Sebagai siswa tahun keempat di PGA (Pendidikan Guru Agama), seharusnya tak lama lagi Zun menjadi guru agama Islam, seperti harapan kedua orang tuanya. Namun di sekolah berjenjang SMP-SMA yang masa pendidikannya enam tahun itu Zun seperti berada di planet asing.
Guru agama bukan cita-citanya, dan oleh karena itu sekolah ini tak sesuai dengan impiannya. Siswa pintar yang selalu meraih juara kelas ini ingin merantau ke Jakarta, mengubah nasib. Namun di titik itu tak ada seorang pun yang mendukung, termasuk kedua orang tuanya, Hasan dan Siti Zaenab, pasangan petani bersahaja asal Desa Pisang, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan.
Singkat cerita, Zun telah memenangi pergolakan batin yang setiap saat membuat dadanya hampir meledak. Iapun melangkahkan kaki menuju Jakarta, kota yang memiliki janji-janji dan harapan, sekaligus keculasan dan kekejaman tiada tara. Dengan cara menumpang truk, kini Zun telah sampai di pelabuhan penyeberangan Bakauheni, Lampung. Remaja kurus berkulit kuning itu menatap kapal-kapal ferry yang lalu lalang mengarungi selat Sunda. Keraguan kembali menyergap pikirannya, “Betulkah tindakanku ini?”.
Orang-orang yang sudah memegang tiket berjalan menuju pintu masuk kapal. Ia menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara laut, lalu memejamkan mata dan berkonsentrasi, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk lagi. Begitu ia membuka mata, ia telah berjalan menuju loket penjualan tiket. Di saat-saat berikutnya ia terombang-ambing di atas kapal yang semakin jauh meninggalkan pulau Sumatera.
Sampai di pelabuhan merak, Zun kembali mencari tumpangan ke Jakarta. Remaja ini tak membawa uang banyak, hanya perhiasan dari emak yang akan menjadi bekalnya hidup di Jakarta nanti. Beruntung, Zun mendapat tumpangan sebuah truk bermuatan penuh. Meski tak nyaman, ini membuat kantongnya tak kebobolan.
Ketika truk mampir di rumah makan, Zun merasa sungkan saat sopir mengajaknya turun. Ia pun menolak. “Bah, makanlah kau sama-sama kita, tak baik menolak rezeki” paksa si sopir. Ia pun melompat, tak sabar mengisi perutnya yang sebenarnya memang sudah keroncongan.
Sampai di Jakarta Zun berhasil mencapai rumah Paman Nur di daerah Pisangan, Jakarta Timur. Untuk sementara waktu ia akan menumpang di sana sebelum mendapat kos. Sejak hari itu lembaran-lembaran sejarah terus diukirnya di Jakarta. Dari anak kampung yang primitif, Zun berjuang hidup di kota sebagai penjual panci dan di kemudian hari nanti berhasil membuat pabriknya. Zun yang pintar tapi lugu kemudian tampil sebagai sosok hebat penakluk ibu kota.
Kiprahnya tidak hanya di bidang bisnis, tetapi juga kemasyarakatan dan politik. Jabatannya saat ini adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kisah Zun adalah kehidupan nyata Zulkifli Hasan, seorang pria kampung yang datang ke Jakarta membawa mimpi dan berhasil meraihnya. Kisah ini dijahit rapi dalam bentuk roman yang ditulis oleh Futri Zulya dan Zita Anjani, yang tak lain adalah dua putri kandung Zulkifli Hasan.
Sebagai dua gadis kota yang lahir dan besar di Jakarta, awalnya Futri dan Zita tak benar-benar menyelami kehidupan papanya ketika masih tinggal di kampung. Namun lambat laun cerita-cerita itu menciptakan kesan mendalam dan mendapat tempat di hati keduanya.
Penggalan kisah-kisah pendek tentang ayahnya yang berserakan itu kemudian dikumpulkan sebagai sebuah cerita utuh yang prosesnya cukup panjang, sekitar enam tahun. Naskahnya kemudian dicetak menjadi buku dan menjadi hadiah ulang tahun yang tak terlupakan bagi ayah tercinta mereka.
