Pura-pura
Cahaya matahari pagi menyilaukan mata Alister yang tengah terpejam lelap. Alarm ponselnya pun sudah lama berbunyi, membuat telinganya berdengung. Tangannya mencari ponsel, lalu mematikan alarm tersebut. Matanya langsung memelotot saat melihat notifikasi di layar ponsel.
Anastasia menambahkan Anda sebagai teman dengan ID Line.
Alister langsung membuka aplikasi Line, berharap Ana memberikan kabar tentang dirinya, atau bertanya tentang skandal mereka. Namun, setelah dia cari-cari, hasilnya nihil. Menyebalkan!
Alister langsung mengirim Ana pesan
Alister: Gini doang? Nggak ada niat chat apa gitu?
Tak lama kemudian Ana membalas.
Ana: Di kertas cuma disuruh add Line aja, kok.
Alister mengembuskan napas kesal, dia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Tiba-tiba, senyuman terpancar di wajahnya.
Alister: Mau sekolah? Bareng aja.
Ana: Nggak
Jawaban paling singkat, padat, dan jelas yang pernah Alister dapatkan dari seorang cewek. Hal itu semakin membuatnya frustrasi.
Di rumahnya, Ana sedang berharap Alister membalas pesannya, tetapi ternyata nihil. Jangan terlalu berharap, Ana.
Setelah beberapa menit berlalu, Ana mendapati ibunya berdiri di depan pintu, memperhatikan putrinya yang gelisah.
“Kenapa, Sayang? Ada masalah?” tanya Diana penasaran.
“Apa Ana sekolah aja, ya, hari ini?”
“Istirahat dulu, biar cepet sembuh.”
Ana menggeleng dengan yakin, lalu menarik tangan ibunya agar menyentuh pipinya. “Nggak anget, kan? Ana udah sehat, Ma.”
“Kalau sekarang kamu sekolah, nanti nggak boleh ikut kamping. Oke?” Diana berusaha memberikan tawaran terbaik untuk anaknya.
Ana cemberut seketika, karena tidak ada pilihan lain selain mengikuti keinginan ibunya tercinta. “Iya, iya….”
Diana tersenyum seraya memegang tangan anaknya, mengelusnya lembut penuh kasih sayang. “Istirahat, ya, biar nanti kamu siap. Jangan kecapean. Mama kerja dulu. Sarapan udah Mama siapin.”
Ana mengangguk, lalu mengangkat jempol tangannya. “Oke
Setelah Diana pergi, Ana langsung ke kamar mandi. Kamar mandinya cukup luas, bahkan ada bathtub di dalamnya. Air hangat mengalir dari shower. Agar bisa beristirahat dan kembali tidur dengan pulas, dia harus segera mandi, apalagi dia belum mandi sejak kemarin.
Rumah ini peninggalan ayahnya yang sangat berharga. Setelak ayahnya pergi, semua orang menjauhinya. Dari situlah dia tahu mana teman yang tulus dan mana teman yang menghampirinya di saat butuh saja. Contohnya seperti Tasya dan Alana. Dahulu, mereka selalu bersama, tetapi setelah dia tidak punya apa-apa lagi mereka menjauh. Mereka malah membenci Ana sampai sekarang karena tidak mau memenuhi kebutuhan mereka. Hidup ini sungguh menyakitkan. Perlahan, dia menghapus air matanya yang turun, mengingat mereka begitu menyakitkan.
Setelah selesai semua ritual yang dia lakukan, Ana menggunakan kimono handuk berwarna pink. Dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang setengah basah. Betapa terkejutnya Ana saat mendapatkan Alister tengah duduk di atas tempat tidurnya dengan santai.
“Lama banget mandinya!”
Ana memelotot, lalu menjerit kencang. Untung saja dia memakai kimono. Namun, tetap saja di balik kimono, dia tidak memakai apa-apa.
“Ngapain kamu ke sini?” bentak Ana kesal.
“Mau nengok yang lagi sakit, tapi kayaknya udah sehat, sampai teriak kenceng gitu.”
Ana langsung mengambil pakaian untuk dia kenakan saat ini. Dengan wajah kesal dan tergesa-gesa, dia tidak memedulikan Alister sama sekali. Sumpah serapah sudah dia ucapkan dalam hatinya.
“Warna pink aja terus!” ucap Alister.
Spontan, Ana melihat tumpukan kain yang di tangannya. Baju Ana hari ini berwarna putih, juga celana skinny jeans berwarna cokelat. Sialnya yang ditunjuk Alister berwarna pink adalah pakaian dalamnya. Darahnya sudah mendidih, tangannya mengepal penuh, dan pipinya memerah seperti kepiting rebus. Saat melihat hal itu, Alister semakin tertawa kencang.
“Lawan gue, dong,” rengek Alister.
“Males!”
Ana dengan cepat pergi ke kamar mandi untuk mengganti bajunya. Dia ingin mencakar muka Alister dengan kuku panjangnya. Meskipun sudah di kamar mandi, Ana dapat dengan jelas mendengar bahwa Alister tengah tertawa. Telinga Ana semakin panas.
“Kamu mau ngapain, sih, ke sini?” tanya Ana saat sudah selesai memakai semua pakaiannya.
“Nengok lah!”
“Nggak sekolah?”
“Males, nggak seru.”
Ana menghela napas kesal, rencananya untuk istirahat sepertinya gagal. Tidak akan ada yang sempurna hari ini.
“Ngomongnya harus ‘lo-gue’, ya!”
“Iya!” jawab Ana ketus.
