Jika Tuhan mengatur rezeki manusia, mengapa kita harus bekerja? Apakah Allah memerintahkan manusia di dunia ini untuk melakukan perbuatan percuma? Kitab Al-Makasib karya Imam al-Muhasibi (781-857 M) menjawab pertanyaan substansial yang bakal mengusir ambiguitas dalam hatimu selamanya. Ulama sufi asal Baghdad, Irak, ini memberikan penjelasan teologis yang paripurna, disertai penjelasan logis bagaimana cara Tuhan mengalirkan rezekinya kepada manusia.
Imam al-Muhasibi hidup satu setengah abad setelah Rasulullah saw. Nama lengkapnya Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Ia lahir pada tahun 165 Hijriyah di Basrah atau bertepatan dengan tahun 781 Masehi
Bekerja mencari nafkah adalah konsekuensi logis dari keberadaan manusia di bumi. Dalam menjalankan perintah Allah, manusia memerlukan energi yang harus dicukupi dengan maisyah atau kesejahteraan materiil. Islam menempatkan pekerjaan sebagai supporting system dari ibadah kepada Allah. Maka dari itu ia memiliki dimensi ubudiyah meskipun tampaknya hanya aktifitas non transenden.
Orang yang hidup dengan tuntutan kebutuhan, secara naluriah sudah pasti tergerak mencari profit. Namun bagi yang kurang memahami konsep, bekerja dianggap perlombaan mencetak laba. Ia membanting tulang siang dan malam dengan segala jerih payah, serta mengerahkan segala kemampuannya untuk mencapai kemakmuran yang sebesar-besarnya.
Orang semacam ini biasanya mengandalkan naluri membaca peluang dankepiawaian profit taking. Ia menganggap, pencapaian marjin sepenuhnya tergantung modal, daya tahan, sumber daya, dan imajinasi yang dimilikinya. Bila terjadi loss, ia menyalahkan diri, keadaan, dan memarahi anak buah.
Haruskah demikian? Para sahabat Nabi dan orang-orang saleh mencari rezeki dengan motif mematuhi perintah Allah (h 46). Mereka rajin bekerja seperti kebanyakan orang, tetapi energi yang menggerakkannya bukan keinginan mencapai profit, tetapi ridha Allah.
Karena tidak digerakkan oleh nafsu keduniaan, orang-orang saleh bekerja dengan tenang tanpa merisaukan hasilnya. Tak ada gunanya meresahkan hasil, karena rezeki itu sudah diatur 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Dikatakan Allah dalam QS Adz-Dzariyat 22-23: Di langit terdapat rezeki dan apa yang dijanjikan Allah kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya itu pasti akan menjadi kenyataan. (h 28)
Allah memerintahkan manusia memperjuangkan kehidupan dunianya. Dalam QS Al-Qashas 77: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Lalu QS Al-Jumuah 10 berbunyi: Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.
Adanya rezeki yang volumenya sudah ditentukan bukanlah pembenaran untuk menunggu tanpa usaha. Allah memerintahkan hambanya menjemput rezeki itu, dalam bentuk usaha komersial, yang dalam hal ini disebut “kasb”. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah berkata: Sebaik-baiknya rezeki yang dimakan oleh seorang mukmin adalah yang berasal dari kasb (jerih payah) nya sendiri. (h 31)
Dalam hal rezeki, rupanya yang lebih substantif adalah kasb, bukan hasil. Dalam jerih payah itu terdapat berkah, dan Allah akan sangat menghargainya, bisa dengan laba atau dengan pahala yang melimpah. Allah pun menyukai apabila seorang hamba tetap mengingat-Nya ketika sedang berbisnis. Seperti dalam hadis dari Imam Ahmad: Sesungguhnya Allah swt kagum dengan orang yang tetap mengingat-Nya saat berada di pasar( h 75).
Dua Motif Mencari Rezeki
Ada dua hal yang memotivasi orang bekerja. Yang pertama adalah keinginan mengumpulkan harta, yang kedua karena perintah Tuhan. Dua pilihan ini menyebabkan implikasi berbeda, terutama dalam hal kejiwaan dan etika.
Dalam upaya mencari uang, sering terjadi gap antara ekspektasi dengan hasil. Bagi pemuja profit, rendahnya hasil atau tingginya kerugian dapat menyebabkan guncangan pikiran, kekecewaan, hingga frustasi. Tetapi bagi yang melakukan usaha karena perintah Allah, adanya gap antara modal dengan laba tak akan menjadi masalah, karena kedua hal itu memang tidak ada kaitannya.
Judul kitab ini, yaitu al-Makasib, dapat diterjemahkan secara bebas dengan “etika mencari rezeki”. Di dalamnya, selain banyak narasi yang meluruskan niat bekerja, juga tentang etika yang wajib diketahui dan harus dipegang teguh oleh para pejuang rupiah.
Ada pula pemaparan tentang rezeki halal-haram, dan syubhat, serta hukum fasilitas pemerintah. Bagaimana ketika sebuah usaha berjalan tak sesuai harapan? Imam al-Muhasibi menjelaskan sikap mental yang tepat dengan mengetengahkan kedahsyatan rasa lapar, di mata Allah swt.
Secara umum kitab Al-Makasib ini kaya argumentasi ruhani dan aqli serta rambu-rambu agar bisa mencerna ketentuan rezeki tanpa terjebak fatalisme. Pemahaman atas konsep rezeki juga dapat menjaga posisi orang tetap terjaga dari buaian dunia yang tengah dikejarnya. Penjelasan Imam al-Muhasibi yang mengusung pendekatan psikologis ini, jika dipahami dengan pas, dapat menyelamatkan kita dari berbagai kecemasan dan keraguan akan masa depan.
Pertanyaan di judul buku ini tidak sama dengan pertanyaan: “Kalau skornya sudah diatur, buat apa kita bermain?”. Permainan dan skor itu ada hubungan kausalitas, sedangkan usaha dan rezeki itu hanya bersandingan tetapi tidak terkait. Seperti pendopo kabupaten dan alun-alun, meski selalu berdekatan, keduanya tidak saling mempengaruhi.
Judul: Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Harus Bekerja?
Judul Asli: Al-Makasib
Pengarang: Imam al-Muhasibi
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Self Improvement
Edisi: Cet 1, Juli 2022
Tebal: 180 halaman
ISBN: 978-623-7372-707