jantungku berdetak kencang. Bahagia.
Kejutan! Benar-benar kejutan. Ternyata dia datang di hari kelulusanku. Kenapa tidak bilang-bilang? Bukankah Dede dalam e-mailnya terakhir malah menulis, om Danar sedang sibuk di Jepang. Tapi sekarang dia ada di sini. Sendirian? Datang khusus untukku?
Ya Tuhan! Tidak, lihatlah, di belakangnya ternyata ada Kak Ratna yang mengiringi. Ikut bertepuk tangan bersama wisudawan dan undangan lainnya. Semua bayangan hebat dalam film-film itu langsung runtuh seketika tak bersisa.
Dia memang kemudian menjelaskan jauh-jauh hari sudah berjanji akan datang saat wisudaku. Sesempit apa pun schedule-nya. Tetapi kenapa dia harus datang bersama Kak Ratna. Kenapa? Pidato yang kusiapkan jadi kacau-balau. Aku setelah tertegun beberapa saat di atas podium hanya berkata pendek (membiarkan hatiku yang mengambil alih).
“Semalam aku telah menyusun kalimat yang panjang dan indah. Sekarang semuanya hilang entah ke mana….’ Tersendat.
Aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum lebar. Kak Ratna, Kak Ratna memeluknya mesra.
“Terima kasih, Tuhan….” Aku menggigit bibir.
“Terima kasih, Ibu…. Semoga Ibu melihatnya dari surge…. Semoga Ibu tersenyum dari sana…”
Aku tercekat. Betapa berbeda menyebut nama Ibu sekarang.
Kerongkonganku kering. Ada selarik cahaya yang keluar dari hatiku, menghunjam seketika ke atas, membuat mataku berkaca-kaca. Ya, lihatlah aku sekarang, Ibu….
Lihatlah anakmu!
Benar-benar berubah.
Anak kumuh dan kotor itu sudah berubah. Anak yang berlepotan jelaga asap mobil, debu jalanan, sekarang tumbuh menjadi gadis berambut hitam legam dengan tatapan mata yakin memandang masa depan.
Seperti mimpi Ibu dulu…. Mataku berkaca-kaca.
Tidak. Aku pernah berjanji kepada Ibu. Tidak akan menangis segetir apa pun jalan hidup yang harus kulalui. Apalagi sekarang semua ini penuh kebahagiaan. Aku lulus SMA. Alih-alih jalan hidup yang pahit dulu.
“Terima kasih, Bapak…. Adikku…. Dan… dan….
Ya Tuhan, berat sekali mengatakannya.
“Dan untuk seseorang….”
Ibu, aku tak akan pernah bisa menyebutkan namanya ( itulah sebabnya sepanjang mengenang seluruh kisah ini aku hanya bisa menyebutnya dengan kata: dia atau seseorang).
“Seseorang yang bagai malaikat hadir dalam kehidupan keluarga kami… Seseorang yang membuatku rela menukar semua kehidupan ini dengan dirinya. Seseorang….”
Aku gemetar, buru-buru turun dari podium itu. Sebelum kalimatku semakin kacau. Tidak peduli kalimat itu ganjil menggantung. Beruntungnya, undangan tidak terlalu peduli, mereka ramai bertepuk tangan.
Kepala Sekolah SMA-ku, seorang ibu dengan wajah menyenangkan memelukku. “Pidato yang bagus, Tania…. Well, meskipun kami tetap sedikit pun tidak punya ide siapa seseorang itu. Siapa ya?” Aksen Inggris-nya sempurna. Menggodaku.
Ketika aku keluar dari ruangan auditorium, dia memelukku erat-erat. Kak Ratna juga. Dia menggelengkan kepala amat senang, tersenyum amat bangga.
“Lihatlah pengamen kecil yang kakinya dulu tertusuk paku payung. Gadis yang menangis karena kakinya berdarah! Lihatlah! Dunia seharusnya belajar banyak darinya.” Tertawa kecil, dia pura-pura meninju bahuku.
