Dukungan Hizbullah untuk Hamas di Gaza telah menyeret Lebanon ke dalam konflik Israel versus Hizbullah, sekaligus Israel versus Iran. Bukan hanya Hizbullah yang memang jadi target langsung Israel, masyarakat Lebanon secara luas juga menanggung segala akibat dari perang. Korban meninggal menurut Menteri Kesehatan Lebanon di akhir bulan September saja sudah hampir mencapai 2.000 orang, 8.000 orang lebih mengalami luka, kehancuran infrastruktur, banjir para pengungsi, serta kekacauan berbagai pelayanan publik akibat perang.
Di Lebanon selatan, kehancuran sudah sedemikian merata. Fasilitas-fasilitas publik milik Hizbullah jadi target serangan. Bukan hanya yang terkait dengan perang, tetapi juga jaringan dan fasilitas pendidikan, kesehatan serta fasilitas ekonomi Hizbullah. Hizbullah diperkirakan mengalami kontraksi hebat atas situasi ini. Sebab, tak hanya kombatannya yang menghadapi situasi krisis, tetapi juga sokongan sosial, logistik, dan sumber ekonominya.
Kondisi ini memperparah situasi di Lebanon akibat kegagalan politik dan ekonomi Lebanon selama beberapa tahun terakhir. Hingga saat ini, Lebanon tidak memiliki presiden padahal kepemimpinan presiden dalam situasi sekarang amat dibutuhkan. Lebonan saat ini juga tidak punya perdana menteri tetap. Najib Miqati yang menjalankan fungsi itu hanya sebagai caretaker. Pucuk pimpinan yang ada saat ini hanya ketua parlemen, yaitu Nabih Berri dari partai Amal Syiah. Menurut konstitusi Lebanon yang didasarkan pada sharing power sektarian, presiden harus dari Kristen Katolik Maronit, perdana Menteri dari Muslim Sunni, dan ketua parlemen dari Muslim Syiah.
Kegagalan politik juga diiringi kegagalan ekonomi dan bidang-bidang lain. Kebijakan publik apa pun yang bertentangan dengan kepentingan salah satu dari elite-elite sektarian, maka akan dipatahkan. Karena itu, Lebanon gagal menghasilkan keputusan-kepurusan besar yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak. Keputusan yang “lucu” seperti memajaki tiap pesan Whatsapp malah pernah diambil yang kemudian melahirkan kontroversi luas.
Di tengah situasi kacau itu, Samir Geagea (baca Ja’ja’) dari partai Kristen Lebanese Force berupaya membangun dialog nasional dengan topik al-difa an allubnan (mempertahankan Lebanon). Tujuan yang dinyatakan dari inisiatif ini adalah untuk memperoleh satu kata tentang sikap Lebanon terhadap konflik Hamas-Israel dan Israel-Iran. Faktanya, inisiatif ini juga tidak banyak memperoleh dukungan dari tokoh-tokoh nasional. Bahkan partai dalam koalisisnya sebagian juga tidak mendukung. Lawan-lawan politiknya justru menuding Samir Geagea mengeksploitasi situasi kritis untuk memperoleh jabatan presiden yang sudah lama kosong.
Para pengritik inisiatif Geagea yang pada umumnya punya kedekatan dengan Hizbullah mendukung ketua parlemen Nabeh Berri sebagai “representasi” Lebanon saat ini. Berri juga menggencarkan diplomasi untuk memperoleh pemecahan Lebanon atas masalah ini. Namun, lagi-lagi para penentang Hizbullah menyebut Berri tidak lain adalah representasi Hizbullah dan hanya menyuarakan kepentingan Hizbullah dan Iran. Hizbullah memang menyerahkan negosiasi persoalannya kepada Berri. Sebab, sebagai organisasi yang dicap teroris oleh sebagian negara-negara, sulit bagi perwakilan langsung Hizbullah untuk berbicara langsung dengan negara-negara tersebut. Faktanya memang benar bahwa Berri berasal dari Muslim Syiah tetapi dari partai Amal yang merupakan pesaing berat Hizbullah untuk meraih suara masyarakat syiah Lebanon.
