“Sejak kapan kau jadi orang hebat sampai bisa menegur Ibu dengan ‘Woy’?”
Ketegasan suaranya yang mendesak lawan tanpa ampun tetap sama seperti dulu. Malah rasanya makin meningkat.
“Tiga kali berturut-turut mi cangkir, tapi kau masih tidak menyadari kondisi Ibu, malah berderap memprotes dan marah-marah. Hebat banget. Tidak bisa membayangkan kondisi Ibu sedang tidak baik sampai-sampai tidak bisa masak?”
“Ke… kenapa Kakak pulang? Kerjaan Kakak gimana?”
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan pekerjaanku. Paling tidak aku sudah bekerja dengan benar, jadi bisa mengambil cuti setiap saat kalau perlu. Tidak seperti kau yang besar mulut kepada Pak Tua Berengsek, tapi bisanya cuma pindah-pindah kerja paruh waktu dan malas-malasan.”
Kakaknya menikah dengan putra sulung pemilik klinik di Nagoya. Ia memiliki beberapa sertifikasi dalam bidang kedokteran, jadi kelihatannya ia dihargai oleh keluarga suaminya sebagai tenaga ahli untuk mengelola klinik.
“A, aku tidak cuma malas-malasan. Aku juga mencari kerja….”
“Tapi kata Ibu akhir-akhir ini kau malas-malasan, kan? Begitu dapat sedikit uang dari kerja paruh waktu, kau ogah-ogahan mencari kerja. Begitu uangnya habis kau mulai lagi kerja paruh waktu. Tidak cuma mulut besarmu yang tak tahu malu di depan Pak Tua, tapi kau juga jadi benalu bagi orangtuamu. Asyik betul kehidupanmu sebagai freeter.”
Gawat, Seiji takkan bisa menang bersilat lidah dengan Ayako. Perempuan ini berhasil mendapatkan restu mertua hanya dengan kemampuannya sendiri, padahal ia ini galak.
Entah apa yang membuat Kakak Ipar menikah dengan perempuan seganas ini. Sungguh di luar akal Seiji.
“Tapi, sungguh, kenapa Kakak datang tiba-tiba begini?”
“Meski dikelola pribadi, klinik kami cukup_besar. Bahkan punya dokter spesialis kejiwaan. Memalukan sekali, kan, kalau sampai ketahuan warga sekitar suamiku tidak mengizinkan istrinya pulang, padahal ibunya jatuh sakit?”
Ada bom dalam kata-kata Ayako. Namun, bom itu begitu samarnya sampai Seiji tidak dapat menyadarinya dalam waktu cukup lama.
“I… Ibu di mana?”
Pandangan Ayako menunjuk ruang duduk yang gelap gulita tanpa lampu. Di atas sofa itulah Sumiko terduduk, sambil bergoyang-goyang ke depan dan ke belakang, meremas-remas tangannya sendiri.
Dalam sekilas pandang, jelas kondisi ibunya sama sekali tidak normal. Ibunya terus menggumamkan kata-kata. Bulu di sekujur tubuh Seiji mendadak meremang begitu ia menangkap kata-kata tersebut.
“Maaf maaf maaf padahal aku harus cepat mati tapi lagilagi tak bisa mati hari ini maaf kalau tidak cepat mati aku akan mengganggu Ayah, Seiji, dan Aya-chan tapi aku tak bisa mati maaf.”
Demikianlah Sumiko bergumam tanpa henti. Tak jelas di mana ia bisa menarik napas. Suaranya amat pelan sampai nyaris tak terdengar.
Ayako bangkit dari kursi perlahan, lantas berlutut di depan Sumiko. Ia berbisik dengan suara lembut, bertolak belakang dengan nada yang ia gunakan kepada Seiji.
“Tbu, aku akan sedih kalau Ibu mati. Karena itu, aku benar-benar minta kepada Ibu, jangan mati. Janji, ya.”