Aku hanya menunduk. Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa perasaan di hatiku sekarang. Tidak terkatakan. Semua ini sungguh membanggakan. Aku ingin sekali memeluknya saking bahagia. Tetapi kan ada Kak Ratna di sana. Merusak suasana.
“Kau gadis yang luar biasa, Sayang!” Kak Ratna membantu membawakan piala tadi.” Tahukah kau. Danar tadi sempat berkaca-kaca mendengar pidatomu.”
Saat itu aku tidak peduli mendengarkan kalimat itu. Tetapi beberapa hari kemudian aku baru menyadarinya, kalimat itu menimbulkan banyak pertanyaan. Bukankah dia selama ini tidak pernah menangis untuk siapa pun?
Kami bertiga berjalan beriringan menuju ruangan resepsi makan siang graduation day. Ada banyak kabar baik yang aku terima saat makan siang. Salah satunya adalah: NUS memberika satu kursi untukku di kelas terbaik mereka semester depan. Kepala Sekolah SMA-ku dengan bangga menyerahkan surat undangan itu. Apa pun pilihan jurusanku. Beasiswa hingga lulus.
Sayangnya semua kabar bahagia itu tertutup begitu saja beberapa saat kemudian oleh sebuah kabar yang bagai petir di siang hari, datang amat mengejutkan. Meruntuhkan semua harapan. Membuatku tergugu, berpikir tentang hari esokku yang tiba-tiba sama sekali tidak menyisakan puing lagi. Puing-puing yang mungkin bisa dibangun kembali.
Semuanya sudah berakhir.
Saat makan malam di China Town (“Aku ingin membuktikan kata-kata Dede. Dia kan sering banget bohongin ‘Tante’-nya. Itu alasan Kak Ratna kenapa kami makan di sana), dia menyampaikan “rencana hebat” tersebut.
Saat aku termenung sendiri menatap ekor barongsai.
‘Kami akan menikah, Tania!” Dia tersenyum.
Kak Ratna mesra memegang tangannya. Ikut tersenyum. Menatap bahagia.
Aku tersedak. Buru-buru mengambil gelas air putih di hadapanku.
“Kamu kaget, Tania?” Kak Ratna membantu menyerahkan tisu. Mukanya bercahaya oleh ketulusan dan persahabatan. Namun, aku entah kenapa benci sekali melihatnya.
Aku buru-buru memperbaiki sikap (urusannya bisa runyam kalau aku bertingkah seperti kanak-kanak). Mukaku memang telanjur memerah. Semua ini mengejutkan.
“Ya…. Tania kaget.” Aku memasang ekspresi itu.
“Kami juga kaget saat memutuskan itu, Tania.” Dia tertawa pelan. Kak Ratna tersipu di sebelahnya.
“Kapan?” Suaraku antara terdengar dan tidak.
“Danar baru bilang oke seminggu yang lalu… di rumah.” Kak Ratna yang menjelaskan.
Bukan itu yang kutanyakan, desisku dalam hati. Bukan kapan yang itu (Lihatlah! Kak Ratna tidak nyambung, Kalau urusan mengerti pembicaraan orang lain, otakku lima kali lebih cepat dibandingkan Kak Ratna. Bagaimana mungkin dia memilihnya? Aku sirik mengeluh dalam hati. Lupa kata-kata Anne dulu).
“Maksudku, kapan menikahnya?” Aku berusaha keras memasang wajah ingin tahu seorang “adik” yang sewajarnya senang menerima kabar itu.
“Tiga bulan lagi.’ Kak Ratna menyebutkan tanggal.
Dan aku langsung merasakan jalur jalan pecinan yang merah menyala itu gelap seketika. Ekor barongsai itu seperti sedang melilitku, membuatku susah bernapas.
Itu berarti tidak lama lagi.