Menumbuhkan Belas Kasih Diri
MELEPASKAN PERFEKSIONISME
Hal yang benar-benar sulit, dan benar-benar menakjubkan, adalah berhenti menjadi sempurna dan mulai berupaya menjadi diri sendiri.
—ANNA QUINDLEN
Salah satu bagian terbaik dari pekerjaan saya adalah menerima surat dan surat elektronik dari para pembaca. Di awal tahun 2009, saya menerima surat elektronik yang keseribu dari seorang pembaca I Thought It Was Just Me. Untuk merayakannya, saya memutuskan untuk menyelenggarakan acara membaca buku bersama selama delapan minggu di blog saya. Saya menyebut acara itu Shame. Less Joy. Membaca bersama secara Full.
Pada dasarnya itu adalah sebuah klub buku berbasis web. Kami membahas satu bab per minggu, dan di sepanjang prosesnya saya menawarkan posting, podcast, diskusi, dan latihan-latihan seni kreatif. Acara ini sekarang masih ada di blog saya, dan orang-orang masih menggunakannya—membaca buku bersama kelompok atau teman akan jauh lebih memberdayakan.
Tepat sebelum acara membaca bersama itu dimulai, saya menerima sebuah surat elektronik yang mengatakan, “Saya suka akan gagasan membaca bersama itu. Saya rasa saya tidak punya masalah perasaan malu, tetapi jika Anda membahas sesuatu, tentang perfeksionisme, saya akan menjadi orang pertama yang mengikutinya.” Di akhir surat itu dia menambahkan catata, kecil: “PS: rasa malu dan perfeksionisme sebenarnya berkaitan, bukan?”
Saya membalas surat itu dan menjelaskan relasi antara rasa malu dan perfeksionisme: Di mana ada perfeksionisme, rasa malu selalu mengintai. Malah sebenarnya, perasaan malu adalah tempat kelahiran perfeksionisme.
Saya sangat menyukai jawabannya: “Mungkin Anda ingin membicarakan hal itu sebelum kita mulai membaca bersama. Saya dan teman-teman saya tahu bahwa kami bergumul dengan persoalan perfeksionisme, tetapi kami tidak menyebutnya sebagai perasaan malu.”
Kami tidak menyebutnya sebagai perasaan malu. Anda tidak akan percaya seberapa seringnya saya mendengar kata-kata itu! Saya tahu malu adalah sebuah kata yang menakutkan. Masalahnya, jika kita tidak mengakuinya, perasaan malu akan mengakui kita. Dan salah satu caranya menyusup ke dalam kehidupan kita adalah melalui perfeksionisme.
Sebagai perfeksionis yang sedang menyembuh dan berupaya menjadi orang yang merasa cukup baik, saya telah menemukan bahwa akan sangat menolong jika kita melenyapkan beberapa mitos tentang perfeksionisme agar kita dapat membuat sebuah rumusan yang lebih akurat tentang apakah perfeksionisme itu dan apa yang dilakukannya kepada hidup kita.
- Perfeksionisme tidaklah sama dengan upaya untuk menjadi diri yang terbaik. Perfeksionisme bukanlah tentang pencapaian kesehatan dan pertumbuhan. Perfeksionisme adalah kepercayaan bahwa jika kita hidup sempurna, tampak sempurna, dan bertindak sempurna, kita dapat meminimalkan atau menghindari rasa sakit dari disalahkan, dihakimi, dan malu. Perfeksionisme adalah perisai. Perfeksionisme adalah perisai seberat dua puluh ton yang kita gotong ke mana-mana karena dianggap dapat melindungi kita, padahal sebenarnya, justru ialah yang menghalangi kita untuk bisa lari dan terbang.
- Perfeksionisme bukanlah peningkatan diri. Pada intinya, perfeksionisme adalah usaha untuk mendapatkan persetujuan dan penerimaan dari orang lain. Sebagian besar perfeksionis dibesarkan sebagai anak yang mendapat pujian untuk pencapaian dan kinerjanya (nilai sekolah, sikap, mengikuti aturan, menyenangkan orang, tampilan, olahraga). Pada suatu saat, kita mengadopsi sistem kepercayaan yang berbahaya dan melumpuhkan ini: Saya adalah apa yang saya capai dan seberapa bagus saya mencapainya. Menyenangkan orang lain. Tampil beraksi. Sempurna. Upaya peningkatan diri yang sehat akan berfokus pada diri sendiri—Bagaimana saya bisa meningkat? Perfeksionisme akan berfokus pada orang lain—Apa yang akan mereka pikir?
