Bel istirahat berbunyi lima belas menit lalu. Anggota Cilegenk sedang asyik mengobrol di lorong kelas sambil ngemil jajanan yang dibelinya dari kantin. Yuni tengah menyedot es rasa anggur sembari mengecek akun Instagram Suci. Ternyata akun Instagram Suci memiliki banyak pengikut dan sering di-endrose oleh produk kecantikan dan pakaian. Yuni menyaksikan tubuh Suci yang sintal dan indah. Selain itu, banyak pula foto-foto orang lain yang ia dandani, seperti yang tempo hari ia tawarkan ke Yuni.
Dalam salah satu foto, Yuni menemukan foto Suci dan seorang laki-laki yang ia temui waktu itu. Suci tidak menyebutkan nama akunnya, dan itu membuat Yuni penasaran. Sebab, dalam benaknya ia seperti mengenal orang dalam layar ponselnya itu. Bahkan, ia sampai memperbesar foto agar ingat siapa dia.
“Kayaknya bener, deh, yang kamu bilang, si Ade meteng,” ucap Nisa mengalihkan perhatian Yuni dari ponselnya. Uung dan Sarah menyimak sambil menikmati jajanan. Nisa menunjuk Ade yang sedang berjalan cepat di lapangan sekolah. Kepalanya merunduk dan kedua tangannya terus merapatkan sweater ungu yang dikenakannya.
“Pelan-pelan liatnya jangan barengan,” tambah Nisa agar tidak dicurigai. Semua mengikuti sarannya. Mereka pura-pura foto selfi sambil mencuri lihat cara Ade berjalan. Meski begitu, Ade celingak-celinguk dan seperti tahu sedang diperhatikan. Ia mempercepat jalannya menuju Tia dan Normah yang sedang duduk berbincang di lorong kelas sisi lainnya.
“Bisa jadi, sih, soalnya pake jaket mulu,” selidik Uung setuju.
“Warna ungu pisan!”
“Hmm…, mulai! Emang nggak boleh ya orang lain pake warna ungu, Yun?” Sarah menepok jidatnya, tak habis pikir dengan ucapan Yuni.
“Nggak!” jawab Yuni tegas, membuat teman-temannya melotot. Belum selesai ketakjuban mereka, ekspresi wajah Yuni berubah. Iya menggigit sedotan sambil meremas plastik esnya. Pandangan ia lurus ke depan, membuat kawan-kawannya penasaran.
“Tingbating!” ejek Uung sambil memonyongkan bibirnya.
Rupanya, setelah Ade lewat, di belakangnya ada Pak Damar yang sedang berjalan menuju papan mading. Di tangannya ia menggenggam sesuatu untuk dipasang di mading. Yuni memerhatikan setiap lekuk tubuh Pak Damar dan lenggokan caranya berjalan. Beberapa siswi menyapanya dan disambut dengan senyuman hangat. Normah, Tia, dan Ade juga menyalami tangan Pak Damar. Yuni cemberut menyaksikan pemandangan tersebut. Sarah dan yang lainnya tertawa puas mengejek Yuni sambil mendorong-dorong tubuhnya.
Pak Damar selesai memasang selebaran pengumuman di mading. Ia lalu berbalik menuju ruang guru. Yuni menyikut Sarah untuk melihat informasi apa yang dipasang di mading sekolah itu. Yuni melompat dari tempat duduknya. Ia berjalan cepat disusul temantemannya yang kewalahan.
“Kenapa, sih, Yun, dia hobi banget sama puisi? Bikin lomba melulu. Padahal nggak pernah ada yang ikut, lho. Kok, ya, bisa tetep konsisten?” tanya Sarah yang kebingungan setelah tahu rupanya Pak Damar memasang selebaran lomba menulis puisi. “Berhadiah?” Sarah membaca secara teliti. Ia menggumamkan apa hadiahnya tertera di selebaran. “Berhadiah buku puisi? Tobat!”