“Lo serius masih sakit?” Tiba-tiba saja Alister menghampiri Ana dan memegang keningnya. Jarak mereka sangat dekat, membuat Ana sedikit canggung.
“Negak. Tapi Mama ngancem aku, katanya aku nggak boleh ikut kamping kalo aku sekolah hari ini.”
Alister mengangguk tanda mengerti. Dia terdiam seketika sambi] menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ana dapat melihat Wajah Alister yang kebingungan.
“Kenapa?” tanya Ana.
“Sebenernya gue mau ngajak lo ke suatu tempat, tapi mendingan lo istirahat. Nggak apa-apa, lain kali aja.”
Ana tersenyum sambil memegang pipinya. Berulang kali dia memegang pipinya untuk memastikan suhu tubuhnya. Semuanya normal, tidak terasa hangat ataupun pusing lagi. “Ayo.”
Alister mengernyitkan keningnya bingung. “Lo nggak tanya mau ke mana?”
“Paling ke tempat nongkrong kamu, terus aku di bully di sana.” Ana menjawabnya dengan santai. Dia bergegas sambil memasukan ponselnya ke dalam sling bag mini.
“Gue udah minta maaf sama lo, kan?”
“Iya, minta maaf doang. Buktinya nggak.”
Faktanya, Alister memang masih malu untuk mengakui kepada teman-temannya bahwa dia sudah meminta maaf kepada Ana. Karena merasa tersindir, Alister membisu seribu bahasa.
Ana kembali tertawa kecil. “Aku bercanda, kok. Ayo, sekarang mau ke mana?”
“Ke tempat rahasia gue.”
“Ayo.” Ana mendekat ke arah jendela, membuat Alister memelotot kaget.
“Lo lewat pintu, gue aja yang lewat jendela!”
Ana menengok, lalu tersenyum sambil menunjuk jam. “Mama aku pergi, pasti rumah di kunci.” Tidak ada pilihan lain saat mendengar jawaban Ana. Kenapa macan betina itu mengurung anaknya di rumah sendirian? Teganya.
“Diem, gue dulu,” ucap Alister pada Ana sambil mencengkeram bahunya.
Ana melihat Alister memegang ranting pohon yang dekat dari jendela kamarnya, lalu melompat ke batang pohon yang kokoh dan besar. Tiba-tiba Alister mengulurkan tangannya kepada Ana, memberinya pegangan agar dia tidak jatuh dari pohon.
Ana sedikit ragu. Namun, keraguan tidak membuatnya menepis tangan cowok itu begitu saja, Ana menerimanya dengan lembut. Lalu dengan hati-hati Ana melompat dari jendelanya yang tak jauh dari pohon tersebut.
Suara entakan kakinya begitu kencang. Untung saja batangnya sangat besar dan kuat sampai mampu menahan mereka berdua, “Lo nggak apa-apa?” tanya Alister.
Tumben sekali Alister bertanya seperti itu. Ana hanya tersenyum, lalu mengangguk. Dia sangat canggung, terutama karena tangan Alister yang tak kunjung melepaskannya.
“Jangan kegeeran dulu. Gue bukan perhatian sama lo. Gue cuma takut pohonnya roboh!” bantah Alister.
Ana mendengus kesal. “Iya, iya. Kita kapan turunnya?”
“Mau turun lewat batang pohon apa loncat aja?”
“Ini lantai dua. Mau loncat gimana?!” balas Ana kesal.
Ana melepas sepatunya dan melemparnya ke bawah sana, berbeda dengan Alister yang sudah tidak memakai sepatu sejak awal.
“Ayo turun.”
“Yakin?”
Ana mengangguk. Alister mulai turun perlahan dengan memeluk batang pohon tua tersebut, lalu turun ke tangkai yang berada di kawahnya. Kemudian Ana menyusulnya. Perhatian Alister tak luput dari cara Ana turun dari pohon yang mengkhawatirkan. Sayangnya dak ada cara lain.
Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya mereka berhasil turun, Alister mengembuskan napas lega karena Ana berhasil turun. “Lo nggak apa-apa?”
“Ngak,” jawab Ana sambil menatap mobil Alister dengan kecewa.
“Kenapa?”
“Aku kira kamu bawa motor!”
“Gue kira, bukan aku kira!” balas Alister, lalu membuka kunci mobilnya.
“Terserah!”
“Harusnya lo jawab gini, ‘Terserah gue, dong!’ Gitu.”
Ana semakin pusing mendengar Alister, sementara yang dipusingkan hanya tertawa kecil. Mereka segera masuk mobil, Tercium wangi mint, aroma yang sering Ana cium ketika berada di dekat Alister.
“Sebelun berangkat, gue mau tanya dan lo harus jawab sejujur-jujurnya!” ucap Alister dengan tatapan menyelidik kepada cewek yang ada di sampingnya.
“Lo nggak takut kalau semalem gue ngapa-ngapain lo? Kesannya, lo santai dan nggak peduli.” Alister masih menatap Ana yang terdiam sambil memutar bola matanya. Alister yakin dia melihat Ana tersenyum kecil yang membuat Alister semakin curiga. “Jawab. Lo nggak takut?”
“Hmm.” Ana terus menggumam, bingung harus memberi jawaban seperti apa.
“Harusnya lo tanya sama gue. “Tadi malem lo ngapain ke kamar gue? Tadi malem lo ngapain aja? Tadi malem lo nggak pegang-pegang gue, kan? Terus—“”
“Berisikkk!” jawab Ana sambil menutup telinganya. “lya, iya. Tadi malem aku cuma pura-pura tidur, puas?”