Memahami perbedaan antara upaya peningkatan diri yang sehat dan perfeksionisme akan sangat penting untuk meletakkan perisai dan memungut hidup kita. Riset menunjukkan bahwa perfeksionisme menghambat keberhasilan. Malah sebenarnya perfeksionisme sering kali adalah jalan menuju depresi, kecemasan, kecanduan, dan kelumpuhan hidup. Kelumpuhan hidup mengacu pada semua peluang yang kita lewatkan karena kita terlalu takut untuk mengetengahkan sesuatu yang mungkin bisa tidak sempurna. Juga semua impian yang tidak kita wujudkan karena perasaan takut yang mendalam terhadap kegagalan, membuat kesalahan, dan mengecewakan orang lain. Jika kita seorang perfeksionis, mengambil risiko adalah hal yang sangat menakutkan; harga diri kita seakan-akan sedang dipertaruhkan.
Saya menyatukan tiga pemahaman berikut untuk merumuskan perfeksionisme (karena kita tahu bahwa saya sangat senang menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan pergumulan saya sendiri!). Rumusan ini cukup panjang tetapi sangat membantu saya. Dan juga merupakan rumusan “yang paling banyak ditanyakan” di dalam blog saya.
- Perfeksionisme adalah suatu sistem kepercayaan yang menghancurkan diri dan membuat kecanduan yang membangkitkan pikiran primer berikut: Jika saya tampak sempurna, hidup dengan sempurna, dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, saya dapat menghindari atau meminimalkan perasaan yang menyakitkan dari rasa malu, dihakimi dan disalahkan.
- Perfeksionisme bersifat menghancurkan diri karena pada dasarnya tidak ada hal yang sempurna. Kesempurnaan adalah sebuah tujuan yang tidak bisa dicapai. Selain itu, perfeksionisme lebih merupakan soal persepsi—kita ingin dilihat sebagai sempurna. Sekali lagi, ini tidak bisa dicapai—tidak ada cara untuk mengendalikan persepsi orang lain, terlepas dari seberapa banyak waktu dan tenaga yang kita curahkan.
- Perfeksionisme bersifat menimbulkan kecanduan karena ketika kita mengalami rasa malu, dihakimi, dan disalahkan, (dan ini pasti kita alami), sering kali kita percaya bahwa ini disebabkan karena kita tidak cukup sempurna. Jadi, bukannya mempertanyakan logika yang keliru dari perfeksionisme, kita malah semakin keras berusaha untuk hidup, tampak, dan melakukan segalanya dengan sempurna.
- Perasaan malu, dihakimi, dan disalahkan (dan perasaan takut terhadap perasaan-perasaan ini) adalah realitas dari pengalaman manusia. Perfeksionisme malah meningkatkan kemungkinan kita akan mengalami emosi-emosi yang menyakitkan ini dan sering kali menjuruskan ke sikap menyalahkan diri sendiri: Ini adalah kesalahan saya. Saya merasa seperti ini karena “saya merasa tidak cukup baik”.
Untuk mengatasi perfeksionisme, kita perlu bisa mengenali dan mengakui kerentanan kita terhadap pengalaman malu, dihakimi, dan disalahkan yang universal; mengembangkan kelenturan terhadap rasa malu; dan mempraktekkan belas kasih. Ketika kita menjadi semakin mencintai dan berbelas kasih kepada diri sendiri dan mulai mempraktekkan kelenturan terhadap perasaan malu, kita dapat merangkul ketidak-sempurnaan kita. Di dalam proses merangkul ketidak-sempurnaan kitalah, kita menemukan karunia-karunia sejati kita: keberanian, belas kasih, dan keterhubungan.
Berdasarkan data saya, perfeksionisme tidaklah hitam-putih tetapi berada di dalam suatu kisaran. Kita semua memiliki beberapa kecenderungan perfeksionistik. Pada beberapa orang perfeksionisme hanya muncul ketika mereka merasa sangat rentan. Bagi beberapa orang, perfeksionisme bisa menjadi kompulsif, kronis, dan melumpuhkan, mirip dengan kecanduan.
