Resensi buku Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, kisah hidup dan pemikiran sang pembaru Islam, karya Shalih Ahmad al-Syami, penerbit Zaman
Pada saat popularitasnya ada di puncak menara gading, Imam Ghazali justru merasa berada di tubir jurang. Ia mendapati keadaan dirinya tenggelam dalam banyak ikatan dan status yang mengepung darinya segala sisi. Saat derajat intelektualitasnya sedang tinggi dan tersohor, ia telah dijajah penampilan luar yang mendominasi dan mengambil alih arah hidupnya.
Kehidupan al-Ghazali sudah mapan dan makmur sebagai akademisi di Madrasah an-Nizamiyah, Baghdad. Namun ia merasa telah tersesat menekuni banyak ilmu yang tidak berguna bagi jalan akhiratnya dan cenderung melihat ilmu sebagai disiplin teori, bukan kedalaman amal.
Al-Ghazali dikenal sebagai ahli fikih dan filsafat. Filosofinya banyak terinspirasi Ibnu Sina, Socrates, Aristoteles, dan Plato yang di tangannya dikembangkan sedemikian rupa hingga melebihi ilmu kalam karena filsafat al-Ghazali dibangun di atas enam disiplin ilmu, yaitu matematika, logika, ilmu alam, ketuhanan, politik, dan etika.
Ghazali sangat disegani di kalangan ulama saat itu karena kepintarannya menjelaskan, berargumen, dan berdebat. Pada saat itu para ulama-ulama formal banyak yang suka beradu kecerdasan dalam arena debat. Dengan penguasaan ilmu dan kepintaran logika, mereka mengalahkan satu sama lain di ajang bahts al masail.
Namun kedalaman ilmu belum tentu mencerminkan kesalehan spiritual. Terkadang ada gap yang besar antara teori dan praktik. Imam Ghazali tersentak. Jangan-jangan di dalam dirinya, cahaya Allah tertutup oleh ilmu itu sendiri. Unsur terpenting dalam medan teori dan praktik adalah ikhlas, suatu hal yang ia rasakan masih jauh dari dirinya.
Ia merenungkan niatnya mengajar selama ini dan ternyata tidak murni karena Allah. Ada motivasi mencari kedudukan dan popularitas. Motif jahat itu halus tersembunyi, tetapi menguasai. Saat itu Imam Ghazali sudah faqih dan mumpuni di mata publik. Tetapi ternyata hikmah ilmu belum merasuk ke aliran darah dan menjadi bagian inheren dalam jiwanya.
Selama enam bulan penuh jiwa al-Ghazali berguncang hebat. Tak ada seorangpun yang diajaknya bermusyawarah saat berada dalam kegalauan tingkat tinggi. Tepat pada bulan Rajab tahun 488 Hijriyah, identitas lamanya digantungkan. Setelah mujahadah tingkat tinggi, Imam Ghazali berputar haluan. Ia menjalani ritual menuju identitas al-Ghazali yang baru, seorang sufi.
“Dengan kemauan keras aku menekuni jalan sufi. Aku tahu, jalan para sufi hanya tercapai dengan ilmu dan amal,” katanya dalam al-munqidz min ad-dhalal. Langkah pertama yang dilakukannya adalah membagikan semua harta, kecuali yang diperlukannya. Bukan hanya harta, Ghazali berketetapan hati mewakafkan dirinya untuk kaum muslimin.
Setelah “jatuh miskin” ia beruzlah (berpindah) dan berkhalwat (menyepi). Hari-harinya diisi dengan riyadhah (latihan) dan mujahadah (berjuang keras) dengan cara bertikaf di masjid Damaskus. Ghazali mengurung diri di atas menara dan menutup pintunya (hal 124).
Begitulah kisah Imam Ghazali bersulih sifat dari ilmuwan “materialistik” menjadi ahli ilmu yang transenden. Biografi lengkap Imam Ghazali tergambar apik di buku Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, kisah hidup dan pemikiran sang pembaru Islam karya Shalih Ahmad al-Syami yang dirilis penerbit Zaman tahun 2019.
Buku yang diterjemahkan dari “al-Imam al-Ghazali Hujjah al-Islam wa Mujaddid al-Mi’ah al- Khamisah” terbitan Dar al Qalam, Beirut 1993 ini adalah salah satu biografi imam Ghazali yang terlengkap.
Buku setebal 330 halaman ini memuat seluruh episode al-Ghazali dan pemikirannya. Tokoh ini adalah salah satu ikon tasawuf yang dikenal sebagai pembaharu abad ke-5 (almujaddin al-qarn al-khamisah).
Nama aslinya Abu Hamid al-Ghazali Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Ath-Thusiy yang lahir di Khurasan, Iran, 450 Hijriyah, atau 1058 Masehi.
Ayahnya, Muhmmad bin Muhammad Ath-Thusiy adalah seorang saleh yang hidup miskin. Ia menyerahkan Ghazali dan saudaranya bernama Ahmad kepada seorang sufi, tetapi untuk belajar khat (kaligrafi). “Aku amat menyesal tidak sempat belajar menulis Arab (khat). Aku berharap kedua putraku ini bisa mendapatkan apa yang telah aku lewatkan,” ujarnya.