Ayako memisahkan kedua tangan Sumiko yang meremas-remas, lalu setengah paksa melakukan janji kelingking dengan sang ibu.
“Nah, sudah berjanji, ya. Jangan melanggar. Kalau Ibu merasa mau mati, ingatlah aku.”
Ayako membalut pundak Sumiko dengan kardigan, lantas kembali ke dapur.
Setengah terpana Seiji bertanya, “Sejak kapan Ibu begitu….” Dengan cepat Ayako melemparkan tatapan tajam ke arah Seiji. Rasanya tatapan itu bisa membunuh orang. “Akulah yang ingin tanya begitu. Pak Tua Berengsek memang berengsek, tapi kau ini sama juga berengseknya. Aku punya banyak pertanyaan. Ayo ke lantai atas.”
Lalu Ayako menyapa Sumiko.
“Bu, aku dan Seiji mengobrol di lantai atas. Kalau ada apa-apa, Ibu juga langsung naik, ya. Mau kunyalakan Ty supaya tidak terlalu sepi?”
“Jangan dinyalakan!” Mendadak Sumiko berseru tajam kepada Ayako yang hendak mengambil remote TV. “Lampu juga jangan dinyalakan. Kita sedang diintai. Bahaya, kita sedang diintai!”
Pada saat itulah, dari samping, Seiji melihat wajah Ayako yang nyaris menangis untuk pertama kali dalam seumur hidupnya.
“Baik. Kamar ini kubiarkan gelap, ya.”
Kemudian Seiji dan Ayako ke lantai atas, masuk ke kamar Ayako. Setelah Ayako menikah, Sumiko merombak kamar itu supaya Ayako bisa menginap saat ia pulang kampung.
Memang ada satu kamar tamu di lantai bawah, tetapi Sumiko berkata bahwa menantunya pasti akan merasa tidak nyaman tidur di lantai yang sama dengan kedua mertua. Jadi dengan senang hati ia merombak kamar Ayako supaya dapat diinapi setiap saat mereka berdua pulang kampung.
Saat Ayako dan suaminya pulang kampung, Seiji disuruh tidur di kamar tamu di lantai bawah. Sudah tiga tahun berlalu sejak itu.
“Kau sama sekali tidak sadar?”
Percakapan mereka dimulai dengan interogasi.
“Eh… anu….”
Jika ia mengaku tidak sadar, bisa-bisa ia dibunuh oleh kakaknya. Mati-matian ia mencari ingatan seputar kelakuan Sumiko akhir-akhir ini.
“Akhir-akhir ini Ibu goyang-goyang saat berdiri. Karena itu, ketika melihat mi cangkir tadi pagi, kukira Ibu tidak enak badan, tapi gara-gara tiga kali berturut-turut, kukira Ibu sedang menyindir.”
“Akulah yang membawakanmu mi cangkir. Aku mengujimu untuk tahu kapan kau akan datang mengecek kondisi Ibu, tapi begitu buka mulut, kau ternyata menuduhnya dan memanggil ‘Woy’. Sejak kapan kau jadi orang sehebat itu?”
Ayako mendesah tajam, lantas muncul keriput yang dalam di antara kedua alisnya.
“Entah Pak Tua Berengsek maupun kau, semua laki-laki di rumah ini bertingkah seperti orang hebat. Pantas Ibu hanya bisa meminta tolong kepadaku.”
“Ibu memberi tahu Kakak?”
“Kira-kira tiga bulan yang lalu, kalau tidak salah, Setidaknya Ibu menunjukkan gejala pertama kepadaku. Tak lupa Ayako menghunjamnya dengan, dan bukannya kepada kalian yang serumah.
“Tbu mulai sering menelepon rumahku secara aneh.”
“Aneh itu gimana?”