Saya mulai mengolah perfeksionisme saya sendiri, setiap kali satu lapisan. Ketika melakukannya, pada akhirnya saya mengerti (dengan sungguh-sungguh) perbedaan antara perfeksionisme dengan upaya peningkatan/pencapaian yang sehat. Menjelajahi perasaan takut kita dan mengubah percakapan di dalam diri adalah dua langkah penting dalam mengatasi perfeksionisme.
Berikut adalah contoh saya:
Seperti sebagian besar perempuan, saya mengalami pergulatan dengan citra tubuh, kepercayaan diri, dan relasi yang selalu rumit antara makanan dan emosi. Berikut adalah perbedaan antara diet perfeksionisme dan tujuan-tujuan yang sehat.
Perbincangan diri pada perfeksionisme: “Huh. Semua baju terlalu sempit. Saya gendut dan jelek. Saya malu pada tampilan saya. Agar pantas dicintai dan memiliki, saya perlu tampil berbeda dari diri saya saat ini.”
Perbincangan diri pada pencapaian yang sehat: “Saya menginginkan ini untuk diri saya. Saya ingin merasa lebih baik dan menjadi lebih sehat. Timbangan tidaklah menentukan apakah saya patut dicintai dan diterima. Jika saya percaya bahwa sekarang ini juga saya patut untuk dicintai dan dihormati, saya akan mengundang keberanian, belas kasih, dan keterhubungan ke dalam hidup saya. Saya ingin mengusahakan ini untuk saya. Saya bisa melakukannya.”
Bagi saya, hasil dari pergeseran ini sungguh mengubah hidup saya. Perfeksionisme tidak menjuruskan saya kepada hasil.
Saya juga telah beberapa kali mengandalkan taktik lama “berpura-pura berhasil sampai benar-benar berhasil.” Saya menganggapnya sebagai latihan ketidak-sempurnaan. Misalnya, tidak lama setelah saya mulai mengolah rumusan ini, beberapa teman mampir di rumah kami. Putri saya, Ellen, yang saat itu berusia sembilan tahun, berteriak: “Mom! Don dan Julie ada di depan!” Rumah kami sedang berantakan, dan dari suara Ellen saya bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan, Oh, tidak! Mom pasti akan panik.
Saya berkata, ’Tunggu sebentar,” sambil bergegas berganti pakaian. Ellen lari kembali ke kamar saya dan berkata, “Apa aku perlu membantu Mom merapikan rumah?”
Saya berkata, ’Tidak, Mom hanya ganti pakaian. Mom sangat senang mereka datang. Kejutan yang menyenangkan, ya! Siapa yang peduli dengan keadaan rumah!” Kemudian saya berusaha menenangkan diri.
Jadi, jika kita ingin hidup dan mencintai dengan sepenuh hati, bagaimana kita bisa mencegah perfeksionisme menyabot usaha kita? Ketika saya mewawancarai orang-orang yang terlibat dengan dunia secara autentik dan menyadari penghargaan dirinya, saya menyadari bahwa mereka memiliki banyak kesamaan dalam soal perfeksionisme.
Pertama-tama, mereka membicarakan ketidak-sempurnaan mereka dengan lembut serta jujur, dan tanpa rasa malu, dan takut. Kedua, mereka tidak terlalu cepat menghakimi diri mereka sendiri dan orang lain. Tampaknya mereka beroperasi dengan keyakinan “Kita semua melakukan yang sebaik mungkin.” Keberanian, belas kasih, dan keterhubungan mereka sepertinya, berakar pada cara mereka memperlakukan dirinya sendiri. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengutarakan ciri-ciri dengan tepat, dan menganggap mereka sebagai kualitas-kualitas yang terpisah. Ini berlangsung selama dua tahun, sampai saya menemukan karya Dr. Kristin Neff tentang belas kasih-diri. Mari kita jelajahi konsep belas kasih-diri dan mengapa mempraktekkan keautentikan dan merangkul ketidak-sempurnaan itu sangat penting.
Belas Kasih-Diri
Satu momen belas kasih-diri dapat mengubah seluruh hari kita. Seuntai momen belas kasih-diri dapat mengubah seluruh perjalanan hidup kita.