Pro dan Kontra
Di tengah meluasnya oposisi dalam negeri di Lebanon terhadap Hizbullah dan Iran, Iran juga menggencarkan diplomasi tinggi di Lebanon. Menteri Luar Negeri Iran datang ke negeri ini pada 4 Oktober untuk menyatakan dukungan Iran terhadap negeri itu menghadapi krisis saat ini. Tak lama kemudian ketua parlemen Iran juga datang sekaligus membawa pesan dari Rahbar pemimpin tertinggi Iran Ali Khomenei. Ia menyatakan Iran sepenuhnya mendukung rakyat dan pemerintah Lebanon untuk menghadapi Israel.
Sedangkan para kritikus dalam negeri Lebanon menyebut kedatangan para pemimpin Iran di Lebanon bukan untuk mendukung Lebanon seperti yang dinyatakan tapi untuk menghancurkan Lebanon dengan mendukung Hizbullah. Perpecahan dalam negeri Lebanon sudah lama terjadi, termasuk salah satu pemicunya adalah senjata Hizbullah. Hizbullah berpandangan mereka berhak untuk memiliki senjata dan membangun kekuatan di wilayah selatan Lebanon demi perlawanan terhadap Israel. Istilah perlawanan jadi pusat legitimasi, identitas, dan kebanggaan Hizbullah dalam membangun kekuatan yang melampaui kekuatan tentara nasional Lebanon.
Para pengkritiknya sebaliknya berpandangan bahwa supremasi kekuatan militer Hizbullah membahayakan kehidupan politik, sosial, hukum, dan lainnya di Lebanon. Para pengkritik itu memperoleh momentum dengan kehancuran Lebanon akibat manuver dan petualangan Hizbullah yang diklaim untuk mendukung Hamas di Gaza saat ini. Apalagi janji Hizbullah selama ini adalah senjata yang mereka miliki itu digunakan untuk mengalahkan Israel, serta melindungi rakyat dan negara Lebanon. Faktanya, kehancuran hampir merata di wilayah Selatan Lebanon. Hizbullah bahkan gagal untuk melindungi masyarakat Syiah dan para pemimpinnya sendiri.
Kedatangan para pemimpin Iran ke Lebanon tidak lain untuk menyatakan bahwa Iran tidak melepaskan dukungan terhadap Hizbullah dan Lebanon dalam situasi terdesak saat ini. Iran punya komitmen kuat meskipun saat ini menghadapi badai hebat. Iran juga sepertinya berupaya membangun kembali “organisasi” perlawanan itu setelah sebagian besar para pemimpin terasnya dan banyak pemimpin menengah baik politik maupun militer tewas karena serangan Israel.
Sebaliknya, para penentang Hizbullah di Lebanon sepertinya juga mengambil momentum kehancuran saat ini untuk melepaskan Lebanon dari dominasi Hizbullah dan Iran. Langkah ini tentu diinginkan oleh Israel dan sekutunya. Israel sangat ingin memutus koneksi Hamas-Hizbullah. Oleh karena itu, campur tangan Israel ke dalam negeri Lebanon sudah lama terjadi, dan kali ini dalam perkiraan penulis hampir pasti terjadi, meski penulis belum memperoleh data pernyataan publik Israel yang menunjukkan hal itu.
Apakah hasil-hasil dari perang yang sepertinya belum akan berhenti dalam waktu dekat ini akan membawa Lebanon jadi negara Arab yang keluar dari orbit Iran? Atau sebaliknya perang akan membawa dominasi dan pengaruh Iran dan Hizbullah makin kuat di negara ini? “Hasil-hasil” perang dan negosiasi pascaperang akan menentukan hal ini. Yang jelas, berlanjutnya perang akan berdampak lebih buruk untuk rakyat Lebanon bahkan kawasan secara umum dan menimbulkan lingkaran kekerasan. Gencatan senjata dan proses perundingan, betatpun sulitnya, adalah satu-satunya jalan penyelesaian.
Bacaan terkait
Ismail Haniyah, Tarekat, dan Perlawanan Melawan Penindasan [Menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia]
Mengungkap Sejarah Islam yang Tak Terungkap
Jerusalem: Saksi Sejarah Segala Zaman
Peringati Ulang Tahun ke-13, Penerbit Rene Turos Group Bagikan Buku “Anak-Anak Ajaib Gaza”












Ulasan Pembaca 1