Sarah menepok jidatnya yang lebar. Uung dan Nisa ikut-ikutan menepok jidat Sarah. Sarah mengamuk. Ia mengejar kedua temannya yang berlari ke sisi kanan dan kiri lapangan. Yuni tidak peduli. Ia tersenyum memandangi papan mading sambil terus membayangkan wajah Pak Damar.
Bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Yuni dan Sarah duduk bersebelahan. Sementara Uung dan Nisa berada di belakang mereka. Pelajaran kedua hari ini adalah Bahasa Indonesia. Sejak lima menit lalu, Pak Damar langsung menulis pengertian majas-majas di papan tulis. Sejak masuk kelas tadi, ia langsung meminta murid-murid menulis satu bait puisi, hampir semua murid gaduh, termasuk Yuni dan teman-temannya.
“Yang bisa mengumpulkan dalam waktu sepuluh menit, Bapak hadiahi cokelat,” katanya mengiming-imingi. “Syaratnya, nggak boleh berisik,” tambahnya. Seketika kelas hening dan para siswa berlomba-lomba menulis sebait puisi.
Rupanya, Sarah iseng mengirim pesan WhatsApp ke ponsel Yuni. Ponsel Yuni bergetar. Ia segera membalas pesan dari Sarah. Mereka mengetik diam-diam di bawah meja, takut ketahuan Pak Damar.
“Apa sih yang menarik dari Pak Damar, Yun?”
“Kemeja batiknya katanya dijahit sendiri sama Ibunya, lho!”
“Terus apa lagi?”
“Inget, nggak, waktu kita senam bareng guru-guru? Pak Damar waktu itu senam pake training olahraga yang ketat, mah. Saya liat punggungnya kayak minta dipeluk dari belakang, terus pantatnya, gemeeeesss!”
Yuni ngikik tanpa suara. Sarah ketika selesai membaca pesannya kaget dan sampai tak sadar berteriak. Yuni refleks menutup rapat-rapat mulut Sarah sampai ia kesulitan bernapas. Pak Damar, dari depan kelas, berhenti menulis di papan. Ia menengok ke belakang mengecek apa yang terjadi.
Yuni dan Sarah langsung diam. Uung dan Nisa yang bingung hanya bisa memukul mereka dengan pulpennya. Pak Damar memutar tubuhnya. Ia berjalan mengelilingi bangku murid-murid untuk mengecek tugas yang diberikannya. Yuni dan Sarah berlagak menulis dan seolah tidak terjadi apa-apa.
Ketika tiba giliran Pak Damar melewati meja mereka, Sarah yang duduk di pinggir memiringkan kepalanya sambil memerhatikan bagian belakang Pak Damar. Wajahnya tampak bingung. Lalu, ia tanpa sadar bergumam pelan, “Gemes?” tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Yuni yang mendengar ucapan Sarah segera menarik jilbabnya hingga hampir terlepas.
Seperti biasa, usai memberikan materi pelajaran, Pak Damar meminta murid-muridnya untuk mengulas puisi karya penyair Indonesia. Mereka tak bisa menolak, akhirnya kelas usai dengan wajah lesu dari para murid.
Uung dan Nisa pamit lebih dulu. Sementara Yuni dan Sarah pulang bersama. Mereka berjalan melewati lorong kelas yang riuh. Murid laki-laki lebih banyak yang berlarian, berteriak-teriak, hingga menendang-nendang bola dari gulungan plastik bekas es. Ketika tiba diparkiran motor, Yuni kembali menghadapi kesialannya. Siswa-siswi lain berhasil keluar dari tempat parkir kendaraan. Sedangkan, motor Yuni lagi-lagi tidak bisa dinyalakan, Berkali-kali mencoba pun tera sia-sia belaka.
“Teu aya bensinna mereun?”
“Sembarangan!” Yuni tidak terima tuduhan Sarah. Sebab, pagi sebelum berangkat ke sekolah ia sudah mengisi bensin motornya sampai penuh. Karena sudah merasa pasrah, Yuni menghentikan percobaannya memainkan kunci kontak.
