So, kenapa aku ngerasa insekyur?
Kamu tahu apa itu insekyur? Insecurity adalah perasaan tidak ampu atau tidak cukup baik yang sering kali membuat kita berada pada situasi ketidakpastian atau bisa kita sebur dengan padanan kata “ketidakamanan” atau “merasa rentan”, Perasaan tidak aman ini membuat kamu mengalami kecemasan tentang tujuan-tujuan dalam hidup, hubungan, hingga kemampuan untuk mengatasi situasi tertentu. Setiap orang pernah memiliki perasaan tidak aman dari waktu ke waktu dan penyebabnya bisa bermacam-macam. Penyebab perasaan ini bisa datang dari kejadian yang menimbulkan trauma, pengalaman masa lalu, kondisi sosial (dari mengobservasi orang lain), hingga lingkungan sekitar (sekolah, pekerjaan, hingga rumah kamu).
Perasaan insekyur juga bisa berasal dari ketidakstabilan emosi secara umum. Kamu mungkin paham dengan orang yang labil emosinya. Orang yang mengalami gangguan tak terduga dalam kehidupan sehari-hari lebih cenderung merasa tidak aman tentang sumber daya dan rutinitasnya. Perasaan ini tidak memiliki penyebab eksternal yang pasti. Ini bisa muncul sebagai kekhasan pribadi atau kimia otak. Memahami arti insekyur dan penyebab insekyur yang kamu rasakan tidak hanya bisa membantumu mengelola dirimu, tetapi kamu juga bisa mendapatkan dukungan dan solusi yang tepat bagimu.
Tentu saja kamu akan selalu merasa tidak aman. Apalagi, jika kamu terlalu sering mendengar berita tentang kejadiankejadian membahayakan yang ada di sekitarmu. Yang paling gampang adalah, kamu merasa tidak aman bepergian dengan pesawat terbang, hanya karena kamu mendengar berita tidak mengenakkan tentang sebuah kecelakaan pesawat terbang bulan lalu. Ada impuls di otakmu yang meyadarkan bahwa kamu harus berhati-hati. Inilah awalnya yang disebut dengan perasaan tidak aman atau insecurity itu sendiri.
Hal ini tidak selalu berhubungan dengan analisis matematis objektif dari sebuah ancaman. Kematian karena kecelakaan di jalan adalah bahaya yang jauh lebih besar daripada kecelakaan pesawat, namun pesawat jauh lebih menakutkan daripada mobil. Mengapa? Sebagian karena familiarity, yang mungkin tidak melahirkan rasa jijik, melainkan justru rasa percaya diri. Risiko yang sudah kamu kenal menjadi kurang menakutkan untukmu. Monster yang telah kita lihat beberapa kali akan menjadi tidak terlalu mengejutkan lagi. Kamu tahu cara mengemudikan mobil, kamu tahu sesuatu dan cara kerjanya, serta kamu mungkin tahu pengemudinya jika kamu tidak benar-benar menyetir sendiri. Maka, inilah bahaya yang bisa kamu kendalikan. Ini membuatnya kurang menakutkan.
Familiarity juga memungkinkanmu untuk mempelajari seberapa besar risikonya. Dengan demikian, menjadi lebih mudah untuk membawa ketakutan kita sejalan dengan tingkat bahaya yang sebenarnya. Memang, familiarity kemudian dapat menimbulkan kecerobohan. Karena mobilnya nyaman, kamu tidak pernah mengalami kecelakaan. Kamu merasa yakin bahwa kamu bisa keluar dari masalah. Kemudian, kamu mengemudi terlalu cepat, dan menemukan bahwa kamu telah meremehkan bahayanya.
Perasaan tidak aman juga akan tergantung pada sesuatu yang kamu jadikan perbandingan. Tidak ada konsepsi ‘mutlak’ centang ketidakamanan ini. Kamu akan merasa lebih tidak aman dari waktu dan tempat lain yang kita tentukan sendiri. Saat ini, orang di Eropa dan Amerika cenderung membandingkan rasa ketidakamanan di tempat kerja dengan ‘zaman keemasar’ pascaperang 1950-an dan 1960-an. So, mereka sekarang, menurut klaimnya, akan merasa kurang aman bila dibandingkan dahulu sewaktu periode pascaperang tersebut. Klaim itu bagaimanapun juga ditentang? Tentunya tidak semua orang mengalami peningkatan atau penurunan dengan cara yang sama, bukan?
Usia adalah faktor lain yang menentukan pengalaman rasa amanmu. Orang mungkin akan mencapai usia paruh baya dan membayangkan bahwa tiga puluh tahun sebelumnya kehidupan mereka lebih cerah, lebih aman, dan lebih keemasan. Sebagian besar kecemerlangan masa muda muncul dari penglihatan superior masa muda; sensitivitas semua indramu menjadi kurang tajam secara harfiah dan substansial seiring bertambahnya usia. Masa lalu bisa terasa lebih aman, karena kamu tidak harus berdiri di atas kaki sendiri sebagai orang dewasa. Masa lalu mungkin terasa menakjubkan, karena harapan dan asumsimu belum ternoda dan digerogoti hari-hari yang melelahkan selama bertahun-tahun. Saat ini mungkin terasa lebih mengancam, jika kamu—secara harfah—merasa kurang aman di kakimu sendiri, kurang yakin dalam genggamanmu sendiri, dan kurang jelas dalam persepsimu sendiri. “Hati-hati’, yang tua menasihati anak-anak mereka, seperti yang selalu mereka lakukan. Anak . muda, seperti biasa, terkadang bijaksana, dan terkadang bodoh, untuk menanggapi nasihat-nasihat itu.
