Benar apa yang dikatakan Setra tentang senja. Dia tidak abadi, hanya berlangsung selama sekian menit sebelum terganti oleh malam. Meski senja akan selalu kembali, tidak ada jaminan kita dan esok dipertemukan lagi. Senja adalah cara matahari mengajari dunia menghargai setiap keindahan, tidak peduli sesingkat apa keindahan itu terlihat oleh pandangan.
Mereka nongkrong agak sedikit lebih lama di rooftop karena Rasi ngotot mau melihat bintang—yang sebetulnya tidak terlalu tampak karena polusi cahaya kota. Di lift, saat mereka hendak turun kembali ke lantai bawah, Eden sengaja mengambil tempat di pojok, bersebelahan dengan Emir. Tinggi badan Setra dan Rasi membuat Eden yang mungil cukup tersembunyi, dan itu bagus. Eden jadi punya waktu bicara dengan Emir meski hanya sesaat.
“Gimana?” Eden bertanya tanpa suara, yang Emir balas dengan acungan jempol. Oke, itu berarti sudah aman baginya untuk berpisah dari Setra dan Rasi.
“Heaven, lo mau langsung pulang?”
“Iya, kayaknya. Soalnya jam segini, biasanya nyokap gue udah balik. Gue bilang ke dia kalau gue bakal pulang sebelum jam delapan malam.”
“Ibu kamu kerja?”
Eden beralih pada Setra, lalu mengangguk. “Dia perfumer.”
“Whoa, keren!” Rasi berseru, matanya membulat sepert mau loncat dari tempatnya. “Dulu, nyokap gue kerja di salah satu majalah fashion. Nggak persis merhatiin perfume, tapi Mama pernah bawa beberapa sample ke rumah dengan bau yang beda, beda. Terus—hng… intinya gitu.”
“Kerja di majalah?”
“Sebagai kepala redaksi atau editor in chief,” Setra angkay bicara, membuat Eden manggut-manggut sebelum kecurigaan menghampirinya.
“Kalian udah saling kenal sebelum ini, ya?”
“Heaven—”
“Udah,” Setra memotong, melirik pada Rasi yang memilih batal bicara.
“Kok, nggak bilang?!”
“Biar jadi kejutan,” Setra tertawa renyah, cukup untuk jadi alasan kenapa Eden mendadak lupa segalanya. Cewek itu terpana, lalu membuang muka ke sembarang arah. Dia jelas salah tingkah dan parahnya, kini pipinya mulai memerah.
Kalau aja punya muka ganteng itu tindakan kriminal, pasti Kak Setra udah kena hukuman penjara seumur hidup, Eden membatin dalam hati. |
“Kamu dijemput atau gimana?”
“Naik bus, Kak. Biasanya juga gitu, kok.”
“Pulang bareng gue aja, deh. Bahaya tahu buat anak gadis naik pus jam-jam segini, tuh,” Rasi nyeletuk.
“Ini belum lagi jam tujuh malam. Waktu les persiapan skelulsa? sekolah juga gue biasa baru balik jam segini dan selalu naik bu’ Gue bukan anak manja kayak lo, yang anti naik transporta’ umum,” Eden berdecak. “Kalau gitu, kita pisah di sini aja kali, yal
Mereka terlalu sibuk bicara sambil berjalan, tidak sadar sudah tiba di depan pintu lobi utama mal.
“Kamu udah tahu halte yang ada di dekat sini?”
“Udah. Aku selalu ke mana-mana naik bus. Ada halte kok di dekat sini, cuma butuh jalan kaki sekitar lima menit.”
“Saya temenin, deh.”
“Eh, nggak usah repot-repot, Kak!”
“Apa gue aja yang temenin?”
Eden menoleh pada Rasi dan ekspresi wajahnya berubah drastis. “Nggak usah. Nanti pas gue naik bus, lo malah bingung harus ke mana dan malah nyasar!”
“Dih, kok lo ngebeda-bedain gitu, sih?!”
“Ngebeda-bedain apanya?” Eden malah balik bertanya.
“Sama Kak—” Canggung tergambar jelas di wajah Rasi, tapi akhirnya cowok itu tetap meneruskan ucapannya dengan susah payah. “—-sama Kak Setra lo ngomongnya lembut banget. Sama gue jutek banget. Heaven, let me tell ya, membeda-bedakan orang itu is not something okay to do. It’s so hurtful to my feelings, you know?”