“Katanya, gara-gara ulahnya, kami juga akan diganggu, jadi aku diminta jangan pulang ke Tokyo untuk sementara. Ceritanya tidak masuk akal, kan? Mulanya kukira Ibu tertipu atau terlibat kasus kriminal dan sedang dalam kesulitan. Seandainya begitu, aku harus menanyai Ayah Pak Tua Berengsek apa yang terjadi. Kalau tidak, aku tidak bisa bertindak apa pun.”
Tanpa sepengetahuan Seiji rupanya Ayako sudah membulatkan hatinya untuk memanggil Seiichi bukan dengan sebutan ‘Ayah’, melainkan dengan sebutan ‘Pak Tua Berengsek’. Apa yang sudah terjadi selama Seiji menjalani hari-hari enteng (meski rasanya berarti ia sudah kalah jika mengaku demikian) dengan bekerja paruh waktu?
Cerita Ayako selanjutnya ternyata amat panjang.
Aku tanya apakah Ayah sudah tahu tentang soal itu, lalu Ibu bilang, “Aku belum menceritakannya,” jadi aku tanya apa yang sedang terjadi, tetapi jawabannya sama sekali tidak wajar. Katanya, pokoknya, ketika kita pindah ke rumah ini, Ibu berbuat kesalahan, dan akibatnya Pak Tua Berengsek, aku, dan kau mungkin juga akan terpaksa menghadapi bahaya, begitulah penjelasannya.
Waktu itu kuduga Ibu terlibat dalam kasus penipuan atau aksi kriminal lain, jadi aku bilang ke Ibu bahwa aku mau bicara dengan Ayah, tetapi Ibu tidak mau memberikan telepon kepada Ayah,
“Aku sendiri yang akan menceritakannya kepada Ayah,” katanya bersikeras.
Katanya, Ibu pasti akan menceritakannya kepada Ayah malam itu juga, jadi aku pun mundur untuk sementara dan berencana menelepon Ibu besoknya. Aku, kan, sudah keluar dari rumah ini, dan pikirku di rumah ini mungkin ada kondisi khusus yang harus kuhargai.
Tetapi besoknya, Ibu bilang, “Aku sudah memikirkannya kembali dengan baik-baik, ternyata aku hanya salah sangka.” Sikapnya sama sekali berbeda dari sehari sebelumnya. Kemudian, pada siang hari-hari biasa saat jelas-jelas aku tidak ada di rumah karena bekerja di rumah sakit, Ibu menelepon rumah kami dan meninggalkan lima puluh pesan suara selama aku ada di luar.
Seperti apa pesannya…?
Kebanyakan diputus tanpa pesan, tetapi ada juga yang ada pesannya. Ibu menyapa, lalu bertanya, “Apa Ayako aman-aman saja?”
Karena kami bekerja di rumah sakit, jadi kami bisa langsung sadar. Soalnya suamiku juga dokter, meski bidangnya berbeda. ,
Kami sadar bahwa pasti ada yang bermasalah pada mental Ibu. Terlebih, tampaknya penyakitnya cukup merepotkan.
Menurut suamiku, meski dia tidak bisa mengatakan dengan pasti karena bukan spesialis penyakit jiwa, juga karena belum memeriksanya secara langsung, sepertinya gejala-gejalanya muncul secara kompleks, soalnya pada saat itu Ibu sepertinya bahkan mengalami waham dan gangguan kecemasan seperti “selalu diawasi oleh seseorang,” “keluarganya akan diserang,” dan sebagainya….
Aku langsung menelepon Pak Tua Berengsek untuk menjelaskan kondisi Ibu. Memang kami belum tahu apa diagnosisnya, bisa gangguan depresi mayor, gangguan bipolar, waham, atau ganggunan kecemasan, tetapi pokoknya Ibu menderita gangguan jiwa, jadi harus dibawa ke spesialis kejiwaan secepatnya, kataku. Ditambah lagi, kalau bisa, Ibu harus pindah dari rumah ini. Keadaan di rumah itulah pasti yang menyebabkan Ibu stres.
Lalu, yang tak bisa kupercaya, Pak Tua Berengsek malah mentertawakan! Itu, kan, cuma dalih orang yang lemah hatinya, katanya.
