Menghadapi orang tak dikenal itu seperti melihat sumur yang tak terlihat dalamnya, sulit diduga. Repotnya, kebanyakan orang mudah percaya dengan penampilan luar yang memikat. Di buku terbitan Gramedia ini Malcolm Gladwell menunjukkan fakta-fakta kuat bahwa kebanyakan orang sering salah memahami orang tidak dikenal yang akhirnya menimbulkan problem ruwet di kemudian hari.
Kemampuan membaca lawan bicara sungguh penting, terutama dalam pertemuan yang memiliki konsekuensi serius. Mantan jurnalis New Yorker ini menyajikan contoh-contoh faktual yang menyadarkan kita bahwa menggali isi hati lawan bicara bisa berimplikasi mengubah sejarah.
Seorang ekonom Harvard University bernama Sendhil Mullainathan, bersama 3 ilmuwan komputer, dan seorang pakar uang jaminan dari Chicago University menciptakan sebuah aplikasi komputer khusus yang diujicoba di New York City tahun 2014.
Dengan algoritma tertentu, komputer didesain mampu menganalisa para kriminal dengan menilai kemungkinan melakukan kejahatan lagi atau tidak. Mullainathan menginput data 554.689 kriminal antara tahun 2008-2013, lalu meminta komputer membuat analisa berdasarkan input matematik.
Setelah itu analisa komputer dibandingkan dengan hasil kerja hakim. Pada saat itu hakim membebaskan (dengan jaminan) sebanyak 400 ribu dari 554.689 orang. Sementara komputer memiliki pilihan lain. Setelah dibandingkan, ternyata komputer membebaskan 25 persen lebih sedikit pelaku kejahatan berulang daripada hakim.
Mesin itu dapat menanadai 1 persen ‘kriminal risiko tinggi’. Dari jumlah itu, setengahnya terbukti melakukan kejahatan lagi. Namun saat para ‘kriminal risiko tinggi’ ini berhadapan dengan hakim, mereka tidak diidentifikasi sebagai berbahaya. Dari jumlah yang ditandai komputer, hakim melepas 48.5 persennya.
Dalam adu pertandingan antara komputer dan manusia itu, komputer terbukti lebih akurat. Padahal hakimlah yang berhadapan, bersentuhan langsung, bahkan berdialog dengan para kriminal itu, sedangkan komputer tak melakukan kontak apapun.
Kesimpulannya, penampilan bisa menipu dan kontak langsung tak menjamin pengenalan dengan baik. Memahami orang asing tidaklah sesederhana melihat kulit buah dan dengan mudah menebak matang atau tidak. Kesalahan manusia dalam proses membaca individu lain dapat berujung ke situasi yang sangat merugikan, bahkan berbahaya.
Membaca lawan bicara, meskipun tampak sederhana, dapat mempengaruhi sejarah. Ketika perdana menteri Inggris Neville Chamberlain datang ke Jerman untuk bertemu Hitler, ia mengalami dilema rumit memahami pemimpin Jerman ini.
Pada 1938, Chamberlain diterima Hitler di rumah peristirahatannya di Berchtesgaden. Pertemuan itu digelar di tengah isu Jerman akan menyerang Sudetenland, teritori bagian Cekoslowakia yang penduduknya berbahasa Jerman. Invasi Jerman ke wilayah itu hampir pasti akan memicu perang dunia.
Chamberlain disambut dengan hangat, diantar dengan konvoi 6 mobil Mercedes, dan Hitler manyalaminya dengan menjabat dua tangan. Pertemuan itu cukup lama dan keduanya sempat berbincang, berargumen, makan minum, dan berjalan-jalan.
Chamberlain menggambarkan Hitler sebagai pria bersemangat dan bukan gila. Pemimpin Jerman itu terlihat menunjukkan sikap ‘badai sudah berlalu’ dan ditangkap Chamberlain sebagai ‘perang sudah selesai’.
Pada saat itu sebenarnya Chamberlain bertindak wajar memahami orang tak dikenal berdasarkan gestur dan arah pembicaraan. Namun apa yang terjadi? Pada Maret 1939 Hitler menyerbu Cekoslowakia, tak sampai enam bulan setelah berjanji damai dengan Chamberlain. Lalu enam bulan kemudian Hitler menyerbu Polandia, maka perang dunia pun pecah.
Saat dunia sedang membutuhkannya, Chamberlain malah terpesona oleh penampilan Hitler sehingga kalah langkah di meja perundingan dan gagal memperingatkan pria berkumis aneh itu tentang konsekunsi sangat berat bagi Jerman kemudian.
Buku ini tidak bicara tentang kemampuan membaca gestur atau intuisi. Justru hal itu dianggap menyesatkan. Banyak orang cerdas macam Chamberlain tertipu oleh pesona artifisial. Dalam hal ini orang yang lebih mengenal Hitler ternyata bukan orang yang melakukan kontak langsung, tetapi justru yang tidak pernah bertemu.
Narasi yang dibangun Gladwell bernuansa kontraintuitif, didukung oleh studi ilmu sosial dan saebreg studi kasus yang relevan. Misalnya kasus Amanda Knox, Bernie Madoff, Sylvia Plath, dan penyiksaan Khalid Sheikh Mohammed.
Malcolm Timothy Gladwell, lahir 3 September 1963, adalah seorang jurnalis, penulis, dan pembicara publik Kanada yang banyak berkiprah di Amerika Serikat. Buku ini adalah karyanya yang ke-6.
Judul : Talking to Strangers
Apa Yang Seharusnya Kita Ketahui Mengenai Orang Tak Dikenal
Penulis : Malcolm Gladwell
Genre : Psikologi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2020
Jumlah Halaman : 400 halaman
ISBN : 978-602-06-3542-2
Diresensi Oleh Jakarta Book Review