“Orang kayak lo nih, emang pantasnya dilukai.”
Setra langsung jadi penengah. “Gimana kalau kita bareng aja jalan ke halte yang dimaksud Eden?”
“Ih, nggak usah repot-repot, Kak Setra!”
“Nggak apa-apa,” ucap Setra sambil menatap ke langit kebiruan dari balik pintu kaca besar di depan mereka. “Lagian, malam ini.
Cuacanya bagus. Udah lama juga sejak kali terakhir saya jalan kaki di trotoar. Santai aja.”
Eden tersipu, yang direspons Rasi dengan membuang muka sembari mendengus kesal.
Emir mengikuti tanpa mengatakan apa-apa. Kelihatannya, Rasi jarang berjalan-jalan di trotoar ibukota sendirian. Cowok ity beberapa kali bergumam takjub ketika menyaksikan pemandangan lazim yang kerap ditemui setiap hari di jalanan. Tidak hanya sampai di situ, Rasi juga sempat memekik terkejut waktu dig melihat manusia perak lampu merah yang tengah beristirahat d bawah naungan kanopi depan sebuah pos polisi, tengah bersiap menghapus cat perak yang melapisi sekujur badan.
“Dia manusia milenium ya?!”
“Jangan norak, deh.”
“Di New York nggak ada yang begituan!” Rasi membela diri. “Tapi dia keren. Beda sama boneka mampang. Boneka mampang is so scary. Gue nggak bisa tidur di malam hari setelah kali pertama gue lihat mereka di lampu merah yang gue lewatin. Kreatif banget ya orang-orang Jakarta. Gue nungguin deh sampai ada cosplay manusia petir di jalanan. Atau Thor sekalian. Gue suka Thor. Lo tahu Avengers nggak, Heaven? Dari semua anggota Avengers, lo paling suka yang mana? Dari dulu gue nggak pernah ganti—“
“Gue nggak suka superhero.”
“Kenapa nggak suka?”
“Superhero cuma ada di film. Di dunia nyata nggak ada yang kayak gitu.”
“Heaven, superhero itu ada di dunia nyata. Hanya saja, sosok mereka agak sedikit berbeda dari yang digambarkan film-film,” Rasi menukas kalem. “Misalnya guru-guru lo… abang Go-Jek yang nganterin makanan lo waktu malam-malam hujan dan lo lagi laper-lapernya… dokter yang ngobatin lo saat le sakit.., nyokap
lo… atau kalau lo mau, gue bisa jadi superhero buat lo, kok.” “Hadeh.”
Cengiran Rasi malah makin lebar dan secara tak terduga, dia mulai menyanyikan salah satu bagian dari lagu One Call Away milik Charlie Puth. “I’m only one call away… I’ll be there to save the day… Superman got nothing on me… I’m only one call away…”
“Rasi, tolong ya—”
“Call me, baby, if you need a friend… I just wanna give you love… Come on, come on, come on… Reaching out to you, so take a chan– argh, again?! Heaven, lo sehobi itu ya, nendang gue?”
“Suara lo jelek. Malu, bikin kita dilihatin orang.”
“Oke, suara gue mungkin nggak sebagus Charlie Puth, tapi tawaran gue yang tadi masih berlaku loh. Gue bisa jadi superhero buat lo kalau lo mau.”
“Nggak usah. Makasih.”
“Loh, ini beneran! Makanya, balik sama gue biar bisa gue jagain!” Rasi malah makin semangat.
“Thanks, tapi gue lebih suka naik bus daripada naik taksi online.”
“Kenapa, sih? Sesebel itu ya sama gue?” nada suara Rasi berubah muram dan itu membuat Eden jadi tidak enak hati.
“Nggak. Gue emang nggak suka naik taksi online.”
“Kenapa gitu?”
“Gue nggak suka naik transportasi umum yang modelnya terlalu pribadi, yang isinya cuma gue sendiri.”
“Kan ada gue.”
“Tetap aja, gue lebih suka naik bus,” Eden ngotot, sejenak lupa pada kehadiran Setra—juga Emir—yang pasrah jadi penonton ajang debat tanpa ujungnya dengan Rasi. “Lo itu suka nyebelin, tapi bukan itu alasan kenapa gue nggak mau balik bareng lo. Sebenarnya, kita bisa aja balik bareng kalau lo mau naik bus. Itu pun kalau rumah kita satu rute. Sayangnya, lo nggak suka naik bus, kan?”