Dalam debat kebijakan sosial, bentuk ketidakamanan yang paling menonjol di benak orang kebanyakan adalah ketidakamanan material. Dalam psikologi, tidak mengherankan, diskusi tentang rasa ketidakamanan menyangkut dimensi psikologis dan eksistensialnya akan selalu ada. Satu dimensi tidak mengecualikan yang lain, tentu saja; psikolog akan setuju bahwa ketidakamanan material dapat meningkatkan kegelisahan pribadi menjadi sangat kronis. Namun, ada dimensi lain yang mungkin lebih penting dari ketidakamanan psikologis. Selama abad yang lalu, kemajuan paling signifikan dalam pemahaman kita tentang ketidakamanan eksistensial telah dibuat oleh JeanPaul Sartre dan, terlebih lagi, Martin Heidegger, berdasarkan tulisan Kierkegaard dan Nietzsche. Mustahil untuk melakukan keadilan terhadap pekerjaan mereka dalam agenda buku teks kebijakan sosial, tetapi penting setidaknya untuk dicatat bahwa ternyata banyak rasa ketidakamanan justru dapat muncul dari cara kamu memahami identitasmu sendiri.
Yes, problem eksistensialisme.
Kamu tidak memahami siapa kamu dan untuk apa kamu eksis di dunia ini. Karena hanya dengan memahami apa ‘peranmu’ dilahirkan di dunia inilah, kamu bisa menerima diri kamu seutuhnya. Entah aku pernah menulis di buku yang mana, bahwa setiap manusia itu mempunyai misi jiwanya sendiri sendiri dan itu yang harus kamu temukan,
Eksistensialis mengkritik gagasan diri sebagai komoditas; objek untuk dibeli, dijual, dipromosikan, dan dihias. Untuk apa kamu menjadikan dirimu sendiri sebagai objek begitu? Tidak lain tidak bukan ya salah satunya karena problem rasa ketidakamanan material tadi. Rasa ini membuat dan melegalkan segala cara untuk menjadi “kaya” dengan instan. Ada juga yang membuat dan melegalkan segala cara untuk menjadi “ganteng dan cantik” dengan instan. Iklan di televisi atau di YouTube akan berusaha menyiratkan bahwa dengan membeli komoditas yang ditawarkan, pelanggan akan memenuhi kebutuhan nonmateri yang benar-benar utama di antara mereka yang sudah memiliki makanan dan tempat tinggal. Beli cokelat dan Anda akan mendapatkan kesenangan, ketenangan, rasa hormat, kenyamanan, ketenangan pikiran, seks, status, harga diri, atau apa pun. Begitu juga iklan akan menciptakan stigma yang digunakan untuk membentuk konstruksi sosial yang sudah kamu pahami sebelumnya.
Apakah ada yang membutuhkan soda karamel hari gini? Padahal barang ini hampir tidak mengandung bahan-bahan yang berharga, dan harganya mahal. Tapi, bagaimana jika itu diberi merek Coca-Cola, yang sudah sukses secara global? Jika kamu mengonsumsinya, kamu bukan lagi menjadi orang desa yang tidak update dengan perkembangan zaman. Begitulah proses insecurity dimulai. Imbasnya? Sekarang, kalau nggak pakai kaus merek tertentu, nggak gaul.
Banyak lho yang kena mental hanya gara-gara bully semacam ini.
Nah, dari masa-masa perang—yang pasti di negara kita pun juga mengalami trauma-trauma yang sama, lambat laun zona aman kita pun berubah. Dulu mungkin saja kalau kamu tidak berjuang membela negara dengan ikut batalyon perang, kamu akan dikucilkan dan dianggap sebagai pengkhianat negara. Masa itu pilihannya hanyalah berkorban atau mati konyol, bisa saja.
Karena situasi keamanan nasional sudah aman, miasalah ketidakamanan berikucnya sudah jelas adalah finansial. Ada jurang yang besar sekali antara si kaya dan si miskin di negara ini.
Coba tengok video-video dua anak orang kaya yang selalu membuat konten tentang kekayaan di media sosialnya. Buat apa?
Coba tengok video-video drama Korea dengan aktris dan aktor yang ganteng dan cantik—flawless, glowing, tanpa cacat, atau bahkan tanpa jerawat pun. Tahu apa efeknya buat anak-anak muda di negara ini?
Ya itulah yang terjadi. Kita tidak bisa menyalahkan siapa yang membawa efek apa bagi masyarakat kita. Semua itu ya memang harus terjadi untuk proses pendewasaan diri masyarakat negara ini. Namun, sayangnya ya banyak yang belum menjadi lebih dewasa untuk memaknai segala hal yang masuk ke dalam hidup mereka.
Sudah makin penasaran dengan bukunya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.