Rahmah adalah gadis manis berambut hitam legam nan menawan. Namun jarang ada yang melihat rambutnya yang diikat ke belakang itu. Sebagaimana kedua kakak perempuannya, Mariah dan Rihanah, sehari-hari ia memakai baju muslimah panjang basiba dengan penutup kepala selendang tipis berlapis yang dililitkan kepala dengan peniti.
Kakak tertuanya Zainuddin Labay, sudah tumbuh sebagai pria gagah yang tekun belajar. Ia mengaji kepada Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, dan H. Abdul Karim Amrullah.
Mingakabau pada saat itu adalah daerah yang ramai. Kereta api sudah lalu lalang dan pasar kian sibuk oleh perdagangan berbagai macam barang. Waktu terus menyulam kota Padang Panjang hingga menjadi kota pelajar. Tokoh-tokoh agama berlomba menggeliatkan sekolah-sekolah agama di surau. Salah satunya di Jembatan Besi, kawasan Lembah Kecil sebelum sampai Lubuk Mata Kucing tempat mengajar ayah Buya Hamka.
Mesku sudah semaju itu, tahun 1900 wanita Minangkabau masih terbelakang. Mereka masih buta huruf, berkutat di dapur dan terpaku melayani suami. Hal ini menggelisahkan hati Rahmah, si gadis manis yang suka membaca. Waktu kecil, kalau sedang membaca ia tak mau diganggu walaupun untuk makan. Pernah ia dimarahi karena membaca sampai lupa waktu. Ia ngambek dengan cara berbaring di lapik pandan dan menggulung tubuhnya dengan itu. Tak seorangpun yang dapat menyentuhnya.
Di kemudian hari, gadis yang dikenal sejarah sebagai Rahmah El Yunusiyyah ini mendirikan madrasah perempuan pertama di Indonesia. Ia mengelar sekolah wanita tepat ketika Belanda mulai memperkenalkan politik etis yang lebih ramah kepada pribumi.
Buku “Perempuan yang Mendahului Zaman” ini dengan apik menceritakan Rangkayo Syekhah Rahmah El-Yunusiyah, pelopor pendidikan wanita nasional asal Padang Panjang. Sebagai sebuah biografi, buku ini cukup lengkap mengupas kehidupan Rahmah El-Yunusiyyah dengan narasi ala novel yang detailnya sangat basah.
Semua fakta yang ada di dalamnya adalah kisah asli sang tokoh, namun dibalut dramatisasi novel yang dialog-dialognya mengandung imajinasi sang penulis. Sebagai pria Minang asli, penulis cukup fasih berkisah tentang situasi Padang Panjang tempo dulu.
Khairul Jasmi adalah wartawan senior yang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Singgalang, yang berpusat di Padang. Jasmi, yang pernah 21 tahun menjadi wartawan Republika ini pernah memenangi penghargaan Adinegoro.
Melalui buku ini Khairul Jasmi menyadarkan pembacanya, bahwa sebuah langkah besar tidak selalu mendapat dukungan penuh dari alam sekitarnya. Segala rintangan pasti akan muncul seiring dengan gerak langkah menuju perubahan. Seperti Rahmah yang pada awalnya disebut “yang tidak-tidak”, dicibir, digunjingkan, dan dianggap aneh.
Selain sebagai pendidik handal, Rahmah adalah Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang memimpin pasukannya menghadang Belanda. Ia pernah ditangkap, ditahan, dikenai denda, dan lain-lain. Ia juga tak takut dengan tentara Jepang dan pernah menuntut penutupan rumah bordil di Minagkabau dan dengan tangannya sendiri menjemput wanita-wanita Minang yang diculik sebagai Jugun Ianfu di markas serdadu Jepang.
Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta mengumumkan bahwa Belanda akan mengambil tanggung jawab terhadap kesejahteraan warga Hindia Belanda. Hal itu dituangkan dalam kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi (Ethische Politiek).
Pengumuman ini mengakhiri era tanam paksa dan eksploitasi keuntungan yang diterapkan sebelumnya. Pidato Ratu Wilhelmina di depan parlemen Belanda ini menandai dimulainya kebijakan pembangunan modern, termasuk sekolah.