“Makanya kalau main jangan jauh-jauh, tuh motornya sampe seok. Sendirian pula. Heran, wanten jasa, dia!” keluh Sarah sembari menasihati Yuni. Yuni tidak mendengarkan. Ia malah mundur beberapa langkah di belakang motornya, lalu mencari solusi apa yang mesti dilakukan, Sewaktu ia berpikir, dari arah belakang, seorang Jaki-laki datang menerobos begitu saja. Ia langsung mengutak-atik motor Yuni. Sarah melihatnya sementara Yuni tidak sadar karena sibuk sendiri dengan rasa paniknya.
“Ssst, eta, deleu,” katanya menyenggol lengan Yuni. Yuni berbalik dan melihat apa yang dilakukan adik kelasnya itu, yang tidak lain bernama Yoga. Ia berjongkok mengutak-atik mesin motor Yuni. “Ciyeece!!” ejek Sarah membuat Yuni jengkel.
Tak butuh waktu lama, motor. Yuni berhasil dinyalakan oleh Yoga. Yuni tersenyum girang. Tanpa bicara apa-apa, Yoga malah langsung berjalan cepat dan pergi meninggalkan Yuni dan Sarah yang ingin mengucapkan terima kasih.
Yuni tiba di depan rumahnya. Ia berjalan pelan sewaktu turun dari motor. Matanya melihat banyak sandal dan sepatu yang tergeletak di teras rumahnya. Ia tahu ada tamu di dalam rumahnya, tetapi ia tidak bisa menebak siapa tamu tersebut.
Yuni mengucapkan salam sewaktu masuk. Ia meneliti wajah-wajah tamu yang ada di ruang tamunya. Tidak semua ia kenal kecuali Bu Ndek, Wak Amnah, Wak Tardi, dan saudaranya, Iman. Tiga orang lainnya ia belum pernah bertemu, Wajah mereka tampak serius dengan tatapan yang sedikit mencurigakan. Yuni kikuk menerima pandangan seperti itu.
“Yun, salaman, geh,” ucap Bu Ndek. Yuni menyalami para tamu dengan perasaan setengah hati.
“Kenalkan Yuni, ini Iman, ponakan Wak Tardi dari Semarang. Katanya, udah kenalan kemarin, ya?” ucap Wak Tardi membuat Yuni jadi serba salah. “Kalau ini, Ibu dan Bapaknya Iman, sama saudaranya.”
Yuni hanya mengangguk canggung. Bu Ndek yang mengerti kebingungan Yuni, segera memotong pembicaraan. “Ya, udah, makan dulu sana, Yun. Cuma kamu yang belum makan,” katanya.
Yuni masuk ke dalam kamarnya, menaruh tas dan berganti pakaian. Lalu, ia berjalan ke dapur tapi tidak segera mengambil makan. Ia duduk di samping meja makan, lalu mencuri dengar obrolan di ruang tamu lewat dinding yang jadi pembatas kedua ruangan itu.
“Mungkin, segitu dulu untuk sekarang, Ibu Ndek. Tolong disampaikan ke orangtua Yuni. Besok orangtua Iman akan pulang dulu ke Semarang. Kalau memang niat baik ini disambut, kita akan bicarakan lagi lebih lanjutnya,” terang Wak Tardi, sembari memberi kode ke anggota keluarganya untuk berdiri. Bu Ndek hanya mengangguk pelan. Mereka pun berpamitan. Yuni belum betul-betul mengerti maksud dari perbincangan mereka.
Nenek Yuni masuk setelah mengantar mereka sampai ke teras. Yuni muncul dari balik dinding dapur.
“Mereka mau apa, Ndek?”
Bukan menjawab, Bu Ndek justru menyampaikan hal lain.
“Kecap sama sabun colek habis, Yun. Sana ke Bu Kokom dulu ya uangnya ada di bawah meja televisi. Ambil aja,” perintah Bu Ndek yang tidak menghiraukan pertanyaan Yuni. Ia tampak bingung bagaimana menjelaskan ke cucunya itu.