Rasi cemberut, diikuti helaan napas dalam. “Gue bukan nggak suka, Atau nggak mau, Tapi gue nggak bisa.”
“And it’s okay,” Eden menimpali sebelum Rasi mulai berpikir ngelantur dan menganggapnya membenci cowok itu. Buat Eden, kata benci adalah sesuatu yang tidak bisa digunakan semaunya, Ada bagian dari karakter Rasi yang tidak dia sukai, tetapi apa itu lantas jadi pembenaran baginya untuk membenci seseorang yang belum dia kenal dekat? Tentu saja tidak. “Ponsel lo nggak ketinggalan lagi, kan?”
Rasi nyengir, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Aman.”
“Bagus.”
“Tapi beneran lo mau pulang sendiri?”
“Gue bukan anak TK dan halte pemberhentiannya juga nggak terlalu jauh dari rumah gue. Daripada mengkhawatirkan gue, mending lo mengkhawatirkan diri lo sendiri sebab dari muka lo, Jo ini orang yang gampang nyasar.”
“I don’t know why but this doesn’t feel so right. Gue nggak suka jihat lo pulang naik bus sendirian. Gue mau nemenin lo, tapi gue nggak bisa—”
“Biar aku aja,” Setra menyela, membuat Eden dan Rasi kompak menoleh, Alis Eden terangkat karena tidak seperti yang sudah gudah, Setra menggunakan kata ‘aku’ ketika bicara dengan Rasi pukan ‘saya’,
“Fine. Seenggaknya lo nggak sendirian,” Rasi jelas menghinda picara langsung dengan Setra, memilih menatap lekat pada Eden.
“Anyway Eden, boleh saya minta nomor ponsel kamu? Tenang, saya nggak akan ganggu kamu, kok. Cuma… saya rasa saya butuh—”
“Boleh, Kak. Aku tahu Kakak bukan orang nggak bener yang bakal menyalahgunakan kontak aku, kok. Sini, biar aku masukkin nomor aku di ponsel Kak Setra.”
“Gue juga mau, dong!” Rasi menyambar, tidak mau kalah.
“Buat apa juga lo punya nomor gue?”
“Heaven, lo ngasih nomor lo ke—ng—ke Kak Setra, masa nggak mau ngasih nomor lo ke gue?! Lo nggak boleh pilih kasih, dong! Be fair, Girly. Be fair!”
Eden mengembuskan napas, menyerah karena capek berdebat dengan Rasi dan memberi nomor ponselnya sesuai permintaan cowok itu. Cengir lebarnya yang khas kembali terlihat, membuat rasa kesal Eden jadi jauh berkurang. Bertepatan dengan Eden selesai menyimpan nomor ponselnya di direktori kontak ponsel Rasi, bus yang dia tunggu datang.
“Bus gue udah dateng. Lo nggak apa-apa gue tinggal duluan?”
Rasi mengangguk. “Gue tinggal mesen taksi online aja. Gue nggak akan nyasar.”
“Mana ada juga orang yang nyasar pulang ketika dia naik taksi online,” Eden memutar bola mata sebelum melanjutkan langkah menapaki tangga menuju halte. Setra tidak langsung mengikutinya, tapi menatap Rasi sebentar, lalu berbisik dalam suara samar. Eden tidak mendengarnya, tetapi bisiknya cukup jelas bagi Rasi.
“Rasi,”
Rasi tersekat, hampir lupa bagaimana caranya bernapas. “… iya?”
Setra tersenyum, agak canggung, tapi jelas dia tulus dengan kata-katanya. “Hati-hati, ya.”
“… iya.”
Kak Setra juga, Rasi menyambung dalam hati tanpa menyuarakannya keras-keras, Setra berbalik, memunggungi adiknya dan mengikuti Eden yang sudah lebih dulu berdiri di luar garis batas, menunggy penumpang dari dalam bus turun. Diam-diam, ada senyum lega bercampur senang tertarik di wajahnya. Dia tidak menoleh lagi. Sesuatu yang disesalkan, sebab jika dia menoleh, sudah pasti, dia akan mendapati Rasi juga sedang berusaha keras menahan senyum.
Tidak jauh berbeda dengannya.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian buku b klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.