Jika engkau tak dapat menghindar dari musibah, ubahlah sudut pandangmu. Musibah adalah hal niscaya di dunia ini. Apabila Tuhan berkehendak, tidak ada seorangpun yang dapat menghindar darinya.
Untuk membentengi diri dari penderitaan karena musibah, diperlukan perspektif baru, yaitu melihat dengan kedalaman hati. Itulah yang dinamakan reframing, yaitu melihat sebuah kejadian dari sudut yang berbeda. Semua kemalangan itu pasti ada hikmahnya. Dengan kesadaran mendalam mengenai cobaan, orang bisa lebih berfokus pada hikmah kejadian, daripada kejadian itu sendiri.
Hidup ini sebenarnya tidak berbasis realitas, tetapi kita hanya berdiri di atasnya saja tanpa kausalitas yang mengikat. Kecelakaan, musibah, perpisahan, dan penderitaan, adalah realias hidup. Namun bahagia atau menderita adalah pilihan sikap, yang pusat kendalinya ada di dalam hati. Sebenarnya keduanya tidak memiliki korelasi otomatis.
Tidak bisa dikatakan, yang tertimpa musibah pasti menderita dan yang mendapat kebaikan pasti bahagia.
Solusi terhadap musibah sudah disebutkan dalam al-Qur’an Surat St-Taubah: 51, “Katakanlah apa yang menimpa kami ini telah Allah gariskan. Dialah pelindung kami. Hanya kepada Allah semata semestinya orang-orang mukmin bertawakal”.
Ayat ini mengajarkan kita berpikir positif, yaitu memandang musibah sebagai salah satu komponen wajib dalam hidup. Dalam hidup di dunia yang penuh tantangan ini, segala rintangan harus dilalui untuk mencapai reward yang luar biasa di akhirat nanti.
Jadi, musibah dan bencana itu inheren dengan dunia dan siapapun yang berada di dalamnya. Yang diperlukan dalam sebuah musibah adalah jalan keluar dan kemudahan dari Allah, bukan hidup tanpa musibah. Musibah dan berbagai macam keburukan, termasuk setan, nafsu, dan berbagai kegelapan lainnya adalah aktor yang juga memiliki peran di bumi.
Terhadap musibah, sikap yang terbaik adalah bersyukur. Ia lebih tinggi satu tingkat di atas bersabar. Untuk memahami bagaimana prakteknya orang mensyukuri musibah, perhatikan kisah berikut.
Pada suatu ketika Allah mewahyukan kepada Nabi Daud AS, bahwa ada seorang wanita yang akan mendampinginya di surga nanti, namanya Khuludan binti Aud.
Nabi Daud lalu mencari ke pelosok negeri dan menemukan wanita dengan identitas tersebut. Saat di hadapan Daud AS, wanita ini meragukan bahwa ialah orang yang dimaksud, karena ia bukan siapa-siapa. “Mungkin engkau salah wahai Nabi. Itu memang namaku, tetapi barangkali bukan aku yang kau maksud,” katanya.
“Tidak. Tidak salah lagi. Kaulah perempuan itu. Coba ceritakan kehidupan sehari-harimu,”
Wanita itu lalu menceritakan kehidupannya, yang di dalamnya tersirat pesan bahwa setiap kali mendapat musibah, dalam bentuk apapun, ia selalu bersabar bahkan bersyukur dengan musibah itu.
“Itulah amalan yang akan mengantarmu ke surga” kata Daud. Bersabar terhadap musibah, meskipun berat, itu hal biasa sebagaimana bersyukur terhadap karunia. Tetapi mensyukuri musibah adalah bentuk penghambaan tingkat tinggi kepada Allah. Itulah istimewanya wanita ini.
Bagaimana caranya bersyukur atas musibah? Itulah yang dijelaskan di atas, yaitu mengubah sudut pandang. Penulis buku ini, Jalaluddin Rakhmat (1949-2021) bukanlah orang baru dalam wacana Islam perkotaan. Tokoh yang identik dengan “urban sufism” ini merintis kajian-kajian tasawuf di kalangan profesional, pengusaha, dan masyarakat muslim kota lainnya.
Peraih gelar master komunikasi dan psikologi dari Iowa State University ini tak diragukan lagi expertise dan cara pandangnya yang mendalam tentang sufisme. Ia meraih dua gelar doktor, dari Australian National University dan UIN Alauddin Makassar dalam bidang Islamic studies.
Tentang Do’a dan Cara Kerjanya
Kekecewaan biasanya datang mulai dari skala kecil kemudian membesar. Orang yang mendapat musibah tak terpecahkan, pada awalnya kecewa pada keadaan, lalu kepada keluarga, lingkungan sekitarnya, mungkin organisasinya, kemudian ia menyalahkan agamanya atau keyakinnnya dan berakhir dengan menyalahkan Tuhan karena tak menjawab do’a yang tak putus ia panjatkan.
Konsep yang seperti ini perlu didekonstruksi. Do’a itu bukan semacam sulap atau lampu Aladin. Do’a adalah susunan kata-kata puja-puji dan penghambaan kepada Tuhan, bukannya mantra magis.
Sebuah hadits qudsi dalam tafsir al-Mu’in menyuguhkan cerita inside story dunia langit. Pada suatu ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat. “Di sebelah sana ada seorang hambaku yang fasik, banyak dosa, berdo’a kepadaku. Segera penuhi permintaannya, aku bosan mendengar suaranya,”.
“Di tempat lain ada hambaku yang saleh berdoa kepadaku, tetapi tangguhkanlah, Aku senang mendengar rintihannya,”. Artinya, semakin lama do’amu dikabulkan, berarti kamu berpotensi makin disayang Allah.
Seberapa efektif do’amu, mungkin saja berkaitan dengan kedekatanmu dengan Allah Swt. Kata imam Ja’far Shadiq jika ingin tahu posisimu di depan Tuhan, lihatlah posisi Tuhan di hatimu.
Judul: Do’a dan Kebahagiaan: Etika memohon kepada Allah dan menyikapi kesulitan hidup
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Baca
Genre: Psikologi-Agama
Tebal : 290 halaman
ISBN: 978-602-6486-44-8
Diresensi Oleh Jakarta Book Review