“Tukuuu!” seru Yuni di depan warung Bu Kokom. Seperti biasa, suars televisinya di ruang keluarga terdengar hingga keluar. Bisa jadi itu alasan kenapa perempuan berbadan besar tersebut setiap kali bicara dengan orang lain selalu menggunakan volume penuh. Tanpa sengaja Yuni mendengarkan apa yang disiarkan oleh pembawa acara berita itu.
“Beli kecap sama sabun colek!” ucap Yuni sekali lagi. Bu Kokom kaget mendengar teriakan barusan. Ia segera mengalihkan pandangan dari televisi ke depan warung, Lalu ia datang menghampirinya.
“Yuni kok malah ka diue?” tanya Bu Kokom heran.
“Lho, kan, memang selalu belanja di sini, Bu?!” Yuni menampakkan ekspresi bingungnya.
“Iya, tapi, kan, hari ini kamu lagi ada yang melamar,” katanya lantang, membuat Yuni harus sabar menahan pengang. Kepalanya seperti tersedot masuk ke bumi. Yuni berusaha mencerna ucapan Bu Kokom. Sepotong demi sepotong. Hari-ini-kamu-lagi-ada-yang-melamar. Ia diam beberapa saat. Bu Kokom berjalan mengambil barang-barang yang Yuni beli. “Si Iman ponakannya Mang Tardi itu katanya sudah jadi mandor di Semarang. Sekarang sudah pindah kerja ke sini. Beruntung sekali kamu, Yuni,” katanya melanjutkan, Yuni tidak merespons, ia memilih diam tak menanggapi. Bu Kokom memberikan pesanan Yuni.
“Ini uangnya, Bu,” ucap Yuni kaku dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Bu Kokom membuka laci uangnya, Ia menghitung uang kembalian lalu memberikannya pada Yuni.
“Oh, iya, ini kiriman buat Bu Ndek. Gratis dari Bu Kokom, Selamat, ya Neng Yuni, Enteng jodoh.” Bu Kokom memberikan plastik berisi sesisir pisang raja yang sudah matang, la menaruhnya di meja dagangan dekat tangan Yuni. Yuni menerima uang kembaliannya lalu beranjak pergi, meninggalkan sekantung plastik pisang itu. Bu Kokom menatap pisang raja dalam plastik yang ditinggalkan Yuni dengan pandangan bingung.
Sepanjang perjalanan kalimat Bu Kokom mengalun dalam kepala. Sepotong demi sepotong. Di setiap kemunculannya, menambah beban di kaki. Dari mana ia tahu soal informasi lamaran itu? Sewaktu Yuni sibuk dengan pikirannya, dari jauh Iman dan temannya berjalan ke arahnya. la mengenakan jumpsuit dan helm proyeknya,
Yuni berjalan ke pinggir, ia terlihat kikuk dan sibuk membenahi rambutnya. Ketika mereka berpapasan, Yuni menangkap sekilas tatapan Iman disertai senyuman aneh. Yuni langsung menunduk dan berjalan cepat, bahkan ia tak terpikir untuk membalas senyumnya,
Malam telah singgah. Usai mandi dan salat Isya, Yuni menelepon Ibunya sambil bersandar di dinding kamarnya.
“Ibu udah tahukan, Iman ponakannya Wak Tardi ngelamar Yuni?”
“Maaf, ya, Ndek itu kaget, bingung bagaimana cara ngasih tahu ke kamu. Emang, Yuni tahu dari mana?”
“Tadi Bu Ndek kan suruh Yuni ke warung Bu Kokom, terus Bu Kokom cerita,” jawab Yuni pelan, berjalan tak menentu mengitari ruang kamarnya.
“Gusti… Kamu kenal sama Iman? Pacar kamu?” tanya Ibunya asal menebak.
“Ih, tingbating. Ibu kan tahu Yuni nggak punya pacar,” balas Yuni bergidik. Kini ia sedang memainkan pulpen dan mencoret dindingnya asal.