Keduanya lalu belajar sampai merasa cukup dan dilepas gurunya. “Apa yang telah kuberikan adalah hak kalian berdua, sementara aku hanyalah seorang miskin yang hidup susah. Aku tak punya harta untuk kalian gunakan dan menurutku akan jauh lebih baik bila kalian sekolah. Dengan demikian kalian akan mendapat makanan sesuai kebutuhan kalian,” kata sang guru.
Keduanya pun masuk sekolah, yang saat itu dibiayai negara. Di sana Ghazali muda rajin menuntut ilmu. “Dulu kami menuntut ilmu bukan karena Allah melainkan untuk mendapat makan. Maka ilmu-ilmu menolak,” katanya.
Pada kurun waktu itu Ghazali belajar kemana-mana. Ia belajar fikih dari Ahmad Ar-Radzkani, lalu pergi ke Jurjan belajar kepada Imam Abu Nashr al-Isma’iliy. Dalam safari keilmuan itu Ghazali banyak mendengar dan mencatat. Ia telah merasa pintar dan memahami banyak hal, tetapi kenyataanya tidak.
Sampai pada suatu ketika Ghazali mendapat musibah. “Sekawanan penyamun merampas semua barangku, lalu lari. Aku ikuti mereka hingga aku menemui pemimpin mereka. Pemimpin itu berkata, “Kembalilah! jika tidak, kau akan mati,”.
“Dengan kebesaran Allah yang kepadanya kau memohon keselamatan, tolong kembalikan catatanku. benda itu tak berguna bagi kalian,” tandas Ghazali.
“Seperti apa catatanmu itu?”
“Buku yang ada di kantong itu. Aku telah melakukan perjalanan jauh demi mendengarkan, mencatat, dan memahami ilmu yang ada di buku itu.”
Si penyamun tertawa seraya berkata. “Bagaimana kau dapat beranggapan telah memahami ilmunya, padahal ketika kami merampas catatan darimu, engkau sudah terlepas dari ilmu itu,”
Usai meledek Ghazali, si pemimpin rampok menyerahkan buku-buku Ghazali. Imam Ghazali kaget dan tergugah. Allah-lah yang menggerakkan mulut perampok itu untuk bicara demikian. Kata-kata itu membuka kesadaran bahwa ia sama sekali belum berilmu.
Dalam kegalauan berkepanjangan, Ghazali pergi ke Naisabur, berguru kepada Imam Haramain, yaitu Abu al-Ma’ali al-Juwaini. Di sini ia belajar bersungguh-sungguh dan cemerlang.
Pada periode selanjutnya ia menjadi ilmuwan mazhab Syafi’i yang jenius. Fikih dan ushuludin adalah bidangnya. Namun Ghazali bukan ahli fikih biasa, ia memiliki banyak nilai plus. Ia dikenal amat cerdas, berpandangan tajam, berkarakter kuat, berpengetahuan luas, kuat hafalan, dan berpemahaman mendalam.
Gurunya, al-Juwaini, menggambarkan al-Ghazali adalah lautan tak bertepi. Ia jauh lebih unggul dari teman-temannya. Menghafal al-Qur’an jauh lebih cepat dan juga berbagai referensi lainnya. Kecerdasannya telah menerangi umat Islam di seluruh dunia dan membuatnya mendapat gelar “Hujjatul Islam” alias argumentasi Islam.
Sepanjang hidupnya yang singkat, hingga meninggal dunia di usia 53 tahun, Ghazali setidaknya telah mengarang 25 kitab, 7 di antaranya sufisme. Yang paling kesohor adalah Ihya, Ulumuddin. Kitab ini dikaji hingga sekarang dan menjadi salah satu referensi pesantren di seluruh Indonesia. Kitab ini menjadi pilihan karena menyajikan figur agama Islam secara utuh, mencakup akidah, fikih, tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), dan meraih derajat ihsan.
Tidak seperti kajian fikih umumnya, Ghazali membagi muamalah jadi dua, yaitu muamalah lahir dan batin. Muamalah lahir adalah seputar fikih harian, sedangkan muamalah batin terkait kondisi akhlak dan jiwa atau al- ahwal batiniyah.
Kitab ini bukan hanya dapat diposisikan sebagai guru tetapi juga murabbi atau pembimbing spiritual. Kitab Ihya kaya akan contoh-contoh dan analogi yang cerdas. Misalnya tentang tubuh manusia yang diserupakan kota. Akal adalah raja, sedangkan daya persepsi seperti kekuatan indrawi dan daya batin adalah tentara dan pasukan. Nafsu adalah pemberontak atau musuh.
Bila seseorang mampu menempatkan akal sebagai penguasa, maka nafsu hanyalah “musuh yang terikat dalam benteng”. Sebaliknya, apabila nafsu menjadi penguasa, maka sejatinya seluruh kota telah jatuh ke tangan musuh, walaupun raja tetap duduk di singgasana.
Untuk membeli buku ini, bisa melalui link berikut ini: https://shopee.co.id/product/372961619/12674438591/
Judul buku: Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, Kisah Hidup Dan Pemikiran Sang Pembaru Islam
Penulis: Shalih Ahmad al-Syami
Penerbit: Zaman
Genre: Spiritual
Edisi: Cetakan pertama, 2019
ISBN: 978-602-627319-2