Wujudnya adalah sebuah roman true story berjudul “Rantau: Kisah Anak Lampung Menaklukkan Jakarta” yang dicetak oleh Ai Publishing. Bukunya diluncurkan di Djournal House Cafe, Jl. Gunawarman, Jakarta Selatan, Kamis (21/04/2022) lalu. Demi menyusun sebuah cerita yang utuh, Futri dan Zita harus menelusuri jalan-jalan memori yang dilalui ayahnya dahulu, termasuk sebuah sungai yang dahulu masih dipenuhi buaya.
Jerih payah keduanya tak percuma setelah dari tangannya lahir novel yang cukup enak dibaca. Futri Zulya Savitri adalah peraih gelar Master of Business dari Australian National University. Di sela-sela kesibukannya mengurus PT. Batin Eka Perkasa, janda cantik ini juga sibuk mengurus lembaga pendidikan. Sedangkan Zita Anjani adalah peraih Master of Science dari University College London, yang kini duduk sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.
Novel ini sukses mengangkat sisi menarik dari episode panjang perjalanan Zulkifli Hasan dari pedalaman Lampung Selatan menaklukkan Jakarta. Tidak hanya berisi cerita dari masa ke masa, di dalamnya terdapat pergulatan batin dan dilema-dilema sesaat yang dialami sang tokoh. Kisahnya alamiah, wajar, manusiawi, dan banyak ketidaksempurnaan, tetapi sangat menginspirasi dan memotivasi.
Sudut pandang yang digunakan adalah poin of view orang pertama. Pilihan narasi dengan kata “Aku” ini berhasil membuat pembaca serasa sangat dekat bahkan dapat merasakan gejolak batin tokoh. Pesan inti cerita ini kurang lebih adalah semangat mengubah keadaan dengan cara setia dalam berproses. Di dalam berproses itu ada rintangan tetapi justru memicu inovasi dan kreatifitas.
Tokoh Zun dalam kisah ini bukan tak pernah gagal. Ia bahkan pernah mencoba peruntungan sebagai sales buku ensiklopedia yang naik turun bis kota menjajakan dagangan. Selama 30 hari mencoba, Zun tak menjual ensiklopedia satu pun. Namun secara umum gaya hidup Zun sangat terencana dan terstruktur, meskipun kadang harus “dijewer” oleh sang pacar Aya atau sang adik Udin, yang belakangan ikut hijrah ke Jakarta.
Kisah dalam buku ini cukup realistis dan pasti. Kejadian-kejadian di zaman bahuela dituturkan dengan detail, seperti nama bapak kos, biaya kos masa itu, nama-nama guru, kepala sekolah, dan teman-teman sekelas.
Sebagai novelis debutan, Futri dan Zita cukup sukses menggali kisah nyata masa silam dalam gaya tutur yang enak dimakan dan kaya majas. Terkadang ia metaforis hiperbolis, seperti “Rasa bosanku terhadap suasana PGA terus membesar, mengalahkan besarnya gunung Rajabasa”. Terkadang ia depersonifiastif, seperti “Jika hatiku ini selat Sunda, aku yakin yang terjadi saat ini adalah badai terhebat yang bisa menenggelamkan kapal apa pun di atasnya”.
Penggalan kisah-kisah sedih masa lalu berhasil diusung sempurna lengkap dengan emosinya. “Aku menerima perhiasan emak yang dikumpulkannya sejak menikah dengan ayah. Tak tahan, aku memeluk emak dan menangis pelan, sementara emak mengelus-elus kepalaku. “Apapun keputusan yang kau buat, emak pesan kau jangan lupa sembahyang. Kau juga jangan rugikan orang lain … Jangan bilang soal perhiasan ini kepada ayah atau adikmu”. Aku hanya bisa mengangguk”.
Dalam spirit mengubah nasib yang menggebu-gebu dan kepercayaan diri yang kuat, terdapat aspek spiritualitas dan kerendahan hati di dalamnya. Itu tercermin dari kalimat-kalimat bernada perenungan yang transenden. Misalnya: “Ini sebuah fragmen kehidupan yang kuyakini dirancang khusus oleh sang maha sutradara, bukan sekedar peristiwa acak berdasarkan peluang statistik”. Sebenarnya banyak kata-kata bijak yang quotable dari sang tokoh, sayangnya petikan-petikan menarik tidak diangkat menjadi stopper.
Judul: Rantau: Kisah Anak Lampung Menaklukkan Jakarta
Penulis: Futri Zulya & Zita Anjani
Penerbit: Ai Publishing
Genre: Roman
Tebal: 370 Halaman
Edisi: Cet 1, April 2022
ISBN: 9786236346167