Sepulang dari perang Badar yang berat dan tak seimbang, Rasulullah berpidato di hadapan para sahabat di Madinah. “Raja’na min jihadi al-asghar, ila jihadi al-akbar, wahiya jihadu an-nafs”. Kita telah kembali dari peperangan kecil menuju peperangan besar, yakni perang melawan hawa nafsu.
Jika dibanding dengan perang melawan nafsu, ternyata perang satu lawan tiga dengan keahlian tak seimbang di kaki bukit Badar itu tak ada apa-apanya.
Perang badar hanyalah pertarungan melawan musuh yang tampak nyata dan dibenci. Musuh mudah dikenali dan cara membunuhnya jelas. Sementara jihadunnafs atau perang jiwa adalah perang melawan diri sendiri dan apa-apa yang disukai. Oleh karena itu hawa nafsu disebut aduwwun mahbub atau musuh yang dicintai.
Sesuai fitrahnya, manusia biasanya buta terhadap aib dirinya dan selalu membela sesuatu yang dicintainya. Terhadap apa yang dicintai, ia hampir tak mampu melihat cacatnya. Sebaliknya, terhadap apa saja yang dibenci selalu melihat keburukan saja tanpa bisa melihat baiknya. (h 127)
Semua fitnah dunia, sejak sejarah manusia bermula sampai akhir dunia, terjadi karena hawa nafsu. Setiap kerusakan, kehinaan, kebinasaan, dosa, dan musibah tak pernah lepas dari hawa nafsu yang lepas kontrol.
Dalam kitab Minhajul Abidin ini Imam al-Ghazali memberikan warning tentang titik-titik lemah manusia dan bagaimana cara menutupnya. Minhajul Abidin (metode para hamba) ini merupakan pedoman dasar bagi para pelaku ibadah agar yang dilakukannya tetap sinkron dan konsisten dengan niat. Pedoman ini penting karena dalam proses ibadah, setan selalu mengintervensi agar manusia lupa tujuan dan ibadahnya terlepas dari ikhlas.
Minhaj atau Manhaj, menurut bahasa Arab artinya jalan yang terang. Secara terminologis adalah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap disiplin ilmu. Minhaj dalam hal ini dimaksudkan sebagai teknik agar semua gerak langkah manusia, baik ibadah maupun muamalah tetap berada dalam bingkai menuju ridha Allah.
Imam Ghazali membuat analogi, ilmu bagaikan sebuah pohon dan ibadah adalah buahnya. Jika orang beribadah tanpa dibekali ilmu, maka akan rawan desepsi dan apabila sebuah pohon tidak memiliki buah, maka itu pohon itu sama dengan ilmu yang lenyap bagaikan debu tertiup angin.
Imam Ghazali menegaskan, ibadah bukanlah hal insidental atau sekedar rutinitas. Untuk melakukannya dibutuhkan ilmu tentang bagaimana cara melakukannya secara proses maupun mental. Pelaku ibadah setidaknya harus sadar tentang empat hal, taitu kesadaran tentang dirinya, kesadaran mengenai Tuhannya, tentang dunia, dan tentang akhirat.
Prosesi ibadah itu tidak hanya dinilai dari prosesi fisik, tetapi juga aspek spiritual yang tidak kasat mata. Maka dari itu ibadah harus dilandasi metode yang benar dengan kesadaran ganda. Bila kesadaran mikro dan makro dikuasai, maka ibadah manusia akan mengantarkannya kepada derajat makrifat.
Di antara fondasi yang penting untuk beribadah mencapai ma’rifatullah adalah bertobat. Biasanya kesadaran manusia untuk mengambil jalan lurus datang kemudian, di saat ia telah banyak menabung dosa.
Namun Allah telah memberi garansi, setiap hamba yang berdosa akan diampuni. Bentuk nyata dari tobat yang diterima adalah menunjukkan rasa penyesalan dan berhenti dari dosa dan kemaksiatan yang telah di kerjakan. Meskipun jika hal-hal demikian itu sudah ditempuh, dalam perjalanannya tetap akan datang godaan.
Hal itu karena di sisi lain setan dan hawa nafsu akan tetap berusaha menghentikan langkah orang-orang yang ingin menuju jalan lurus. Tips dari Imam al-Ghazali, seorang abid (hamba yang benar) harus tajarrud aniddunya. Artinya, ia harus mengkhususkan diri untuk Allah swt dan berlepas diri dari segala sesuatu selain Dia.
Dalam proses itu hawa nafsu masih terus bekerja. Biasanya orang akan dirasuki merasa malas, lesu dan tidak bergairah melakukan kebaikan. Sebaliknya, hawa nafsu membuatnya ringan melakukan keburukan. Sifat riya dan ujub selalu meningkahi segala kebaikan yang dilakukan.
Solusinya adalah harus berusaha menjaga kemurnian niat. Pada saat seperti ini dibutuhkan kesadaran penuh dan alangkah baiknya jika seseorang memiliki guru.
Buku ini ditulis Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali alias Imam Ghazali di akhir masa hidupnya. Imam Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang filsuf dan teolog muslim utama yang menyandang gelar hujjatul Islam, atau argumentasi Islam. Reputasinya dalam sufisme tak diragukan lagi sepanjang masa.
Gelar al-Ghazali yang secara harfiah bermakna kambing, didapatnya dari tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di daerah Thus, Khurasan, Persia, kini ada di wilayah Iran. Dan secara kebetulan ayahnya adalah pemintal bulu domba.
Minhajul Abidin adalah kitab tasawuf yang melengkapi kitab imam Ghazali sebelumnya, yaitu Ihya Ulumuddin. Di Minhajul Abidin ini ada istilah aqabah atau jalan mendaki yang sukar ditempuh alias tanjakan terjal. Dalam perjalannnya mencapai derajat tertinggi, manusia harus melalui tujuh tanjakan penting. Apa sajakah itu? selengkapya dapat anda nikmati di buku yang ditulis dengan bahasa lugas dan mengalir ini.
Untuk mendapatkan buku ini dengan harga terbaik, klik di sini
Judul: Minhajul Abidin
Penulis: Imam al-Ghazali
Penerbit: Turos Pustaka
Genre: Spiritual/ Religi
Edisi: Cetakan 2, Maret 2021
Tebal: 460 Halaman
ISBN: 978-623-7327-394