Suamiku juga sudah ikut menjelaskan bahwa penyakit jiwa bukan seperti itu, tetapi Pak Tua tak mau menggubrisnya. Katanya, dia bisa mengerjakan urusan rumah tangga dan pergi belanja setiap hari, mana mungkin menderita penyakit? Dia itu merasa depresi gara-gara hatinya lemah, orang selemah itu pasti akan mengulangi hal yang sama, percuma mau pindah ke mana pun, jadi tidak perlu rumah sakit, tidak perlu pindah rumah, katanya.
Dan, benar-benar tak bisa kupercaya, katanya, “Kami tidak akan merepotkanmu yang sudah menikah, jadi tidak usah pedulikan kami.”
Aku… cerita itu, sama sekali….
Wajar. Kau, kan, katanya menghindari keluargamu sendiri sejak cabut dari perusahaan itu. Aku bilang saja, ya. Sikapmu itu juga salah satu penyebab yang memperparah kondisi penyakit Ibu.
Eh, kok? Kenapa gara-gara aku?
Iya! Tempat pelarian Ibu hanya ada di dalam rumah, tetapi suami dan anaknya bahkan tak mau bertatap muka di rumah selama hampir setahun, bermusuhan dengan tegang. Memangnya kau tidak bisa membayangkan betapa sedihnya Ibu akibat stres sekian lama? Apa kau tahu betapa terhiburnya hati Ibu saat ketiga anggota keluarganya duduk bersama untuk makan meski suasananya agak kaku? Tapi, dengan entengnya kau melarikan diri dengan kerja sif malam sampai mengakibatkan keluarganya tercerai-berai,
Tapi, kok, semuanya gara-gara aku…?
Kalau kau punya alasan yang bisa kuterima mengapa kau tidak menyadari kondisi Ibu hari ini padahal tinggal serumah, aku siap mendengar. Atau kau mau menengok kondisi Ibu sekali lagi? Kondisi Ibu yang mengenaskan itu?
A, aku mengerti…,
Aku pulang hari ini karena kemarin Pak Tua Berengsek meneleponku.
“Setiap hari kalau aku pulang, Ibu memegangi tanganku, terisak-isak sambil berkata, ‘Hari ini lagi-lagi aku tak bisa mati.’ Ayako, aku harus bagaimana?” katanya.
Tahu bagaimana aku ingin mengamukinya lewat telepon?!
Lihat, inilah akibatnya. Kau bilang takkan merepotkanku? Nyatanya kau tak bisa apa-apa selain meneleponku, dasar lelaki tak berguna!
Ingat tidak, kapan aku bilang Ibu harus dibawa ke rumah sakit sebelum kondisinya jadi parah? Cuma tiga bulan lalu! Ucapanku kau sia-siakan, kau lelaki yang paling berengsek sedunia! Tak berguna, tak berguna, tak berguna, kau ini!
Berkat suamiku yang mendampingiku, aku bisa menahan diri. Walaupun tanganku yang tidak memegang gagang telepon gemetaran hebat, aku berkata dengan suara yang begitu lembut sampai-sampai aku sendiri kaget.
Katakan kepadanya, jangan mati, dan Ayah harus melakukan janji kelingking dengan Ibu. Apa? Konyol? Tak apa-apa, hal-hal konyol seperti itulah yang akan menjadi tali penyelamat terakhirnya, Kalau penderita penyakit jiwa mulai mengucapkan keinginan untuk mati, janji seperti itulah yang amat penting. Besok aku akan pulang. Aku akan mencari rumah sakit yang bagus juga.
Seusai menutup telepon, aku benar-benar mengamuk. Setidaknya sepuluh piring sudah kupecahkan, padahal dari Meissen dan Tachikichi. Sungguh besar kerugian kami gara-gara orang itu.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Tenang, Kamu bisa mendapatkan bukunya di Jakarta Book Review Store.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.