—CHRISTOPHER K. GERMER
Dr. Kristin Neff adalah periset dan profesor di University Texas di Austin. Dia menjalankan Laboratorium Riset Bela Kasih-Diri, di mana dia mempelajari bagaimana kita mengembangkan dan mempraktekkan belas kasih-diri. Menurut Neff belas kasih-diri mempunyai tiga unsur: keramahan-diri, kemanusiaan bersama, dan kesadaran. Berikut ini adalah rumusan singkat dari ketiga unsur ini:
- Keramahan-diri (self-kindness): Sikap hangat dan pengertian kepada diri sendiri ketika kita menderita, gagal, atau merasa tidak memadai, dan bukan mengabaikan kepedihan kita atau menghukum diri dengan kritik-diri.
- Kemanusiaan bersama (common humanity): Kemanusiaan bersama mengenali bahwa penderitaan dan perasaan tidak memadai adalah bagian dari pengalaman semua manusia—sesuatu yang kita semua alami dan bukan sesuatu yang hanya terjadi pada “diri saya” saja.
- Kesadaran (mindfulness): Mengambil pendekatan yang seimbang terhadap emosi-emosi negatif sehingga perasaan-perasaan itu tidak ditekan atau dibesar-besarkan. Kita tidak bisa mengabaikan kepedihan kita dan sekaligus merasakan belas kasih untuknya. Kesadaran mewajibkan kita untuk tidak mengidentifikasi-diri secara berlebihan dengan pikiran dan perasaan sedemikian rupa sehingga kita terjebak dan tersapu arus negativitas.
Salah satu dari banyak hal yang saya sukai dari karya Dr. Neff adalah rumusannya tentang kesadaran. Banyak orang yang menganggap kesadaran diri berarti tidak menghindari emosi-emosi yang menyakitkan. Rumusan Dr. Neff mengingatkan kita bahwa kesadaran juga berarti tidak mengidentifikasikan diri secara berlebihan atau membesar-besarkan perasaan kita. Saya rasa itulah kunci bagi kita yang masih bergumul dengan perfeksionisme. Saya akan memberi sebuah contoh yang “sempura”: Baru-baru ini saya mengirim sebuah surat ektronik kepada seorang pengarang untuk bertanya apakah saya boleh mengutip kajiannya untuk buku ini. Saya mencantumkan kalimat yang ingin saya kutip agar dia dapat membuat keputusan dengan informasi yang lengkap. Dengan murah hati dia mengizinkannya, tetapi mengingatkan bahwa saya keliru mengeja namanya di dalam surat elektronik.
Saya merasa lumpuh total. “Oh, astaga! Saya menulis untuk meminta izin mengutip kajiannya dan saya salah mengeja namanya! Mungkin dia pikir saya ini sangat bodoh. Mengapa saya begitu ceroboh?” Ini memang bukan serangan rasa malu—saya tidak tersedot sedalam itu——tetapi saya juga tidak merespons dengan belas kasih-diri. Saya nyaris ”tersapu arus reaktivitas negatif.” Untungnya, naskah bab ini sedang berada di meja di sisi saya. Saya menatapnya dan tersenyum. Ramahlah kepada dirimu sendiri, Bréne. Ini bukan masalah besar.
Melalui contoh surat elektronik ini, kita bisa melihat bagaimana perfeksionisme saya dan tidak adanya belas kasih-diri bisa dengan mudah menjuruskan ke penghakiman. Saya menganggap diri saya bodoh dan ceroboh hanya karena satu kesalahan kecil. Begitu pula jika saya menerima surat elektronik dari seseorang dan menemukan kesalahan, saya mempunyai kecenderungan untuk melakukan penghakiman. Ini menjadi sangat bahaya jika Ellen mendekati saya dan berkata, “Aku baru mengirim surat elektronik kepada guruku, dan tanpa sengaja aku keliru mengeja namanya.” Apakah saya akan berkata, “Ana? Itu tidak boleh terjadi!” atau apakah saya akan berkata, “Mom juga melakukan hal yang sama—kesalahan memang bisa terjadi.”
Perfeksionisme tidak pernah terjadi di ruang hampa. Ia menyentuh setiap orang di sekitar kita. Kita mewariskannya kepada anak-anak, kita menginfeksi lingkungan kerja dengan tuntutan-tuntutan yang mustahil, dan perfeksionisme mencekik teman serta keluarga kita. Untungnya, belas kasih juga menyebar dengan cepat. Ketika ramah kepada diri sendiri, kita menciptakan suatu cadangan belas kasih yang bisa kita ulurkan kepada orang lain. Anak-anak kita belajar berbelas kasih kepada dirinya dengan memperhatikan kita, dan orang-orang di sekitar kita merasa bebas untuk menjadi autentik dan terhubung.