Namun pada saat itu wanita pribumi sudah terkubang di ranah domestik. Jangankan mendirikan sekolah, masuk sekolah saja tidak terlintas di benak mereka saat itu. Wanita muslimah masih bergelimang tabu, tak boleh bicara keras-keras, tertawa lebar, dan malu keluar rumah. Namun putri pasangan Syekh Muhammad Yunus al-Qadi dan Rafiah ini memecahkan semua kebuntuan itu.
Rahmah El Yunusiyyah lahir di Padang Panjang, 29 Desember 1900. Pada usia 6 tahun ayahnya yang seorang ulama terkemuka, meninggal dunia. Rahmah kecil belajar mengaji di surau dan sebagaimana wanita laiinya bisa menjahit, menyulam, dan juga memasak.
Rahmah adalah yang terpintar di lingkungannya. Sejak diajari menulis oleh ibu dan kakanya, wanita yang selalu berkerudung ini tenggelam dalam aneka bacaan. Setelah kehabisan buku ia melahap berbagai media massa perjuangan saat itu.
Meski pintar baca tulis, Rahmah belum pernah mengenyam bangku sekolah. Baru pada usia 15 tahun ia mengenal bangku sekolah lewat Diniyyah School yang didirikan kakaknya Zainuddin Labay pada 10 Oktober 1915. Ia belajar fikih, tasawuf, bahasa Arab, ilmu falak, sejarah Islam, tauhid, dan tafsir.
Namun semuanya itu masih belum membuatnya puas. Menurutnya murid wanita adalah minoritas dan masih subordinat laki-laki. Kebanyakan siswi saat itu sungkan bertanya, terutama tentang fikih wanita yang sebagiannya berbau seksis seperti haid dan reproduksi. Banyak pendidikan wanita yang tak terjawab di sekolah, sedangkan guru tidak menjelaskan dengan komprehensif.
Kristalisasi ketidakpuasannya itu membentuk sebuah keinginan kuat mendirikan sekolah khusus perempuan. Namun Tahun 1916, saat usianya 16 tahun, ia dinikahkan dengan seorang lelaki alim nan hebat dari Nagari Sumpur, tepian Singkarak, bernama Bahauddin Lathif.
Menikah dengan lelaki terpandang, apalagi ulama adalah takdir terbaik bagi wanita Minang saat itu. Tetapi tidak bagi Rahmah. Institusi perkawinan tak dapat membendung gelora jiwanya yang di dalamnya berkecamuk semangat pendidik. Maka tak lama kemudian Rahmah memilih bercerai dan kembali menikmati kemerdekaanya.
Tepat pada hari Kamis, 1 November 1923, Rahmah yang usianya menginjak 23 tahun resmi mendirikan sekolah yang diberi nama Diniyyah Puteri Padang Panjang. Menurut Rahmah, sekolah ini adalah jawaban atas segala pertanyaan yang mengaggu tidurnya selama ini.
Bila para wanita lebih terdidik, pastinya akan berkurang hegemoni laki-laki atas perempuan, termasuk segala cerita tentang kekerasan dan pelecehan terhadap kaumnya. Pada saat itu
wanita adalah makhluk lain. Mereka tidak sepenuhnya bebas bergerak dan berkiprah kemanapun.
Ada pranata sosial yang namanya Sumbang Karajo, yaitu perempuan hanya bekerja yang “ringan” saja. Yang “berat” biarlah urusan laki-laki.
Pranata itu selain mencerminkan bias gender, juga memanipulasi kontribusi wanita dalam rumah tangga yang selalu dianggap remeh. Memasak, mencuci baju, mengurus anak-anak, sekaligus mengurus suami, bukanlah barang ringan.
Alhasil, kabar tentang pendirian sekolah perempuan itu meluas hingga ke penjuru tanah Minang, bahkan sampai pula ke telinga penguasa Belanda. Di sekolah milik Rahmah, murid terus berdatangan hingga mencapai 70 orang. Sekolah ini kemudian berkembang terus dan menunjukkan eksistensinya hingga sekarang. Namun drama demi drame terus muncul. Dengan narasi yang lancar mengalir seperti fiksi, pembaca tak akan kesulitan menuntaskannya hingga tetes terakhir.
Untuk mendapatkan buku ini dengan harga terbaik, Klik di Sini
Judul: Perempuan Yang Mendahului Zaman
Penulis: Khairul Jasmi
Penerbit: Republika
Genre: Fiksi Sejarah
Edisi: Cet II, Januari 2021
Tebal: 232 halaman
ISBN: 978-623-279-089-6