Agama Islam memandang tinggi ilmu dan mengangkat derajat para pemiliknya. Proses transformasinya diatur sedemikian rupa sehingga berkemanusiaan, berkeadilan, dan penuh rasa cinta. Kitab “Adab al-Alim wa al-Muta’allim” membahas etika belajar-mengajar menurut idealisasi seorang ulama kharismatik meliputi berbagai aspeknya.
Selama ini kitab rujukan populer dalam hal adab menuntut ilmu adalah “Ta’lim al-Muta’alim”. Di sini para penuntut ilmu dipermak habis-habisan, mulai niat, adab, hingga kebermanfatannya. Namun dalam kitab “Adab al-Alim wa al-Muta’allim” karya KH. Hasyim Asy’ari ini, terdapat porsi seimbang antara mengatur murid dan guru.
Pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama ini mengingatkan, pada dasarnya keutamaan ilmu itu hanya dapat diraih oleh orang yang berhati bersih. Untuk meraih kesucian hati, kedua pihak harus sepakat dalam satu konsepsi bahwa belajar adalah suatu proses menggapai ridho Allah SWT.
Kitab yang ditulis sekitar satu abad silam itu memberi tekanan kuat pada pembentukan karakter melalui cara-cara yang berbau sufisme. Mbah Hasyim memperhatikan interaksi keilmuan sampai titik terkecil, misalnya cara meletakkan kitab.
Menuntut ilmu itu bukan hanya menghilangkan kebodohan tetapi juga aksi melestarikan pesan Allah di bumi. Dalam mengemban misi itu ada cara yang harus dilalui agar proses internalisasi berjalan harmonis penuh berkah.
Kitab ini diketik ulang oleh penerbit At-Turmusy dari naskah tulisan tangan KH. Hasyim Asy’ari yang tersimpan rapi di antara puluhan karya mbah Hasyim lainnya di perpustakaan Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Dalam bentuk cetakan, tebalnya hanya 122 halaman kertas putih ukuran A4. Isinya 8 bab, tiga di antaranya petuah bagi guru dan tiga bab petuah untuk murid. Dua bab lainnya soal keutamaan ilmu dan etika memperlakukan kitab.
Mbah Hasyim memberikan peringatan kepada para pendidik agar tidak kehilangan arah. Salah satu yang penting dijaga, guru tak boleh mengharapkan hal-hal duniawi dan imbalan materiil serta tidak boleh eksploitatif.
Reward guru itu sejatinya bukan dari murid, akan tetapi langsung dari Allah. Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, Allah mengangkat derajat ulama, 700 level di atas orang awam. Sebagai waratsat al-anbiya (pewaris Nabi), ulama diberi pangkat khoirul bariyyah atau sebaik-baiknya manusia.
Derajat tersebut ada konsekuensinya. Dalam praktek keseharian, guru harus menjaga diri dengan akhlaq terpuji dan keteladanan. Artinya, yang diajarkan harus sesuai dengan perbuatannya, bukan hanya omong kosong.
Dituntut Bersikap Zuhud
Terhadap lingkungan sekitar yang mungkin menunjukkan hedonitas dan daya tarik duniawi, guru tak boleh terlena. Ia harus bersikap zuhud dan tidak merendahkan diri di depan para pecinta dunia. Meski zuhud, mereka harus mempertahankan kewibawaan, di antaranya dengan tidak menjalani pekerjaan yang dianggap hina menurut syari’at.
Proses belajar mengajar adalah interaksi dua mahluk yang berjiwa. Maka guru tidak boleh sembarangan bersikap di depan siswa, tetapi harus berbahasa baik dan santun. Ia harus adaptatif dengan situasi dan kondisi. Misalnya ketika anak didiknya lapar atau haus, dalam keadaan dingin atau panas tinggi, proses ta’lim harus distop. Guru juga harus lapang dada memahami murid yang memilki kendala, misalnya rumahnya jauh sehingga datang terlambat.
Bukan tidak mungkin seorang guru ditanya tentang hal-hal yang belum diketahui, maka harus dijawab tidak tahu. Hal itu merupakan bagian dari etika pembelajaran. Untuk menjaga hati dari sikap jumawa, setiap mengakhiri pelajaran ucapkan “wallahu a’lam” (Allah maha mengetahui) sebagai bentuk dzikir dan pengakuan bahwa manusia bersifat jahil dan Allah SWT yang mengetahui.
Terdapat pagar yang tak boleh dilanggar, yaitu guru tidak boleh menghalangi murid menuntut ilmu dengan alasan apapun, walaupun murid tidak serius belajar, karena niat itu membutuhkan proses untuk mencapai titik tertingginya.
Guru diminta mencintai anak didiknya sepenuh hati sebagaimana mencintai diri sendiri. Namun dalam mencurahkan cinta itu tak boleh pilih kasih agar tidak memancing kecemburuan.
Ajaran mbah Hasyim ini menempatkan guru sebagai “petugas” dalam misi mendidik umat. Menjadi guru dianggap pilihan suci melayani masyarakat sehingga ia harus memberi perhatian hingga soal personal. Misalnya, jika ada anak didik yang kesulitan dalam hal materi, guru harus turun tangan. Itu semua dilakukan dalam kondisi bersikap tawadhu’ atau rendah hati terhadap anak didiknya.
Judul : Adab al-Alim wa al-Muta’allim
Penulis : KH. Hasyim Asy’ari
Genre : Agama
Penerbit : At-Turmusy
Tahun Terbit : 2021
Jumlah Halaman : 120
ISBN : 978-602-5898-32-7
Diresensi Oleh Jakarta Book Review
Kita lebih fokus ke buku-buku berbahasa Indonesia, padahal kitab-kitab turos seperti ini juga sangat penting, agar masyarakat melek bahwa ini adalah warisan yang berharga dan perlu.
Terimakasih Admin sudah mereview kitab ini, insya Allah dalam waktu dekat pesan.
tq, ulasan yg keren.