“Ya, siapa tahu bilangnya doang belum punya pacar,” ejek Ibunya, “Jadi, belum kenal, nih?”
“Belumlah, Bu. Baru juga ketemu kemaren waktu anterin jaburan disuruh Ndek,” jawabnya sembari cemberut.
“Kok, bisa, ya? Terus bagaimana? Yuni siap nikah, tah?”
“Boro-boro, Bu. Yuni nggak pernah mikirin nikah, pacaran juga nggak.” Yuni menumpukan jidatnya ke dinding. Ia berbicara sambil menatap lantai.
“Terus rencana kamu apa?”
“Ya, belum, tahu, Bu. Yuni masih pengin nyoba banyak hal aja gitu. Yuni mau lulus, mau nerusin sekolah lagi mungkin, wakehlah,” dengusnya teringat banyak mimpi-mimpinya yang belum diraih.
“Tapi masih bingung mau nerusin kuliah apa?” Yuni diam sebentar. Ia berbalik. Merapatkan punggungnya dengan dinding, lalu perlahan ia jatuhkan hingga terduduk di lantai.
“Kalau Bapak Ibu gimana? Pinginnya Yuni nikah?” akhirnya ia bertanya begitu.
“Hmm…” Terdengar embusan napas Ibunya dari ujung telepon. “Ya, Ibu, geh, nggak nyangka, Yun. Kamu tiba-tiba ada yang melamar secepat ini. Ibu, mah, penginnya yang terbaik aja buat Nong Yuni,” terangnya bijak. Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka.
“Kalau Bapak, sih, maunya kamu nerusin sekolah dulu,” tambahnya lagi.
“Terus keputusannya gimana, Bu?” Yuni meminta arahan.
“Coba kamu pikirin dulu aja, ya.” Ibu mengembalikan keputusan kepada anaknya itu. Yuni menunduk. Telepon masih tersambung. Ia berjalan mendekati pintu kamar. Ia membukanya dan melihat Bu Ndek sedang duduk di kursi ruang tamu yang menghadap langsung ke kamarnya.
Neneknya memandangi Yuni dengan tatapan iba. Ia mengisap rokok yang tinggal setengah. Yuni berjalan keluar dari kamar menghampirinya. Ia berikan ponsel itu kepada Bu Ndek, lalu dengan gerakan manja seorang cucu, ia tidur di atas kursi dan meletakkan kepalanya di paha Bu Ndek. Refleks Bu Ndek mengelus rambut cucunya itu, sambil melanjutkan percakapan dengan anaknya di perantauan.
Yuni memejamkan matanya. Tak habis pikir baginya mengalami hal seperti ini yang bahkan tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Nenek selesai bercakap dengan anaknya. Ponsel ia kembalikan ke Yuni. Sekali lagi ia isap batang rokok itu dan mengembuskan asapnya ke langit-langit rumah,
“Ndek tadi bingung gimana mau jelasin ke kamu. Cucu Ndek udah gede, ya. Udah mau nikah. Wak Tardi pasti senang kalau keluarga kita akhirnya jadi keluarga beneran sama mereka, ya,” ucapnya sambil mengelus lembut rambut Yuni.
“Ndek mau Yuni terima lamaran Iman?”
“Ya, pernikahan itu, kan, rezeki, Yun. Sesuatu hal yang baik. Masa iya kita menolak hal yang baik?” Yuni memikirkan jawaban Bu Ndek sambil memainkan ponselnya. Ia memberi tahu dua sahabatnya yang ia anggap paling mudah dipercaya dan pandai menjaga rahasia tentang hal ini.
Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Tenang, Kamu bisa mendapatkannya di Jakarta Book Review Store. Untuk pembelian bisa klik di sini.
Jakarta Book Review memiliki banyak koleksi buku bermutu lain yang tentunya dengan harga terjangkau, penuh diskon, penuh promo, dan yang jelas ada hadiah menariknya. Tidak percaya? Buktikan saja.